5.14.2009

Bergaul dengan Punk, Komunitas Nyentrik di Pinggir Jalan Raya




Tak Mau Diganggu, Tak Mau Mengganggu

Ngepunk. Banyak orang yang menilai bahwa komunitas yang satu ini termasuk salah satu komuitas yang urakan, berandalan dan sebagainya. Namun sebenarnya, komunitas ini tak sekadar nongkrong di pinggir jalan. Apa saja perilakunya?

AIRLANGGA, Mojokerto

SEKELOMPOK orang dengan dandanan street dan rambut mohawk berbagai warna, serta mengenakan aneka aksesoris sering kita temui di beberapa sudut jalan di Mojokerto. Menamakan diri anak punk, mereka memang tak lagi menjadi sebuah pemandangan asing di kota ini.
Saat berhenti di beberapa perempatan lampu lalu lintas terkadang mereka hadir dengan gitar dan nyanyiannya untuk mendapatkan sisa uang receh dari para pengendara kendaraan bermotor. Bagi sebagian orang kejadian itu barangkali cukup mengganggu kenyamanan.
Banyak yang beranggapan bahwa anak punk yang berpenampilan seperti itu selalu berandalan, perusuh dan selalu bikin onar. Orang yang berpandangan seperti itu terhadap anak punk yang suka nongkrong di pinggir jalan biasanya hanya memandang dari segi luar mereka atau dari dandanan yang menyeramkan.
Tak jarang masyarakat resah dan sebagian lagi menganggap dari gaya hidup mereka yang mengarah ke barat-baratan. Sebenarnya, punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan ’’kita dapat melakukan sendiri”.
Jumlah anak punk di Indonesia memang tidak banyak, tapi ketika mereka turun ke jalanan, setiap mata tertarik untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk dengan warna-warna terang dan mencolok. Belum lagi atribut rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot, kaos hitam, jaket kulit penuh badge atau peniti, serta gelang berbahan kulit dan besi seperti paku yang terdapat di sekelilingnya yang menghiasi pergelangan tangannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari busana mereka.
Begitu juga dengan celana jeans super ketat yang dipadukan dengan baju lusuh, membuat image yang buruk terhadap anak punk yang anti sosial.
Anak punk, mereka kebanyakan di masyarakat biasanya dianggap sebagai sampah masyarakat. Tetapi yang sebenarnya, mereka sama dengan anak-anak lain yang ingin mencari kebebasan.
Di Mojokerto, tempat anak muda dengan berpakaian nyentrik ini pun banyak. Contohnya adalah perempatan Sooko, perempatan Jl Kenanten serta perempatan Jl Jayanegara. Umumnya, remaja yang rata-rata berusia belasan tahun ini berkumpul dengan sesama komunitasnya.
Seperti itulah yang sehari-hari dilakukan oleh lima pemuda punk yang kemarin sempat terjaring razia Dinas Sosial Kabupaten Mojokerto. Meski terjaring razia, kelima pemuda ini tampak tenang, seolah-olah, razia adalah hal yang biasa mereka hadapi setiap harinya.
Duduk di sebuah sudut ruangan, kelima pemuda punk beraliran street punk tampak menikmati sebatang rokok sambil bersenda gurau dengan temannya.
Memang tidak mudah mendekati kelima pemuda dengan gaya bebas mereka. Termasuk saat Radar Mojokerto berusaha melakukan wawancara. Kesan tertutup sangat kentara diperlihatkan kelimanya. Hal ini sangatlah wajar mengingat mereka hanya bergaul dengan sesama komunitasnya.
Setelah melakukan pendekatan, kelimanya akhirnya mau dilakukan wawancara. Suasana hangat pun mulai terasa saat salah satu pemuda mulai bercerita tentang kehidupan punk.
Muhammad Arif, salah satu anggota komunitas punk mengatakan, pemuda punk tidaklah memiliki tempat tinggal. ’’Kami memang selalu berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota yang lainnya,’’ terang pemuda berusia 19 tahun ini.
Dengan menumpang truk dan mobil pikap, anggota punk selalu berpindah dari satu kota ke kota lainnya. ’’Dalam satu kota biasanya tiga sampai lima hari, tergantung apa sudah bosan atau tidak,’’ tutur Arif.
Ia mengatakan, didalam komunitas punk yang ada hanyalah kebebasan tanpa ada perasaan tertekan. ’’Kami tidak suka mengganggu terhadap warga lainnya, ya intinya kami tidak akan membuat gara-gara, tapi kami juga tidak mau diganggu,’’ terang Arif.
Ia sendiri sudah dua tahun ini tinggal di jalanan sebagai anak punk. Hari-harinya dilalui dengan berpindah tempat bdari satu tempat ke tempat lain. keluarga Arif sendiri sudah mengetahui kalau ia memilih hidupnya menjadi anggota punk. ’’Awalnya mereka keberatan, tapi karena saya memang nekat, keluarga tidak bisa melarang lagi,’’ terang pemuda asal Kecamatan Manyar, Gresik ini.
Sama halnya dengan Muhammad Arif, salah satu anggota punk lainnya, Wili, 19, asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat juga mengatakan hal yang sama. Bahkan, bungsu dari dua bersaudara ini mengatakan kalau ia dan kakaknya adalah anggota komunitas punk. Ia sendiri sudah sejak lama menjadi anggota punk. ’’Keluarga saya tidak kaget lagi, karena keluarga saya memang keluarga rock n roll,’’ ujarnya yang disambut tawa keempat temannya.
Meski selalu berpakaian yang memberi kesan urakan dan tinggal di pinggir jalan, namun pemuda punk memiliki pekerjaan selain mengamen yang memang kerap kali mereka lakukan. ’’Saya sebenanrnya memiliki usaha sablon di Gresik, karena itu sudah menjadi pekerjaan saya yang tetap,’’ ujar Arif.
Selain usaha sablon yang dimiliki Arif, ketiga anggota punk lainnya yakni Ari, 20, asal Bengkulu, Ogud, 19, asal Pekalongan serta Baim, 19, asal Jambi juga memiliki usaha. Rata-rata mereka memiliki keahlian membuat tato dan piercing (tindik tubuh) bahkan potong rambut. Tentunya yang menggunakan jasa mereka adalah sesama komunitas anggota punk. ’’Tapi tak jarang di luar anggota punk menyewa jasa kami,’’ tutur Baim.
Tentang gaya hidup mereka yang selalu berpindah-pindah, ketiganya mengatakan sudah menjadi pilihan hidup mereka seperti ini. meski selalu berpindah tempat, tapi ada satu yang dirasakan sesama anggota punk. Yakni rasa kebersamaan dan kekompakan yang sulit. Dengan adanya rasa kebersamaan itu, tak jarang antarsesama anggota punk bisa saling akrab meski sebelumnya tidak bertemu.
Sedangkan kebebasan bagi anak punk adalah kebebasan untuk mengatur dan mengontrol dari dirinya sendiri. Jadi segala sesuatu muncul dari kesadaran diri sendiri untuk bertindak dan berbuat sesuatu. Biasanya jika mereka sudah berpikir seperti itu anak punk akan bekerja berdasarkan inisiatif dari diri sendiri dan tidak perlu diatur dan mengatur orang lain.
Pola pikir seperti itu akan menimbulkan sikap mandiri seseorang, yang dalam komunitas punk mereka biasa memakai filosofis dan semboyan DIY (Do It Yourself ) atau biasa diartikan ’’jadilah dirimu sendiri”.
Itulah salah satu nilai positif dari punk yang bisa diambil yaitu kebersamaan dan kemandirian dalam melakukan sesuatu. ’’Jadi kebebasan tidaklah diartikan sebagai tindakan semaunya sendiri akan tetapi kebebasan bertindak tapi juga harus bisa mengontrol diri sendiri agar tidak merugikan diri sendiri dan merusak orang lain,’’ terang Baim.
Sebagai simbol kebersamaan diantara anggotanya, komunitas punk memang rajin melakukan pertemuan di berbagai daerah seperti Kota Malang, Surabaya dan ajkarta. Pada umunya, saat melakukan pertemuan, mereka melakukan acara party dengan kegiatan musik aliran keras atau underground. Jangan ditanya bagaimana mereka bisa mendapatkan dana untuk membuat pertunjukkan musik tersebut. ’’Kalau ada acara party, seluruh anggota dengan sukarela memberikan sumbangan,’’ ujar Arif. Uang yang terkumpul pun tidak sedikit. Ini terbukti dari acara yang mereka adakan.


Selengkapnya...

5.08.2009

Rasaman Nuralam, Sosok Dibalik Pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro





Dulu Pembalak Liar, Kini Pahlawan Kegelapan Desa Terpencil

Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto dinilai mampu melayani kebutuhan listrik yang terus meningkat, terutama di daerah pedesaan. Pembuatan PLTMH tak lepas dari tangan Rasaman Nurahman. Bagaimana perannya?


AIRLANGGA, Trawas


SOSOK Rasaman sangat sederhana. Kesan itu terlihat saat menghadiri peresmian PLTMH di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo kemarin. Ia hanya mengenakan kaos berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Tidak lupa juga ia mengenakan sandal jepit khas jawa barat berwarna coklat.
Selama acara berlangsung, Rasaman hanya duduk di kursi panjang yang ada di Taman PPLH Seloliman, tempat dilaksanakannya peresmian PLTMH. Dengan didampingi seorang temannya bernama Sumarna, 37, Rasaman tampak asii mendengarkan pidato Gubernur Jawa Timur yang saat itu sedang memuji alat pembangkit listrik yang berasal dari desanya.
Wajahnya tampak datar seolah-olah tidak ada yang perlu dibanggakan dari pria asal kampung Citambur, Desa Cibuluh, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat itu. Meski kenyataannya, pembangkit listrik sederhana yang diprakarsainya mampu menolong banyak orang yang tinggal di desa terpencil.
Tidak ada yang menyangka jika seorang lelaki dari daerah terpencil ini mampu memiliki ide untuk menciptakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Padahal, sebelumnya, ia tidak memiliki angan-angan sama sekali membuat PLTMH yang dapat membantu ratusan penduduk desa.
’’Saya baru datang hari Minggu kemarin dari Jawa Barat, dan sampai di sini untuk melihat peresmian PLTMH karena mendapat undangan,’’ terangnya saat ditemui koran ini. Dengan ramah, ia pun melayani koran ini dan beberapa wartawan yang saat itu ingin mendengar cerita bagaimana ia mampu memprakarsai dibuatnya pembangkit listrik secara swadaya ini.
Ia menceritakan, sebelum menjadi seorang konsultan dibuatnya PLTMH untuk desa terpencil, ia mengaku seorang garong atau dalam bahasa Indonesianya adalah pencuri. ’’Saya dulu memang seorang pencuri kayu di hutan dekat rumah saya,’’ ujarnya.
Memang, kawasan kawasan gunung simpang, tempat Rasaman tinggal adalah surga bagi para pembalak, pemburu dan perambah hutan, mereka dapat dengan bebas mengeruk kekayaan alam. Perbuatan mereka bahkan ditunggangi kepentingan para oknum petugas BKSDA yang meminta upeti kepada para pembalak dan pemburu bila tertangkap.
’’Tak hanya itu, mereka yang merambah pun dikutip bayaran sekitar Rp. 250.000 per hektare lahan yang digarap di dalam kawasan cagar alam,’’ bebernya. ’’Dulu, tiap hari sekitar 60 ekor burung saya tembak untuk dimakan’’ ujar ayah dari 3 anak tersebut.
Lelaki 39 tahun itu juga mengaku setidaknya 20 hari per bulan ia habiskan waktu untuk membabat hutan cagar alam. Berladang didalam kawasan pun dilakukannya, lengkaplah kejahatan rasman terhadap hutan. Bahkan, hampir seluruh warga tempat ia tinggal adalah pembalak hutan.
Diperkuat kedekatannya dengan oknum polisi hutan, pada tahun 1999 Rasaman mulai menggila dalam penebangan. Dengan ’’senjata’’ chainsaw-nya ia berkelana dari satu bagian hutan ke bagian hutan lain. Ia kerap kali diundang warga desa lain untuk membabat hutan cagar alam yang berdampingan dengan desa tersebut. Sesekali Rasaman juga menjadi orang suruhan sang oknum yang ingin memperkaya diri dengan cara merusak.
Penghasilannya dari membalak membuat Rasaman memiliki uang banyak namun keluarganya ditelantarkan. Hampir seluruh uang yang didapat dihabiskannya untuk berfoya-foya. Ia mulai mengenal minuman keras, bahkan nyaris tergoda oleh wanita lain. ’’Saya jarang pulang ke rumah, bahkan saya tidak pernah ingat anak istri kalau sudah pergi bersenang-senang,’’ ujarnya.
Uang jutaan rupiah dalam waktu singkat pun dapat dengan mudah ia dapatkan dari hasil mencuri kayu di hutan dekat tempat tinggalnya.
Pertengahan tahun 2000, Rasaman sempat mengalami musibah atas kejahatannya. Ia tertangkap tangan oleh warga yang tidak setuju atas penebangan liar yang dilakukannya.
Kepungan massa membuatnya tak berkutik, ia pun lalu digelandang ke balai desa dan diinterogasi. ’’ Saya ditangkap saat mencuri kayu hutan di Desa Neglasari, karena warga di sana tidak ada yang suka jika hutannya dicuri orang lain,’’ terangnya dengan logat sunda yang kental
Kejadian tersebut juga menyeret oknum polisi hutan yang menyuruhnya, hingga ia dan oknum yang menyuruh menjadi tahanan polisi selama 15 hari. ’’Zaman dulu, kalau ditahan bisa ditebus, kalau tidak salah saya nebus Rp 1 juta agar bisa bebas,’’ terangnya.
Tertangkapnya Rasaman menjadi titik balik, sepulang dari tahanan ia lalu menjual chainsaw yang selama ini setia menemani setiap kejahatan yang diperbuatnya. Rasaman bertekad untuk berubah dengan cara mencalonkan diri menjadi kepala dusun.
Masyarakat yang mengetahui latar belakang Rasaman mencibir, namun tak menghalangi niat Rasaman untuk berubah. Rasaman pun memenangkan pemilihan kepala dusun yang menjadi jalannya untuk mulai berubah.
Sejak menjadi kepala dusun, Rasaman memperbaiki perilakunya, ia bersungguh menjadi panutan bagi warga yang dipimpinnya. Tak hanya menjadi panutan, ia juga bertekad membayar dosanya dimasa lalu dengan cara aktif menyadarkan masyarakat dan menyelamatkan hutan. Ia lalu bergabung dengan sebuah LSM bernama Raksabumi yang membuat ia menjadi seperti sekarang.
’’Menyadarkan masyarakat di dusun saya memang tidak mudah, karena kebijakan saya itu, saya sampai dimusuhi separuh warga. Pendapatan saya dari warga sebesar 1,5 ton beras tiap tahunnya juga diancam tidak diberi,’’ ungkapnya.
Namun ancaman serta gertakan dari warganya tidak menghalangi niat Rasaman untuk mengubah perilaku warganya. Usahanya pun membuahkan hasil. Tiga tahun kemudian, banyak warga yang sudah memihak kepadanya. ’’Saya memang selalu memberikan pengarahan secara rutin, baik melalui pengajian, selepas salat Jumat, ataupun berbagai macam pertemuan lainnya,’’ terangnya. ’’Dsamping itu, semua berawal dari penelitian elang jawa yang dilakukan Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL) pada sekitar tahun 1999, karena kepedulian merekalah akhirnya masyarakat daerah saya menjadi sadar,’’ ujarnya menambahkan.
Warga pun menilai langkah yang dilakukan Rasaman bisa memberikan dampak positif. Hingga akhirnya, tepat pada tahun 2004, Rasaman mendapatkan kesempatan dari warga sekitar dan LSM tempat ia bernaung untuk mengikuti pelatihan mesin teknik di PT Cihanjuang Inti Teknik yang berlokasi di Cimahi, Bandung. Dari situ, ia mendapat pengetahuan tentang teknik mesin termasuk pembuatan alat pembangkit listrik.
Satu minggu mendapat pelatihan, ia memulai untuk membuat pembangkit listrik sederhana bersama warga lainya. Dengan bantuan dana senilai Rp 300 juta dari GEF-SGP, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berhasil dibuat dan dapat menjangkau warga desa disekitarnya.
Semangat gotong royong dan kebersamaan mempermudah pelaksanaan pembangunan, semua warga berpartisipasi baik dalam perencanaan, pembangunan, hingga pemeliharaan sumber energi tersebut.
Keasyikan berbagi pengalaman dengan dunia luar, rasman merasa mulai melupakan kampung halamannya. Ia ingin kembali menjalankan tugas-tugas yang lama ditinggalkan, patroli hutan, pembibitan pohon dan penyadaran lingkungan. Ia kini aktif sebagai aktivis Raksabumi untuk membantu masyarakat desa terpencil mendapatkan listrik yang terjangkau.


Selengkapnya...

Dituduh Tukang Santet, Pasutri Gelar Sumpah Pocong






Tepis Isu, Berharap Hilangkan Fitnah yang Usik Warga

Sumpah pocong, sumpah yang kadang dilakukan beberapa kelompok orang untuk menepis fitnah, ternyata masih tersisa di masyarakat. Kemarin misalnya, dua pasang suami-istri asal Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, Mojokerto bersumpah pocong untuk menyingkirkan isu yang melumuri desa.

AIRLANGGA, Ngoro

RATUSAN warga Dusun Sumberlowok, Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Rabu (6/5) sekitar pukul 13.00 rela berdesak-desakan memadati masjid Sabillil Muttaqien yang ada di desa setempat. Mereka berhasrat ingin menyaksikan prosesi sumpah pocong yang dilakukan empat warga.
Pasangan suami istri, Amad, 44 dan Iswatin, 38 memilih untuk melakukan prosesi sumpah pocong karena ada tudingan isu dukun santet yang dialamatkan kepada mereka.
Selain Amad dan Iswatin, dua pasangan suami istri, Muhammad Mukri, 43 dan Jumiati, 35, juga melakukan hal serupa. Kedua pasangan suami istri inilah yang menuduh Amad dan Wati, panggilan Iswatin memiliki ilmu hitam.
Para warga rupanya tidak sabar melihat empat warga mereka melakukan prosesi sumpah pocong. Maklum saja, prosesi seperti ini memang kali pertama dilakukan di desa Kunjorowesi.
Dua pasangan suami istri yang melakukan sumpah pocong sebelumnya dipisahkan di dua rumah berbeda. Masing-masing pasangan ini didampingi aparat keamanan dan perangkat desa. Menjelang pukul 13.00, keempat warga ini pun menempati halaman depan masjid. Dengan diringi doa, kedua pasangan suami istri ini di dudukkan secara berhadap-hadapan.
Menurut penuturan warga, Amad dan Wati diisukan oleh warga sekitar memiliki ilmu santet yang dipelajari sejak bertahun-tahun lalu. ’’Warga menduga Amad itu belajar ilmun hitam dari seseorang bernama Kurdi, kabarnya ia guru ilmu hitam yang berasal dari Madura,’’ terang Supadi, 46, tokoh masyarakat desa setempat.
Warga juga menduga, sejak Amad memiliki ilmu hitam, banyak warga yang mengalami sakit misterius. Bahkan, tidak jarang diantara mereka ada yang meninggal. ’’Sakitnya itu aneh, mulut seperti sariawan, perut mengalami buncit dan kejang-kejang,’’ terang Supardi.
Hal senada juga diutarakan oleh Udrus. Pemuda berusia 27 tahun ini mengatakan, dalam satu bulan, satu warga pasti meninggal dengan cara misterius. ’’Bahkan pernah satu minggu ada yang meninggal sampai tujuh warga, selain itu ada juga dalam satu rumah yang meninggal sampai dua orang,’’ tutur pemuda asli desa setempat.
Ditambahkannya, gejala warga yang meninggal pun hampir sama, yakni batuk-batuk seperti penyakit TBC, kejang-kejang serta perut yang membuncit.
Isman, 38, warga lainnya mengatakan, warga sebenarnya sudah pernah mempertanyakan hal ini kepada Amad. Namun, tentu saja Amad selalu membantah. ’’Ia tampak tenang-tenang saja,’’ terang Isman.
Isu santet pun semakin santer saat satu bulan yang lalu salah seorang warga bernama Buyarsih meninggal dengan kondisi yang diceritakan warga. Warga sekitar pun semakin cemas. Dugaan bahwa Amad memiliki ilmu hitam pun semakin melekat.
Sumpah pocong pun akhirnya dilakukan saat Jumiyati terkena penyakit yang sulit disembuhkan. Jumiati yang masih satu saudara dengan Amad ini pun mempertanyakan keadaannya kepada Amad.
Karena tidak tahan dengan tudingan dukun santet, Amad pun menantang Jumiati untuk melakukan sumpah pocong. Tokoh masyarakat, pemuka agama dan petugas keamanan desa akhirnya setuju dengan permintaan keluarga Amad untuk menggelar sumpah pocong untuk membuktikan kebenaran isu dukun santet setelah gagal mendamaikan keduanya dengan berbagai kesepakatan.
Selain Amad dan Wati, sumpah pocong juga dilakukan Jumiati dan Mukri yang telah menuduh Amad sebagai dukun santet.
Dengan dipimpin seorang pemuka agama bernama Habib Ali yang berasal dari Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, keempat warga ini melakukan prosesi sumpah pocong yang disaksikan perangkat desa serta ratusan warga.
Prosesi dimulai dengan melakukan sumpah yang di atasnya ada kitab Alquran secara satu per satu. Setelah itu, masing-masing keempat warga ini melakukan sumpah yang dibungkus dengan kain kafan menyerupai pocong. ’’Setelah dilakukan sumpah ini, saya ingatkan agar tidak ada fitnah lagi jika memang Amad tidak memiliki ilmu hitam,’’ terang Habib Ali.




Beberapa warga yang turut menyaksikan pelaksanaan sumpah tersebut tampak prihatin sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan, mereka mengaku takut bila Amad dan Wati termakan sumpahnya.
Usai dilakukan prosesi sumpah pocong, Amad mengaku lega karena berani membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya memang tidak memiliki ilmu hitam. ’’Saya memang tidak memiliki ilmu hitam, makanya saya berani bersumpah pocong,’’ ujarnya dalam bahasa Madura.
Sementara itu, Mukri berjanji, setelah dirinya melakukan sumpah pocong, ia dan istrinya tidak akan lagi menuduh Amad memiliki ilmu hitam. ’’Awalnya istri saya memang memiliki penyakit yang sulit disembuhkan, makanya dilakukan sumpah pocong ini agar ada kebenaran,’’ terangnya.
Susi Darsono, kepala desa setempat mengatakan, pihak desa memang sudah mengetahui sejak lama jika ada isu santet yang diarahkan kepada Amad. Namun menurutnya, ia tidak dapat memberikan tindakan apapaun karena tidak memiliki fakta. ’’Saya harap dengan adanya sumpah pocong ini tidak ada lagi fitnah yang meresahkan warga,’’ terangnya saat melihat prosesi sumpah pocong.
Selengkapnya...

5.04.2009

Para Pencari Telur Semut Rangrang untuk Pakan Burung Kicau





Sehari Untung Rp 60 Ribu , Harus Tahu Jadwal Rangrang Bertelur

Bagi penggemar burung kicau, kroto tidak asing lagi. Kroto adalah telur semut rangrang untuk makanan burung kicau. Semut tersebut biasanya membentuk koloni di daun-daun pepohonan yang tinggi. Namun ternyata tidak mudah mencari semut yang dikenal dengan gigitannya ini.

AIRLANGGA, Dlanggu



PAGI hari sekitar pukul 06.00. Ipung sudah mulai bergegas dari rumahnya yang ada di Desa Karang Dieng, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto. Dengan mengendarai motor bebek serta membawa galah panjang, pemuda berusia 25 tahun ini mulai mencari pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Ditelusurinya setiap jalanan mulai ia berangkat hingga ke Desa Segunung, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto. Di tepi jalan, ia menemukan puluhan pohon mangga yang berjejer di tepi jalan. Kepalanya pun menengadah ke atas melihat pucuk daun untuk memastikan apakah ada geromboan semut di sana.
Setelah dipastikan ada, Ipung pun mulai mempersiapkan peralatannya yang diletakkan di motornya. Sebuah galah setinggi sepuluh meter disandarkan ke sebuah pohon mangga. Di ujung galah, terdapat jala terbuat dari kain.
Jala tersebut berfungsi untuk tempat kroto atau telur induk semut rangrang yang terjebak Ia lalu mengeluarkan sebuah saringan terbuat dari bambu berdiameter 30 sentimeter. Galah pun diangkat untuk mengenai dedaunan.
Tidak beberapa lama, ratusan koloni semut merah pun mulai keluar dari sarangnya. Tak beberapa lama, ratusan kroto mulai jatuh tepat mengenai jala. Merasa sudah mendapatkan buruannya, Ipung kembali mengoyang-goyangkan galah yang dipegangnya dengan sasaran pucuk daun yang berbeda.
Semut rangrang bukan sembarang semut. Mereka unik dan berbeda dari jenis semut lainnya. Manusia telah menggunakan jasa mereka dalam perkebunan berabad-abad yang lalu. Temasuk telur-telur semut yang dijadikan makanan burung ataupun ikan. Gigitan semut ini pun terkenal bisa menyakitkan orang. ’’Saya pernah digigit puluhan semut, badan saya merah semuanya,’’ terang Ipung.
Ia pun sudah lama menjalani profesinya sebagai pencari kroto. ’’Sudah lima tahun saya mencari kroto, hasilnya lumayan,’’ ujarnya. Setiap harinya, ia mampu mendapatkan kroto hingga mencapai 3 kilogram. ’’Setiap kilonya saya jual dengan harga Rp 30 ribu, hasilnya lumayan untuk biaya sehari-hari,’’ terangnya. Jika mulai mencari kroto, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam bahkan sampai sore.
Saat ini ia tidak perlu bersusah-susah mencari pembeli. Pasalnya, ia mengaku biasanya pembeli akan datang ke tempatnya sore hari. ’’Biasanya kalau sudah sore, ada pembeli yang datang, kebanyakan dari Jombang ataupun Mojokerto,’’ terangnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Warudin, 33, warga Desa Sumbersono, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto. Dengan sosoh dan bambu yang disambung sepanjang belasan meter, Warudin keluar masuk perdesaan berburu kroto. Jika tidak berburu-dua hari saja dalam sepekan, bambu itu dilepas dari ikatannya, sehingga tidak terlalu panjang dan mengganggu orang yang lalu-lalang.
Menurut dia, jika buruan di desa sendiri menipis, biasanya warga segera bergeser ke tempat lain. Kalau perlu ramai-ramai menggunakan motor. ’’Walaupun sampai Pacet ataupun Trawas sekalipun tetap kami lakoni,’’ ujar Warudin, ayah satu anak ini. Untuk mengamati pohon yang satu dengan pohon lain, dia dan rekan-rekan harus berjalan kaki puluhan kilometer setiap hari.
Pengalaman Warudin berburu kroto mambawa banyak manfaat bagi banyak orang di desanya. ’’Tadinya sebelum di sini, kami dari Mojosari. Sejak di sini sampai punya rumah, bapak anak-anak kerjanya memburu kroto. Kebun sih ada walaupun tidak luas, hasilnya tidak memadai. Apalagi sekarang, tanaman seperti padi dan jagung rusak,’’ kata Solekah, istri Warudin. Karena menguntungkan, perburuan kroto pun akhirnya dijalani selama lima tahun ini.
Adalah Herman, 29, yang mengaku bingung mencari pekerjaan dengan gaji memadai. Tertarik melihat Warudin dan beberapa tetangga memburu kroto, ia pun coba-coba menjalani pekerjaan tersebut.
Berbekal songkro (keranjang berlubang, Red) dan bambu yang dipinjam dari temannya, Herman berjalan sampai belasan kilometer dari rumahnya hanya untuk menghampiri satu pohon ke pohon lain, untuk mencari sarang rangrang.
Saat melihat sebuah pohon bersarang rangrang, segera saja ia menyodok-nyodokkan genter (galah bambu, Red). Tapi apa yang terjadi? Tak urung sarang telur rangrang itu buyar dari induknya. ’’Waktu itu tak ada yang saya dapatkan kecuali gigitan semut. Tidak terhitung lagi, berapa ribu kali dia digigit semut. Rasanya sakit minta ampun,’’ kata Herman diselingi tawa Syarif, Wawan dan Effendi, rekan seprofesinya.
Tetapi, gigitan rangrang tidak membuat jera sang pemburu kroto pemula ini. Dalam suatu kesempatan yang lain Herman kembali mengulangi pencarian. Dengan tekun, suatu ketika ia memperoleh hasil agak lumayan. ’’Saya ingat betul, waktu itu dapat kroto empat kilo, tetapi capeknya luar biasa,’’ kata dia lagi.
Setelah sedikit mengerti teknik perburuan kroto, Herman memutuskan berhenti dari pekerjaan lamanya dan beralih ke kroto. ’’Sebab, hasilnya lumayan. Itu makanya hingga sekarang saya ikut memburu kroto,’’ ungkap dia.
Kroto buruannya dijual pertama kali kepada pedagang pengumpul Rp 7 ribu per kilo dan tak lama kemudian meningkat. Alhasil, naiknya perlahan tapi pasti. Hingga sekarang mencapai Rp 30 ribu per kilo.
Berburu kroto ternyata tidaklah mudah. Agar tidak digigit rangrang, para pemburu mengaku memiliki teknik sendiri menghalaunya. Teknik yang dimaksud, kata Herman, yakni tidak sekali-kali melawan angin saat hendak memetik sarang rangrang. Jika tetap melawan angin, alamat bukan hasil yang didapat tersebut, melainkan rasa sakit dan kerja yang sia-sia.
Demikian halnya ketika memasuki wilayah atau kebun seseorang, sudah sepantasnya seorang pemburu meminta izin pemilik. Jika pantangan ini dilanggar, salah-salah bukan kroto yang dibawa pulang, tetapi caci-maki, bahkan ancaman yang tidak tanggung-tanggung.
Berburu kroto juga mengasyikkan jika dilakoni secara serius. Menurut kalangan pemburu rangrang, panen rangrang dari satu pohon ke pohon lain dapat dilakukan setengah bulan sekali.
Pasalnya, menurut Herman, rangrang memiliki kebiasaan membuat sarang dan bertelur setelah sarang lama hilang. Umumnya pemburu rangrang paham betul kebiasaan ini. Sebab itu, setiap mengambil sarang rangrang di sebuah pohon, pengambilan kembali mereka lakukan kembali pada setengah bulan kemudian. ’’Hasilnya banyak dan kualitasnya juga bagus,’’ kata Herman.


Selengkapnya...