11.10.2009

Pasutri Perajin Sapu Serabut Kelapa Bertahan dari Persaingan Pasar








Sejak 1992 Hanya Bertahan dari Produk Pabrik

Di tangan orang-orang yang terampil, sesuatu yang dianggap tidak berguna, ternyata dapat diubah menjadi uang. Demikian yang dilakukan pasangan suami istri, Nuriyadi dan Sulasmani yang mampu membuat serabut kelapa menjadi bernilai ekonomis.

AIRLANGGA, Puri


KEDUA tangan Sulasmani, 37, tampak tekun menyulam helai demi helai serat kelapa yang ada di depannya. Kedua kaki yang diikatkan dengan helai serat membantunya membuat benang-benang serat agar tidak lemas. Kedua sorot matanya tampak serius memerhatikan serat kelapa.
Setiap harinya, pasangan suami istri ini memang menggantungkan hidupnya membuat sapu dari serabut kelapa di bangunan berukuran 4x6 meter persegi yang terbuat dari bambu. Bangunan semi permanen di sebelah rumahnya, Dusun Kalipatih, Desa Kebon Agung, Kecamatan Puri ini memang sengaja di gunakan untuk workshop produk buatannya.
Sabut kelapa adalah berkah pasangan suami istri Nuriyadi dan Sulasmini. Mereka memanfaatkan sabut kelapa untuk membuat kerajinan berupa sapu lantai dan keset. ’’Saya mulai membuat sapu dan keset dari sabut kelapa ini sejak masih sekolah dasar,’’ ungkap Nuriyadi, bapak tiga anak ini.
Dia mengakui, banyaknya masyarakat melihat sebelah mata hasil karya Nuriyadi. Masyarakat lebih menyukai produk dari sintetis atau buatan. Tapi itu tak menyurutkan keinginan berkarya pria berusia 44 tahun ini. ’’Saya sudah memulai usaha ini sejak turun temurun. Dan diteruskan lagi tahun 1992,’’ ujarnya.
Dibantu sang istri, ia tiap hari terus menghasilkan produk dari sabut kelapa. Ia punya pelanggan tetap yang mengakui kualitas sapu dan keset dari tangan Nuriyadi. ’’Walau tak banyak, tapi cukup untuk kami hidup,’’ katanya.
Pelanggan setia yang tetap memakai produk kerajinan sapu dan keset ini berasal dari luar Mojokerto seperti dari Gresik, Lamongan, Sidoarjo bahkan Surabaya. Terkadang, dia juga melayani pembeli dari dinas pendidikan di luar kota. Tiap tahun ajaran baru, permintaan sapu dan keset bisa mencapai 20 buah.
Selain itu, tiap harinya paling tidak ada pelanggan membeli langsung ke rumah untuk membeli sapu maupun keset. Setiap hari sapu yang terjual sekitar 15 buah.
Harga sebuah sapu sabut kelapa buatannya tergolong murah. Hanya Rp 1.500 untuk ukuran panjang dan Rp 1.300 ukuran sedang. Untuk membuat kerajinan tersebut dari sebuah sabut kelapa hingga menjadi produk jadi membutuhkan waktu yang tak singkat.
Pada awalnya, kelapa yang sudah tua dikupas sabut. Setelah itu menjadi direndam dalam air selama sehari. Setelah itu dipukul-pukul hingga setengah kering dan helai-helaian sabut terpisah dan kemudian dikeringkan sampai benar-benar kering. Baru kemudian sabut kelapa tersebut dibentuk menjadi sapu dan keset dengan cara menyulam.
Memperoleh serabut yang kualitasnya bagus, air untuk merendam harus selalu diganti. Ini demi serabut yang dihasilkan berwarna putih dan bersih. Usai direndam, serabut kembali dipukul-pukul agar seratnya lebih lembut. ’’Kalau pembuatannya sih mudah. Tiga hari saja kita mampu membuat seratus buah sapu dari 15 kilogram serabut yang sudah diproses. Proses mengeluarkan seratnya yang butuh waktu lama. Kalau bahan baku tidak ada, bisa-bisa kita menganggur,’’ imbuh Sulasmani.
Sulasmani dan suaminya mengaku dalam 10 hari bisa membuat seratus sapu. ’’Jadi kalau satu bulan ya bisa tiga ratus sapu,’’ ungkapnya. Setiap sapu yang dihasilkan, dia bisa mendapat keuntungan hingga Rp 1.150. ’’Keuntungan per bulan bisa dikalikan saja dengan tiga ratus,’’ ungkapnya tersenyum
Nuriyadi sudah menjalani profesinya tersebut selama bertahun-tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dia mengaku usahanya mulai seret. Dia mulai mengalami kesulitan untuk memperoleh serabut kelapa yang menjadi bahan baku utama usaha kerajinan yang digelutinya. Biasanya, dia mendapat bahan baku dari pasar Kota Mojokerto yang didapatnya secara gratis. ’’Tapi saya harus datang ke sana untuk mengambil sendiri,’’ ujarnya.
Dia mengatakan, sejak dulu warga di desanya tersebut memang dikenal sebagai perajin. Beberapa perlengkapan rumah tangga, seperti sapu, alat pel, dan anyaman bambu, adalah sebagian besar produk kerajinan yang dibuat warga dua desa tersebut. ’’Dibanding kerajinan lainnya, kerajinan dari kain perca tergolong baru,’’ tambahnya.
Nuryadi mengatakan, pembuatan sapu merupakan inovasi kerajinan dari serabut kelapa yang sebelumnya memang banyak dibuat warga desa itu. Serabut yang digunakan adalah dari kelapa tua, terutama dari sampah yang tidak terpakai. Sebelum muncul pembuatan kerajinan sapu, serabut itu dibakar oleh pedagang pasar atau dibiarkan terbengkalai, sehingga nilai ekonomisnya tidak ada.
Disamping itu, pemasaran produk buatannya mengalami kendala. Dia mengakui produk buatannya kalah dengan produk buatan sintetis. ’’Disamping itu, di dusun ini tidak ada kelompok perajin sehingga harganya tidak tentu. Ada yang murah dan ada yang sangat mahal,’’ terangnya.
Dikatakannya, delapan tahun lalu memang sempat ada paguyuban perajin sapu. Namun, baru berjalan beberapa bulan, paguyuban tersebut bubar. ’’Penyebabnya saya sendiri tidak tahu,’’ ungkapnya. Kini, pasangan suami istri yang memulai usaha sejak tahun 1992 ini berharap pemerintah dapat membantu kesulitan perajin seperti mereka.


Selengkapnya...

10.27.2009

Melihat Proses Pembuatan Gula Merah secara Tradisional di Desa Penompo, Kecamatan Jetis





Limbah Pabrik Dijadikan Pupuk, Sisa Tebu Dijadikan Bahan Bakar

Pembuatan gula merah yang dilakukan secara tradisional di Kabupaten Mojokerto nyaris tidak ada. Namun, bagi Mustofa, 75, usaha ini tetap dilakukan. Bahkan, usaha pembuatan gula merah dijadikan usaha keluarga.

AIRLANGGA, Jetis


PANAS terik matahari tidak menyurutkan dua pegawai pabrik tebu yang terletak di Desa Penompo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto mengaduk enam tungku berdiameter satu meter. Keringat terus membasahi tubuh Suryanto.
Kedua tangannya begitu lihai menggerakkan sebuah kayu berukuran panjang satu meter. Dengan teliti, satu persatu dari enam wajan yang berada di dalam pabrik diaduk secara bergantian.
Panas yang dihasilkan tungku tidak menghalangi semangat Suryanto mengaduk gula merah setengah jadi ini. ’’Untuk menghasilkan gula merah yang memiliki kualitas bagus, pengadukan memang harus lama,’’ ujar pria yang sudah bekerja selama empat tahun ini.
Selama Suryanto mengaduk, Udin, teman kerjanya ikut membantu memasukkan sisa-sisa daun tebu yang kering kedalam tungku agar api pembakar terus menyala. Kedua matanya terus melihat ke dalam tungku untuk memastikan apakah api tetap membara atau mati.
Menurut salah satu putra Mustofa, pemilik pabrik gula merah bernama Muhammad Shoim, proses pembuatan gula merah ini paling tidak membutuhkan waktu antara satu hingga dua jam untuk setiap kali pembakaran.
’’Setelah pembakaran, terus diisi lagi dengan air tebu melalui selang. Selang ini terhubung dengan mesin penggiling tebu,’’ ujar pria berusia 28 tahun ini.
Gula merah buatan Shoim diproses secara sederhana. Tanaman tebu yang telah matang atau berumur sekitar 14 bulan dikepras dari akarnya dan dibersihkan dari daun-daun kering. Proses ini dilakukan di didepan pabriknya.
Tebu kemudian dibawa ke tempat pengolahan, lalu digiling menggunakan mesin untuk mengeluarkan air gulanya. Untuk menghasilkan kadar gula yang maksimal, Shoim terkadang memantau langsung proses pembuatan gulanya. Dengan dua mesin miliknya, tebu-tebu tersebut digiling selama beberapa jam.
Air tebu dengan kadar gula yang tinggi itu selanjutnya dimasak di tungku sampai air gula mengental dan berwarna coklat kemerah-merahan. Selama proses pemasakan di tungku, gula harus terus-menerus diaduk secara manual menggunakan tenaga manusia agar matang merata dan tidak gosong.
Untuk memasak gula, Shoim menggunakan bahan bakar daun tebu yang telah kering. Bahan bakar daun tebu tersebut dimasukkan secara periodik di dalam tungku berukuran 30 cm x 30 cm.
Setelah masak, gula merah dimasukkan ke dalam bak berukuran besar berukuran 100 cm x 60 cm. Setelah dingin gula merah diaduk kembali dan siap dikirim.
Tidak ada bahan campuran lain yang ditambahkan Shoim ke dalam gula merah produksinya. ’’Kami tidak memakai pewarna ataupun bahan pengawet karena itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Justru dengan menjaga kemurnian kualitas gula, gula merah produksi kami bisa tahan selama setahun,’’ ujarnya.
Karena tidak memakai pewarna itu pula gula merah yang diproduksi Shoim tidak berwarna merah seperti gula merah yang dijual di pasar tradisional. Gula buatan Shoim justru berwarna cokelat kemerah-merahan.
Shoim mengatakan, pabrik yang dikelolanya bersama dua kakaknya ini sangat ramah lingkungan. Limbah pabrik berupa abu dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman untuk lahan tebu miliknya. ’’Sebagian lagi dijual kepada masyarakat sekitar dengan harga murah,’’ ujar anak ke sembilan dari sebelas bersaudara ini.
Shoim mengungkapkan, meski saat ini banyak usaha pembuatan gula merah dengan mesin-mesin lebih modern, namun dia tetap bertahan dengan cara tradisional. Menurutnya, hasil gula yang diproduksinya lebih memiliki kualitas. ’’Saat ini di kecamatan Jetis hanya ini saja usaha pembuatan gula merah. Kemungkinan juga di Kabupaten Mojokerto, karena seingat saya usaha seperti di Gondang sudah tutup,’’ terangnya.
Usaha yang dilakukannya ini sudah dijalani selama lima tahun. Bersama dua kakaknya yakni Nurul dan Nurhadi, Shoim berusaha mempertahankan usaha milik ayahnya ini. ’’Saat ini tidak ada kendala apapun dalam menjalankan usaha pembuatan gula merah. Bahan baku sudah ada ladang sendiri, kalau tidak cukup membeli dari masyarakat sekitar,’’ terangnya yang enggan menyebutkan jumlah produksinya. Hasil gula merah yang diproduksinya ini dijual dalam bentuk utuh tanpa dicetak ke Tulungagung.


Selengkapnya...

10.26.2009

Saat Warga Lebak Jabung Kesulitan Air Bersih




Terpaksa Manfaatkan Sungai Kotor Bekas Penggalian Sirtu

Musim kemarau rupanya selalu menjadi bencana bagi warga Dusun Lebakgeneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo. Selain sumur kering, satu-satunya sungai yang bisa diharapkan menyuplai air, justru dirusak penambang sirtu liar.

AIRLANGGA, Jatirejo

SEJUMLAH warga di Dusun Lebakgeneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, saat ini terpaksa memanfaatkan sungai kotor akibat penambangan sirtu untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK). Kondisi ini terjadi akibat musim kemarau berkepanjangan di mana sumur yang biasa dipergunakan sudah kering kerontang.
Kesulitan mendapatkan air bersih dirasakan warga setempat sejak satu tahun terakhir atau sejak memasuki musim kemarau tahun ini. Tak sedikit di antara warga yang terpaksa mencari sumber air bersih dari wilayah lainnya, meski menempuh jarak yang jauh.
Bahkan, saking sulitnya mendapatkan air bersih, tak sedikit pula masyarakat yang memanfaatkan air kotor MCK.
Akibatnya, tak jarang ada sejumlah warga yang mengaku menderita gatal-gatal setelah memanfaatkan air berwarna cokelat tersebut.
Seperti diungkapkan Yayah, 50 tahun, warga setempat. Yayah mengaku terpaksa menggunakan air sungai yang tidak jernih, saking sulitnya mendapatkan sumber air bersih. Sulitnya masyarakat mendapatkan air bersih, membuat mereka tak lagi memikirkan dampak yang ditimbulkan dengan memanfaatkan air kotor tersebut.
’’Kami sangat kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Ya, terpaksa kami memanfaatkan sungai ini untuk keperluan sehari-hari,’’ kata Yayah.
Kondisi itu menjadi pemandangan biasa sehari-hari di wilayah tersebut. Selain memanfaatkan air sungai yang kotor, sebagian warga juga memanfaatkan air dari limbah perumahan. ’’Ya, kami bingung mesti bagaimana lagi. Daripada kami kekurangan air, mendingan memanfaatkan air yang ada, meskipun keadaannya kotor dan tak layak digunakan,’’imbuh dia.
Bahkan, banyak diantara warga rela berjalan jauh ke desa lain untuk mendapatkan air bersih. Untuk mengambil air bersih, warga rela berjalan menempuh jarak dua hingga tiga kilometer dari rumahnya. ’’Sumur yang kami miliki dan biasa dipergunakan untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus, sudah tidak berair lagi,’’ kata dia.
Warga juga sebenarnya sudah berusaha melapor ke pemerintah dan polisi tentang masalah yang mereka hadapi. Namun, rupanya laporan tersebut tidak pernah dianggap. ’’Kami sudah sabar selama satu tahun, tapi tetap tidak ada tindak lanjutnya,’’ terang Paino, 45, warga sekitar.
Dia mengungkapkan, selama ini warga Dusun Lebak Geneng memang mengandalkan air dari Sungai Selomalang untuk kegiatan sehari-hari mereka. ’’Kalau mengandalkan air sumur tidak mungkin, karena susah mendapat air sumur di daerah ini,’’ujarnya. Dia mengatakan, saat musim kemarau saat ini, air menjadi lebih keruh dari biasanya.
Warga menganggap, keruhnya air Sungai Selomalang yang menjadi andalan warga diakibatkan adanya aktivitas penambangan sirtu liar. Sumardiono, 50, mengatakan aktivitas ini telah berlangsung selama satu tahun.
’’Selama setahun itu kami terpaksa mengandalkan air yang sudah keruh, padahal sebenarnya air jernih kalau tidak ada kegiatan penambangan,’’ ungkapnya. ’’Gara-gara penambangan ini, air di desa menjadi keruh. Kami terus mau minum apa?’’ keluh Sumardiono.
Bahkan, beberapa waktu lalu, warga juga terpaksa menutup paksa aktivitas penambangan sirtu milik pengusaha asal Surabaya tersebut. Warga rela menempuh perjalanan hanya untuk menyampaikan aspirasinya kepada para penambang sirtu.
Untuk menuju lokasi yang berjarak sekitar 6 kilometer dari jalan raya itu, butuh perjuangan yang tak enteng. Tak jarang, truk yang mengangkut warga itu harus menyeberangi sungai tanpa jembatan. Apalagi kondisi jalan yang memang terjal. Ditambah lokasi Sungai Selomalang yang berada di wilayah ketinggian di atas bukit.
Tiba di lokasi penambangan, hanya perasaan miris yang muncul. Sebuah sungai berukuran besar itu, ’’ditumbuhi’’ truk-truk pengangkut batu dan mesin ekskavator. Alat-alat berat itu bahkan mampu membelah sungai hingga menjadi jalan yang bisa dilalui truk.
Lebih parah lagi, sebuah tanggul sungai juga menjadi korban kepentingan sesaat para penambang. Tanggul berukuran besar itu dipecah demi membuat jalan truk yang mengangkut hasil tambang di lokasi ini.
Aktivitas pengerukan sirtu, pemecahan batu dan lalu-lalang truk itu tentu saja membuat dampak buruk bagi lingkungan. Air sungai yang mulanya jernih, kini berubah menjadi cokelat pekat. Padahal, ribuan warga Desa Lebakjabung berharap banyak dari kejernihan sungai ini untuk kepentingan air minum, memasak dan mencuci.
Suyit, salah satu warga lainnya mengungkapkan, sejak awal musim kemarau tahun ini, warga memang bersabar meski air sungai yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari itu berwarna keruh penuh dengan lumpur. Namun semakin hari, kondisi air semakin memburuk lantaran eksploitasi di Sungai Selomalang semakin menggila.
Aksi nekat ini juga dilakukan agar aktivitas penambangan ilegal di lokasi itu bisa berhenti. Karena jika mengandalkan polisi dan satpol PP, selalu saja menemui jalan buntu. Juga lantaran kondisi warga yang sudah tak tahan lagi meminum air keruh setiap harinya. ’’Dari sungai itulah kebutuhan air kami dipenuhi. Semua sumur di sini sudah kering,’’ tuka Paino.
Rupanya, alasan warga menutup paksa lokasi penambangan sirtu liar ini bukan omong kosong. Selan dua jam sejak tiga alat berat dan puluhan truk hengkang dari lokasi penambangan, kondisi air Sungai Selomalang berangsur-angsur jernih. ’’Kita mengharapkan agar tidak ada lagi aktivitas penambangan sirtu seperti ini lagi,’’ ujar Surdi, warga lainnya. (*)
Selengkapnya...

Melihat Kerupuk ’’Memble’’ Khas Mojokerto yang Sempat Terpuruk

Dikerjakan Satu Keluarga, Menggeliat usai Vakum 10 Tahun


Usaha kerupuk ’’Memble’’ yang digarap pasangan suami istri Lamisan-Nasinah sempat berjaya pada tahun 1990-an. Bahkan dikenal khas Kabupaten Mojokerto. Namun diserang krisis, usahanya bangkrut. Nah, kini, berupaya bangkit lagi dari tidurnya.

AIRLANGGA, Mojokerto


RUMAH dengan tembok berwarna putih yang berada di Desa Penompo, Kecamatan Jetis siang kemarin terasa sepi. Tidak ada aktivitas terlihat dari luar rumah. Hanya sebuah papan bertuliskan nama usaha penjual kerupuk bertengger di depan.
Sebuah papan terbuat dari anyaman bambu terpasang didepan rumah sebagai alas menjemur ratusan kerupuk yang masih basah.
Di samping rumah, sebuah ruangan berukuran 6x6 meter terlihat aktivitas. Canda tawa anak-anak kecil terdengar dari luar rumah. Di depan pintu ruangan yang banyak tersimpan karung-karung tepung terigu itu, Iva dan dua saudaranya tampak tekun meletakkan bahan setengah jadi kerupuk yang baru direbus.
Sesekali bocah perempuan berusia delapan tahun ini bercanda dengan kakaknya, Saifun dan sepupunya Maarif. Ketiganya sangat terampil membentuk kerupuk-kerupuk yang masih basah tersebut dan meletakkannya diatas nampan terbuat dari bambu.
’’Ya begini ini aktivitas sehari-hari di rumah kami. Sehari-hari memang usaha ini dikerjakan oleh keluarga,’’ ujar Lamisan sambil mempersilakan masuk koran ini. Usaha yang dikerjakan satu keluarga ini memang diakui Lamisan sebagai usaha andalan mereka.
Sudah empat bulan ini bapak sembilan anak memulai usahanya sejak mengalami bangkrut 10 tahun lalu. ’’Dulu saya memulai usaha ini pada tahun 1989, awalnya memang tidak besar. Ya kecil-kecil dulu,’’ ungkapnya.
Lamisan tidak perlu belajar secara khusus untuk memproduksi kerupuk dengan rasa gurih ini. Pria berperawakan kurus ini mengaku belajar secara otodidak melalui teman-temannya.
’’Di tempat saya tidak ada yang memproduksi kerupuk. Kebanyakan warga sini bekerja sebagai buruh pabrik, petani dan pedagang,’’ ungkapnya.
Keberaniannya memulai usaha membuat kerupuk ini langsung didukung oleh istrinya. Keduanya bahu-membahu belajar membuat kerupuk yang berbeda dari kerupuk yang dijual selama ini.
Setelah melalui proses panjang dan berbagai percobaan, akhirnya pasangan suami istri ini ’’menciptakan’’ kerupuk baru dengan rasa yang lebih gurih. Bak putaran roda, setelah sepuluh tahun memulai usahanya, Lamisan mengalami kegagalan.
Harga bahan yang mahal serta krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1999 memaksa usahanya gulung tikar. Beberapa karyawan yang sudah lama mengabdi pun mulai meninggalkan dia untuk mencari pekerjaan baru.
Namun setelah sepuluh tahun mengalami vakum, pasangan ini mulai memiliki keberanian memulai usahanya seperti dulu. Berbekal modal seadanya serta ruangan sebelah rumah yang sebelumnya tidak terpakai, Lamisan mulai membangun kebangkitan usahanya seperti dulu kala.
Beruntung seluruh keluarganya mendukung. Tidak hanya dukungan moril, anak-anaknya pun turut membantu tenaga. Secara bergantian, keluarga besarnya ikut membantu membuat kerupuk yang dinamakan kerupuk ’’memble’’ ini.
Lamisan sendiri tidak tahu kenapa kerupuk yang dibuatnya dinamakan kerupuk ’’memble’’.
’’Awalnya pembeli yang menanyakan apa ada kerupuk memble, ternyata itu kerupuk saya. Jadi yang memberi nama itu pembeli bukan saya,’’ ungkapnya. Selain itu, para pembeli pernah memberitahu kalau kerupuknya seperti lidah yang menjulur. ’’Makanya diberi nama memble,’’ ungkapnya.
Kerupuk yang diproduksinya ini memang tidak beda dengan kerupuk lain jika dilihat secara sekilas. ’’Tapi rasanya lebih gurih dan tidak keras,’’ ujarnya. Dengan menggunakan bahan-bahan seperti tepung terigu dan tepung kanji serta ditambah bumbu-bumbu seperti bawang putih, Lamisan mampu mengolah menjadi kerupuk dengan rasa khas.
’’Ada teknik sendiri saat menggoreng. Kalau orang lain pasti hasilnya keras terutama dibagian tengah kerupuk karena tidak punya tekniknya,’’ ungkapnya.
Selain karena kegigihannya, Lamisan juga ikut LSM yang bergerak dibidang usaha kecil. Berkat bantuan LSM Kumbo Karno yang diikutinya, Lamisan mendapat pelatihan dan mengetahui bagaimana mengembangkan bisnis kerupuknya.
Meski baru empat bulan menjalankan usahanya, pemasaran yang dilakukan Lasiman dibilang cukup maju. Kerupuk yang diproduksinya mampu mencapai Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan seluruh Kabupaten dan Kota Mojokerto. ’’Biasanya ada sales yang datang kesini ambil kerupuk, tapi sebagian saya pasarkan sendiri. Kebanyakan di pasar-pasar,’’ ungkapnya.
Meski demikian, usaha yang digelutinya ini tidak lepas dari berbagai kendala. Saat ini, kendala utama yang dihadapinya adalah modal. Lamisan sendiri mengaku ingin usahanya menjadi besar.
Namun karena kurang modal, usahanya kini hanya terkesan jalan ditempat. ’’Keuntungannya masih belum banyak,’’ ungkap Nasinah, menimpali suaminya. Dia berharap. Pemerintah bersedia memberikan pinjaman lunak kepada usaha-usaha kecil seperti dirinya. ’’Kalau bisa tidak ada bunganya,’’ ungkap Nasinah.

Selengkapnya...

Kisah Suwadi yang Tergolek di Ranjang Selama 17 Tahun





Tinggal Kulit Berbalut Tulang, Wajah pun Seperti Anak Kecil

Tak ada yang bisa menolak nasib yang sudah digariskan Tuhan. Suwadi, misalnya, saat remaja sehat walafiat, tiba-tiba saja tergolek tak berdaya selama 17 tahun. Itu setelah pria berusia 36 ini mengalami kecelakaan.

AIRLANGGA, Mojoanyar


RUMAH kecil dengan tembok warna putih dan kombinasi hijau yang berada di Dusun Ngumpak, RT 1 RW 1 Desa Jabon, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto siang kemarin nampak sepi. Tidak ada aktivitas apapun di luar rumah. Begitu juga dengan rumah yang berada di kanan kirinya.
Meski hari itu panas terik matahari begitu menyengat, namun terasa sejuk di dalam rumah yang terbuat dari perpaduan antara bambu dan tembok.
Sesosok perempuan berusia 28 tahun keluar dari dalam rumah sambil menyapa koran ini. ’’Sebentar ibu masih sembahyang, silakan duduk,’’ ujar perempuan bernama Sukayanti. Yanti, sapaan Sukayanti adalah adik dari Suwadi.
Sepuluh menit kemudian, pasangan suami istri, Sapari dan Sukaelah keluar menyapa ramah. ’’Beginilah keadaan rumah kami,’’ujar Sapari, ayah dari Suwadi.
Sapari pun mengantarkan koran ini ke sebuah kamar berukuran 4x4 meter yang berada di dekat ruang tamu. Di kamar inilah Suwadi terbaring tidak berdaya. Sebuah dipan berukuran panjang dua meter dengan alas anyaman bambu setia menemani pra berusia 37 tahun ini.
Selain menjadi tempat ’’naungan’’ Suwadi, di kamar ini juga digunakan sebagai dapur. Hal ini terlihat dari banyaknya perabotan seperti gelas, piring dan alat memasak yang disimpan di dalam kamar. Sukaelah memiliki alasan khusus menjadikan kamar anak kesayangannya sebagai dapur. Karena sehari-hari berada didapur, Sukaelah juga tidak mau berada jauh dari anaknya. Mengingat kondisi anaknya yang selalu membutuhkan perhatian dari sang ibu.
Kondisi Suwadi memang memprihatinkan. Tubuhnya nampak kurus. Bahkan pria yang mestinya sudah cukup dewasa ini sama sekali tidak nampak sebagai pria dewasa. Dia malah terkulai dengan tubuh yang kurus.
Malah dari segi fisik pria berusia 36 tahun ini nampak seperti anak-anak yang baru duduk di SD. Tubuhnya mungil. Parahnya lagi, dia hanya bisa tertidur lemas di pembaringan. Jangankan untuk berdiri, duduk dan bicara saja pria malang ini tidak mampu.
Malah ketika koran ini mampir di rumahnya dan sempat mengambil foto di kamarnya, Suwadi nampak tidak ada reaksi. Tinggi badannya sendiri hanya sekitar satu setengah meter dan beratnya pun tidak lebih dari 20 Kg.
Suwadi sendiri adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Sapari, 77, dan Sukaleah, 68. ’’Kondisi saya memang seperti ini, tidak bisa berjalan. Bersalaman saja sulit,’’ ujar Suwadi dengan nada bicara yang kurang jelas. Kondisi yang menimpanya membuat Suwadi kesulitan bicara jelas.
Menurut penuturan sang ayah, Suwadi waktu usia remaja sebenarnya termasuk anak normal. Bahkan saat itu dia sudah bisa berjalan dan termasuk remaja yang periang. ’’Ya seperti anak lain selalu bermain keluar rumah dengan teman-temannya,’’ ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual kerupuk keliling ini.
Namun musibah tidak dapat ditolak oleh Suwadi. Saat berusia 20 tahun, Suwadi mengalami kecelakaan yang menyebabkan tulang di pinggulnya patah. Padahal, sebelumnya, putri pertamanya baru saja meninggal akibat penyakit jantung. Kedua musibah ini tentu saja membuat keluarga Sapari dan Sukaelah sangat bersedih. Awalnya, sang ayah menganggap luka yang diderita Suwadi tidaklah parah.
Namun Suwadi dibawa ke seorang dokter di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan atas saran teman Sapari. ’’Oleh dokter hanya disuntik. Saya tidak dijelaskan anak saya sakit apa,’’ ujarnya.
Namun rupanya penyakit yang diderita anaknya tidak kunjung sembuh. Bahkan cenderung semakin parah. Suwadi sampai tidak bisa berjalan dengan sempurna.
Karena melihat kondisi anak kesayanganya ada keganjilan, Sapari langsung mengajak buah hatinya untuk berobat ke salah satu tabib pengobatan alternatif di Jawa Tengah. ’’Saya lupa nama tabibnya. Dia praktik di Jawa Tengah,’’ ujarnya sambil mengingat-ingat.
Oleh tabib, sang anak disebutkan dalam kondisi sehat-sehat saja. Namun kenyatannya, makin lama kondisi anaknya kian parah. Malah selang beberapa bulan kedua kakinya lemas. ’’Awalnya sempat panas, kemudian lemas,’’ ujar Sukaelah menimpali pembicaraan suaminya.
Karena khawatir dengan kondisi anaknya mereka pun memutuskan untuk membawa Suwadi ke dukun pijat. ’’Kami sempat lama berobat di dukun pijat. Terkadang seminggu sekali ke sana. Pengobatan sendiri kami lakukan hampir selama satu tahun. Namun tetap tidak ada perobahan,’’ ungkap dia.
Malah, kata Sukaelah, kondisinya semakin parah. Selain lumpuh, kedua kaki dan tanganya juga lemas. Untuk bangun saja Suwadi tidak bisa. Bahkan seiring dengan waktu kesehatannya makin memburuk dan kini dia juga tidak bisa bicara.
Padahal, seluruh hartanya sudah habis setelah mengobati penyakit jantung putri pertamanya yang meninggal. ’’Tanah saya sudah dijual semua untuk mengobati putri saya yang sudah tiada,’’ ujarnya.
Sekarang, kondisinya lebih parah karena untuk duduk dan makan saja tidak mampu. Untuk itu kedua orang tuanya dengan telaten menyuapi putranya. Tidak sampai di sana. Kedua orang tuanya juga membantu saat Suwadi buang air besar dan air kecil.
’’Makan, minum dan buang air yang hanya dilakukan di dalam kamar saja,’’ ujar Sukaelah.
Lalu apa sebenarnya penyakit aneh yang menggerogoti Suwadi tersebut. Menurut Sukayanti dan kedua orang tuanya tidak tahu persis. Ini lantaran dokter dan puluhan tabib serta dukun pijat tidak pernah memberitahu penyakit yang diderita Suwadi.
Sapari sendiri sempat menanyakan kepada orang pintar tentang anaknya tersebut. Sapari sendiri kini hanya bisa pasrah. Kalau untuk kesembuhan anaknya dia pun tidak bisa berharap banyak.
Ini mengingat berbagai upaya telah dia lakukan. ’’Lima tahun saya berusaha mengobati anak saya. Sekarang saya hanya bisa pasrah saja,’’ ujarnya. Sebagai penjual kerupuk keliling yang memiliki pendapatan antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu per hari, Sapari mengaku tidak bisa lagi membiayai pengobatan anaknya.
Hanya saja pihaknya berharap kepada para dermawan dan pemerintah untuk bisa memberikan bantuan untuk makan dan pengobatan anaknya sehari-hari. Anak kesayangannya ini hanya bisa makan sedikit nasi.
Sementara untuk buang air besar dan kecil dilakukan di dalam kamar. Sementara untuk mandi keduanya dimandikan oleh kedua orang tuanya. ’’Terkadang seminggu sekali baru mandi,’’ ujar Sukaelah.
’’Ya sekarang ini untuk beli lauk pauk kesulitan, terlebih sekarang ini cukup mahal,’’ ujarnya sambil berharap kalau ada dermawan yang terketuk untuk membantunya. Suwadi sebenarnya adalah remaja yang sangat aktif dan pintar.
Dia memiliki keahlian otomotif. ’’Sebelum sakit, dia bekerja di bengkel di Pasinan,’’ terang ayahnya.
Di dalam rumah yang sederhana, selain tinggal bersama orang tuanya, Suwadi juga tinggal bersama adiknya, Sukayanti bersama suaminya Mustakim. Adik Suwadi, Sunyoto juga tinggal bersamanya. Hanya saja, Sunyoto yang bekerja serabutan jarang terlihat di rumah. (yr)

Selengkapnya...

Pengakuan Para Korban Trafficking, Calon Pelayan Pria Hidung Belang di Kalimantan


Jual Gadis: ’’Mami’’ saat diperiksa polisi


Mengaku ke Orang Tua, Bekerja di Surabaya

Terungkapnya kasus penjualan gadis asal Pungging, Kabupaten Mojokerto dua hari lalu, mengundang berbagai pertanyaan. Pelaku, Yn, 24, asal Desa/Kecamatan Pungging bekerja sendiri atau ada sindikat yang mengorganisasi?

AIRLANGGA, Mojokerto


KAMIS (3/9) sore, empat perempuan duduk di kursi tunggu ruang Satreskrim Polres Mojokerto. Tidak ada raut tegang yang terlihat di wajah mereka meskipun harus menjalani pemeriksaan di ruang unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Mojokerto.
Selesai tampak terdengar suara gurau diantara mereka. Layaknya ABG lainnya, ucapan bahasa-bahasa gaul terdengar dari mulut mereka.
Empat dari tiga perempuan yang sedang menunggu pemeriksaan ini adalah calon korban perdagangan perempuan atau trafficking. Andai saja petugas kepolisian tidak mencegah keberangkatan mereka ke Bandara Juanda Waru, Sidoarjo, mungkin mereka kini sudah bekerja melayani pria hidung belang di Samarinda.
’’Tadinya kami sudah memesan tiket ke Samarinda, tapi tiba-tiba dicegat sama pria-pria yang tidak dikenal. Saya pikir ada perampokan atau apa,’’ ujar Mawar, bukan nama sebenarnya. Dengan lugu, perempuan yang masih berusia 18 tahun ini tidak tahu menahu kalau nantinya akan berurusan dengan pihak kepolisian lantaran mengikuti ajakan temannya untuk bekerja di Samarinda. ’’Saya diajak oleh Melati (bukan nama sebenarnya) untuk bekerja di Kalimantan. Katanya enak banyak uang dari pada di sini, tidak ada apa-apa,’’ ujar perempuan asal Desa/Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto ini.
Mawar menceritakan, sekitar satu minggu sebelumnya, dia didatangi oleh Melati di rumahnya. Melati bilang kepada Mawar kalau dia baru saja diajak oleh Yn, perempuan yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Mojokerto.
’’Kata Melati, dia mau diajak ke Kalimantan, bekerja sebagai pelayan kafe. Dia tanya ke saya mau ikut apa tidak?’’ ujarnya polos.
Setelah mendengar cerita penghasilan yang nantinya akan didapat, Mawar menjadi tergiur. Ini lantaran selama ini, perempuan tamatan SMP tidak bekerja. ’’Sehari-hari saya ini menganggur di rumah, tidak ada pekerjaan,’’ ucapnya.
Begitu juga yang dialami oleh Melati. Perempuan berkulit hitam manis ini mengaku mengenal Yn sejak masa sekolah di SMA dulu. Yn adalah kakak kelas Melati saat bersekolah di SMA Pahlawan, Kecamatan Dlanggu.
Namun, saat menginjak kelas dua SMA, Melati tidak meneruskan jenjang pendidikannya lantaran terbentur masalah biaya. Setelah lama tidak bertemu, Yn tiba-tiba mendatangi rumah Melati.
Di sana, Yn menceritakan kalau dirinya bekerja dan menghasilkan banyak uang. ’’Katanya kerjaannya mudah tapi uangnya banyak,’’ ungkapnya. Oleh Yn, Melati dikenalkan dengan seorang perempuan yang biasa dipanggil ’’mami’’ melalui ponselnya.
Melati dan mami bicara banyak. Bak terhipnotis, rupanya, setelah mendengar cerita mami, Melati sangat antusias ikut Yn ke Samarinda untuk bekerja sebagai pelayan kafe. Dia lantas mengajak Bunga dan Mawar, teman sepermainannya untuk ikut serta.
Mawar sendiri mengaku terpaksa berbohong kepada orang tuanya agar diijinkan pergi. ’’Saya pamit ke orang tua pergi ke Surabaya sebagai pembantu rumah tangga. Sebelumnya saya memang pernah bekerja di Surabaya sebagai pembantu,’’ ucapnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Bunga dan Melati. Bahkan, Bunga mengaku sudah mengetahui pekerjaan yang akan dilakukannya nanti setiba di Samarinda. ’’Saya tahu kalau disuruh menemani tamu kafe. Bayarannya per botol Rp 2.000. Kalau mau uang lebih saya harus mau diajak kencan. Bayarannya bisa mencapai Rp 200 ribu. Sedangkan kalau dikontrak 14 hari bisa mendapatkan uang jutaan rupiah,’’ terangnya.
Yn, yang telah dietapkan tersangka memang mengaku sudah mengatakan pekerjaan yang akan dilakukan ketiga korban di Samarinda. ’’Saya bilang apa adanya. Kalau mau ikut saja, tapi kalau tidak mau tidak usah ikut,’’ucapnya. Yn sendiri awalnya juga korban trafficking.
Dia diajak oleh seorang perempuan yang baisa dipanggil mami berinisial Sr, asal Dlanggu yang kini menetap di Samarinda. ’’Awalnya saya diajak kerja di toko, tapi kenyataannya saya malah disuruh melayani tamu-tamu. Seminggu kemarin saya disuruh menjemput mereka (korban, Red) untuk dibawa ke Samarinda,’’ ungkapnya.
Sejak pindah ke Samarinda, Yn tidak dapat pulang ke rumah dengan alasan tidak tahu jalan pulang. Terpaksa perempuan yang kini sudah dikaruniai satu anak ini melayani pria hidung belang. Meski sudah menikah, dia tetap menjalankan profesinya sebagai pelayan kafe di laut selatan Samarinda.
Yn sendiri menceritakan perkenalannya dengan maminya tersebut. ’’Mami dulu punya warung di tepi jalan Dlanggu. Kebetulan saya sering lewat dan diajak mampir. Lalu saya ditawari bekerja di Kalimantan,’’ ucapnya.
Saat dilakukan pemeriksaan, Yn berulang kali mengiba kepada petugas untuk jangan dipenjara. ’’Kalau saya disel bagaimana nasib saya dong Pak, kira-kira berapa lama saya disel?’’ rengeknya.
Kasatreskrim Polres Mojokerto, AKP Samsul Makali mengungkapkan akan langsung ke Samarinda untuk mengejar pelaku lainnya. ’’Kami akan memburu maminya karena dia yang menyuruh Yn mengajak ketiga korban untuk dibawa ke Samarinda,’’ ujarnya.
Sebagaiman diberitakan, Satreskrim Polres Mojokerto berhasil menggagalkan percobaan trafficking tiga gadis asal Kabupaten Mojokerto kemarin sore. Seorang tersangka diketahui berinsial Yn, 24, warga Desa/Kecamatan Pungging diamankan saat akan membawa tiga gadis ke Kalimantan.
Polisi berhasil mengagalkan upaya penjualan gadis ke Kalimantan setelah mendapat informasi dari masyarakat. Saat itu juga petugas langsung melakukan penyelidikan.
Polisi akhirnya memberhentikan sebuah mobil Isuzu Panther nopol L 2412 LK yang akan membawa tersangka dan ketuga korban ke bandara Juanda. Mereka sudah memesan tiket pesawat perjalanan ke Samarinda. Dia juga mengatakan, kalau ketiga korban ini nantinya akan dipekerjakan sebagai pelayan sekaligus menemani tamu. Yn dan Sr nantinya akan dijerat dengan pasal 2, 9 dan 10 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


Selengkapnya...

Trowulan, Kawasan yang Diduga Pusat Kota Majapahit







Arkeolog pun Sibuk Menggali dan Menyingkap Tabir

Kerajaan Majapahit hingga sekarang masih menjadi misteri baik bagi masyarakat ataupun para peneliti. Proses ekskavasi situs-situs di Trowulan, Mojokerto pun dilakukan karena dianggap sebagai pusat Kota Majapahit. Bagaimanakah proses ekskavasi tersebut?

AIRLANGGA, Trowulan

DUA alumnus jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan Universitas Indonesia tampak tekun melihat bongkahan batu berwarna merah di bawahnya. Sorot kedua mata mereka tak pernah lepas dari situs-situs yang sudah bercampur dengan tanah dan batuan.
Kedua tangannya tampak teliti mengais tanah menggunakan kuas kecil. Sesekali mulut mereka meniup butiran-burtiran pasir yang menghalangi alur goresan-goresan yang terukir diatas batuan bersejarah.
Terik matahari tidak menghalangi kedua pria ini untuk mengungkap fakta sejarah Majapahit. Salah satu kerajaan terbesar di Indonesia. Ada sekitar empat belas peneliti yang sedang melakukan pekerjaannya di halaman samping Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang berada di Desa/Kecamatan Trowulan.
Proses ekskavasi yang dipimpin Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia, melibatkan lima regu. Setiap regu terdiri dari lima pegawai BP3 Trowulan. Juga ada tiga tenaga ahli yang sebelumnya terlibat rehabilitasi Candi Borobudur.
Mereka adalah ahli pemetaan Bambang Siswoyo, ahli gambar Bambang Sumedi, dan ahli fotografi Suparno. Serta melibatkan alumni dari Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan Universitas Indonesia.
Menurut Osrifoel Oesman, anggota tim evaluasi pembangunan pusat informasi tersebut, lokasi yang diekskavasi ini kemungkinan besar adalah pemukiman penduduk di masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan abad ke-14. Dilihat dari struktur batuan, lantau serta artefak yang ditemukan, kemungkinan besar lokasi yang digali ini adalah pemukiman penduduk kalangan atas.
’’Tidak mingkin ada artefak bagus di kawasan penduduk biasa, secara logika kan seperti itu. Contohnya sekarang ini ada perbedaan pemukiman kawasan Menteng Jakarta dengan penduduk di Jakarta Utara yang biasa-biasa saja,’’ ungkap pria yang berpenampilan nyentrik ini.
Dia menjelaskan, kawasan 800 meter persegi itu sudah bisa diekskavasi hingga akhir tahun 2009. Tak kurang dari 200 lubang baru ukuran 4x4 meter bakal digali dengan sistem grid. Tahap pertama sudah dilakukan pada 28 Juli-8 Agustus lalu. Pada tahun 2010 proses ekskavasi akan dikembangkan ke situs Segaran 5, arah selatan lokasi pembangunan pusat informasi. ’’Mencakup situs Segaran 2 hingga Segaran 5 sepanjang 120 meter,” kata Osrifoel.
Pada proses ekskavasi tahap kedua ini, rencananya tim akan menggali dan merehabilitasi 30 kotak atau seluas 480 meter persegi. Hasil sementara, peneliti menemukan lantai zaman Majapahit di sebelah selatan PIM. Disamping itu, sebuah tembok selebar 90 sentimeter dengan panjang 1,5 meter ditemukan di sekeliling lokasi PIM.
’’Dugaan kami, tembok-tembok itu bagian dari cluster-cluster (kavling, Red) sheingga ini semakin meyakinkan kami kalau di lokasi ini adalah kawasan hunian,’’ ujarnya. ’’Tapi kalau kawasan hunian biasanya ada jalan-jalan tapi sampai saat ini kami masih belum menemukan,’’ ungkapnya.
Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia mengatakan, proses ekskavasi dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan Jawa Timur dengan pengawasan, perencanaan, dan evaluasi oleh tim rehabilitasi.
Menurut Cecep, pada tahap pertama dibuka 38 grid untuk merehabilitasi bekas-bekas ekskavasi dan pembangunan yang merusak peninggalan bangunan dan struktur permukiman zaman Majapahit di bawahnya.
Ketua tim rehabilitasi, Prof Mundardjito mengungkapkan, proses ekskavasi ini memang akan dilakukan sebanyak empat tahap. ’’Kesimpulannya belum dapat ditentukan, tapi kemungkinan kalau di lokasi ini adalah kawasan hunian sangat besar,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Purbakala, Junus Satrio menjelaskan, proses rehabilitasi ini memiliki dua sasaran yakni PIM sebagai pusat informasi yang benar-benar memberikan informasi bukan hanya sekedar bangunan saja.
Disamping itu, proses ekskavasi ini juga memiliki tujuan untuk rehabilitasi. Untuk target, Junus mengatakan direncanakan lima tahun kedepan PIM bisa dinikmati sepenuhnya bagi kepentingan masyarakat.


Selengkapnya...

Keluh Kesah Petani Menghadapi Kemarau Panjang




KERING: Musim kemarau yang panjang mengganggu kehidupan bercocok tanam petani Mojokerto.



Gagal Panen, Terpaksa Timbun Gabah untuk Tutupi Kerugian

Musim kemarau panjang secara tak langsung menyentuh kebutuhan dapur para petani atau buruh tani. Selain dibayang-bayangi gagal panen, mereka terpaksa mencari alternatif sumber penghasilan lain untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya.

AIRLANGGA, Mojokerto

GERIMIS yang terjadi sore kemarin seakan-akan menjadi berkah tersendiri bagi Sutris, 57. Maklum saja, sudah hampir 10 bulan ini petani yang tinggal di Desa Sawo, Kecamatan Jetis berharap-harap cemas. Kekhawatiran akan gagal panen selalu melanda pikirannya karena musim kemarau berkepanjangan.
Karena hujan yang tidak kunjung selama hampir 10 bulan ini, satu hektare lahan padi miliknya terancam gagal panen akibat kekurangan air. ’’Selama ini saya mengandalkan air irigasi saja, tapi itu belum cukup karena air sungai di sini tidak terlalu banyak. Sumur juga tidak ada airnya kalau musim kemarau. Kebanyakan petani di sini adalah petani sawah tadah hujan,’’ ujarnya.
Sutris mengatakan, kemarau yang datang sejak bulan Januari lalu membuat dirinya dan petani lainnya resah. ’’Bagaimana tidak resah kalau tanah menjadi kering seperti ini,’’ ungkapnya.
Untuk menyiasati, Sutris berusaha mengganti tanaman padi dengan menanam jagung. ’’Kalau menanam jagung di musim kemarau memang lebih untung, tapi karena tanah di sini tidak biasa ditanami jagung jadinya hasilnya tidak sebagus di daerah penghasil jagung,’’ ujarnya.
Selain Sutris, petani lainnya, Syafii juga mengeluhkan musim kemarau berkepanjangan. ’’Mau bagaimana lagi memang sudah kemauan yang diatas seperti ini,’’ ujar petani asal Desa Awang-awang, Kecamatan Mojosari ini pasrah.
Sinar matahari yang menyengat tak mengurungkan niat Syafii menapaki pematang sawah di belakang rumahnya. Tangan terampilnya mulai mengaduk tanah dan mencampurnya dengan air, kemudian dicetak menjadi bata. Itulah aktivitas lelaki 57 tahun ini akhir-akhir ini.
Selama musim kemarau, di tempat tinggalnya bapak dua anak ini beralih pekerjaan menjadi pembuat bata. Kesibukan musiman ini sedikit bisa menjadi penyambung hidup. Syafii menuturkan, seribu batu-bata dihargai Rp 350 ribu.
Ia bersyukur masih ada pemborong yang membeli bata buatannya. Tidak sedikit tetangga yang gigit jari karena bata bikinan mereka tidak laku. ’’Membuat batu-bata memang unik. Selain memerlukan kecekatan, memerlukan juga ketelitian, agar bata tidak mudah pecah,’’ ujarnya.
Sebagai petani tulen, Syafii sangat menggantungkan hidup dari bercocok tanam. Namun, setiap musim kemarau, sawahnya tidak bisa ditanami karena irigasinya sangat tergantung pada air hujan. Kondisi wilayah yang gersang membuat asupan air tidak mudah tersimpan tanah.
Setiap musim hujan Syafii hanya bisa menanami sawahnya dengan padi, jagung, dan ketela pohon. Jika beruntung, terkadang dia mencoba menanam tembakau serta sayuran seperti bayam, cabai, dan mentimun. Memasuki musim kemarau dia tak bisa lagi menanami sawahnya yang kering kerontang.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Syafii menyiasati dengan menimbun gabah yang dipanen. Jika uang dapur tak cukup, Syafii menjual gabah seharga Rp 3.000 per kilogram. Jika masih kurang, tak jarang dia menjual jagung dan ketela pohon yang harganya Rp 750 hingga Rp 2.500 per kilogram.
Syafii mengaku pendapatan turun drastis, terlebih pada musim kemarau ini. Meski tidak menghitung secara pasti, dia memperkirakan pendapatannya tidak seberapa banyak, karena masih harus dikurangi biaya tanam dan panen.
Tahun ini kondisi ekonomi keluarga Syafii memburuk karena sempat mengalami gagal panen. Padi di dua petak sawahnya gagal panen, karena kekurangan air. Dia pun menanggung rugi sekitar Rp 500 ribu.
Pohon-pohon mangga Syafii juga terancam gagal panen, karena musim semakin tidak menentu. ’’Mestinya pohon mangga sudah mengembang. Kalau telat, keburu musim hujan datang lagi. Kalau sudah begitu, ya harus ikhlas merugi lagi,’’ ujarnya.
Nasib yang jauh lebih buruk dialami Mulyono, tetangga Syafii. Pria yang memiliki empat anak ini harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih dia hanya buruh tani. Dalam keseharian, Mulyadi yang sederhana ini berusaha mencari tambahan rezeki dengan menawarkan diri kepada siapa saja yang memerlukan tenaganya.
Bagi Mulyadi, musim kemarau tak ubah panas neraka yang sangat menyiksa. Sebagai buruh tani di daerah yang kering, dia harus beralih pekerjaan sebagai buruh lainnya. Bahkan tidak jarang dia merantau ke luar kota atau bahkan luar pulau untuk mencari pekerjaan sampingan.
’’Bagi orang seperti saya, kerjaan apa saja ndak masalah. Apalagi saya hanya tamatan SD,’’ buruh tani yang mengaku berasal dari Lamongan ini.
Pekerjaan yang dijalani Mulyadi pun beraneka ragam. Mulai dari tukang tebon (penebang tebu), tukang angkut kayu, pembuat bata, hingga kuli bangunan. Semua itu dilaluinya dengan senyum, meski dengan bercucuran keringat. Istri Mulyadi, Saripah juga ikut membantu mencari tambahan penghasilan.
Beragam pekerjaan dijalani Saripah. Mulai dari pembantu rumah tangga hingga buruh penebang tebu dengan gaji yang sangat kecil. Meski harus kerja keras, Saripah iklas menjalankan pekerjaannya. ’’Yang penting anak saya bisa makan,’’ ungkapnya.
Syafil dan istrinya berharap musim kemarau cepat berlalu sehingga dia bisa kembali menggarap lahan pertanian. ’’Kalau ada garapan bisa menambah uang untuk makan dan biaya sekolah anak-anak saya,’’ ungkapnya.
Bagi sebagian petani lainnya, musim kemarau justru tidak membuat mereka merugi. Mereka adalah petani yang menanam tanaman dimusim kemarau seperti tanaman tebu. ’’Kalau musim kemarau sekarang ini tidak terlalu berpengaruh untuk tanaman tebu, buktinya sekarang baru panen dan mulai menanam lagi,’’ ungkap Sistoyo, 40, petani asal Desa Tanjung, Kecamatan Kemlagi.

Selengkapnya...

Suka Duka PKL Joko Sambang Raup Rezeki Lebaran





Banyak Pencuri Berkeliaran, Tetap Laris karena Ikuti Mode

Lebaran adalah saat-saat para pedagang PKL di kawasan Joko Sambang kebanjiran rezeki. Betapa tidak, setiap harinya, banyak warga datang ke kawasan wisata niaga ini untuk berburu pakaian murah.

AIRLANGGA, Mojokerto



HIRUK-PIKUK lalu lintas di jalanan selebar empat meter sangat terasa di saat hari menjelang sore. Lalu-lalang sepeda motor dan sepeda adalah pemandangan biasa di kawasan ini. Pengendara motor yang melintas di kawasan ini memang dituntut memiliki kesabaran yang tinggi.
Maklum saja, kawasan ini memang sengaja diperuntukkan bagi mereka yang ingin melihat-lihat barang murah.
Namun, sesekali terdengar suara klakson sepeda motor bagi pengendara yang salah pilih jalan. Di sepanjang jalan, suara pedagang menawarkan pakaiannya sangat terdengar jelas. Suara khas pedagang kaki lima yang mencoba mendapatkan peruntungan bagi pengunjung yang melintas.
Langit semakin sore menjelang kaum muslimin berbuka puasa. Perlahan, sepanjang jalan Joko Sambang mulai menampakkan denyut ekonomi. Di pusat PKL pakaian kelas menengah ke bawah itu mulai dikerubungi pembeli yang rata-rata mengendarai roda dua. Sisa lebar jalan yang tinggal sekitar 4 meter itu mulai menyempit lantaran banyaknya kendaraanyang lalu-lalang.
Semakin malam, jalan itu semakin sempit saja. Karena tak hanya melintas, ratusan roda dua ini malah berhenti di depan ratusan kios pakaian yang menjual beragam jenis dan harga itu. Satu per satu kios para pedagang dengan gemerlap lampu ini mulai dipenuhi pembeli, yang rata-rata kalangan muda.
Bagi kalangan muda, kawasan Joko Sambang memang akrab. Di tempat inilah mereka bisa melampiaskan hasrat ’’bergaya’’ dengan tanpa merogok kocek dalam-dalam. Betapa tidak, dengan hanya uang sebesar Rp 15 ribu saja, mereka sudah bisa mendapatkan sebuah kaos yang beraneka desain.
Tak hanya kaos, sejumlah celana jins merek lokalan juga banyak dijual di sini. Beberapa kios juga menjual celana bermerek namun dengan harga bersahabat. Entah karena barang yang dijual itu adalah produk gagal, atau produk ’’sulapan”. Yang jelas, di lokasi ini bisa memenuhi semua kebutuhan fashion kalangan muda.
Banyaknya pengunjung menjelang Lebaran seperti ini, tentu menjadi berkah bagi ratusan pedagang. Omzet mereka bisa naik hingga tiga kali lipat dari hari-hari biasa. ’’Kalau pengunjung paling ramai sekitar pukul 4 sore sampai magrib, pasti banyak anak muda yang datang membeli baju Lebaran,’’ ujar Sulistiono, salah satu pedagang kaos khas anak muda.
Namun dalam kondisi ini, para pedagang juga merasa waswas. Ada bahaya yang mengancam berkurangnya laba mereka dari berjualan pakaian itu. ’’Banyak yang laku, tapi banyak juga pakaian yang hilang,’’ celetuk Sulistiono, pedagang asal Kecamatan Dlanggu.
Dia menjelaskan, pada puncak membeludaknya pembeli, mulai magrib hingga pukul 21.00, pengawasan di kiosnya mulai melemah. Itu lantaran banyaknya pembeli yang mengunjungi kiosnya.
Kondisi inilah yang membuka lebar kesempatan bagi pencuri pakaian. ’’Yang menjaga kios hanya saya dengan adik saya. Sementara pembelinya memenuhi kios yang sempit ini,’’ tukasnya.
Sejauh ini, dia memang tak pernah menangkap tangan para pencuri pakaian itu. Hilangnya sejumlah stok barang ini, diketahui saat ia menghitung jumlah uang yang didapat. Setiap hari, ia harus kebingungan mencocokkan jumlah uang dan pakaian yang laku.
’’Pasti ada saja satu atau dua pakaian yang hilang setiap harinya. Ini juga dialami teman-teman saya yang lainnya,’’ ujarnya.
Ia sendiri mengaku tak bisa berbuat banyak, mengingat kesibukannya melayani pembeli yang membeludak. ’’Kami tak punya satpam yang bisa mengawasi. Pengawasannya memang lemah,” tukas pedagang yang sudah puluhan tahun berbisnis pakaian kelas menengah ke bawah ini.
Kondisi yang sama juga diungkapkan Darmawan pedagang lainnya. Ia pernah sempat menghitung berapa potong pakaian yang raib tanpa rupiah. ’’Pernah sampai sepuluh potong kaos dan celana. Kami sendiri juga tak tahu kelompok mana yang jahil itu,” kata Darmawan.
Darmawan dan pengunjung lainnya hanya berharap adanya kesigapan petugas yang membantu mereka. ’’Dulu sempat ada pencuri yang tertangkap. Tapi kami lepaskan karena kasihan. Pencuri itu juga karena tidak memiliki uang,’’ terangnya.
Namun, pencuri yang belakangan mencuri di kawasan Joko sambaing ini menurutnya dilakukan secara berkelompok. ’’Pasti ada yang mengkoordinir. Tidak mungkin kalau beraksi sendirian,’’ ungkapnya.
Meski demikian, para pedagang tidak sampai rugi banyak jika melihat banyaknya pengunjung di kawasan Joko Sambang. Salah seorang pengunjung, Fitriana, 19, mengatakan, dia memang sengaja datang kekawasan Joko Sambang untuk mencari baju lebaran nanti. ’’Harga di sini bisa ditawar setengah harga dari yang ditawarkan penjual. Kualitas dan modelnya juga baru-baru,’’ ujarnya yang ditemani teman prianya.
Basuki, pengunjung lainnya mengatakan, mode pakaian yang ditawarkan di sini juga tidak ketinggalan. ’’Kebetulan saya mencari jaket seperti vokalis ST 12. Di sini banyak yang jual,’’ ujar pemuda berusia 18 tahun ini malu-malu.

Selengkapnya...

Aktivitas Ramadan Bersama Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) SDLB Mojosari





Guru Dituntut Sabar, Selalu Ribut dan Berlarian saat Ceramah

Banyak kegiatan yang bisa diisi selama bulan Ramadan ini. Hal tersebut juga dilakukan oleh anak-anak SDLB Seduri, Mojosari. Meskipun riuh rendah, namun anak berkebutuhan khusus (ABK) SDLB ini antusias mengikuti acara kegiatan di bulan suci.

AIRLANGGA, Mojosari



KECERIAAN sangat terasa di halaman SDLB Seduri Mojosari kemarin. Puluhan anak-anak berusia sekitar 7 hingga 12 tahun tampak rapi memakai busana muslim. Mereka tampak senang dengan pakaian yang dikenakannya karena tidak setiap hari anak-anak ini mengenakan pakaian muslim. Ada yang merasa senang sambil memamerkan kepada teman-temannya, ada pula yang masih risih saat seorang siswi mengenakan jilbab.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00. Sekitar 130 anak-anak mulai memasuki satu ruangan kelas. Di sana, mereka duduk bersila. Meski para guru menyuruh untuk tenang, namun satu dua siswa masih tampak bersenda gurau. Saat anak yang ramai didekati seorang guru, barulah suasana mulai tenang.
Saat itulah Mashudi, salah seorang pengajar mulai masuk kelas. ’’Semuanya puasa tidak? Siapa yang tidak puasa?’’ sapa Mashudi kepada anbak didiknya yang dijawab,’’Yaaa...!’’ secara serentak.
’’Kalau puasa kok masih ada yang minum di sana,’’ ujarnya sambil menunjuk ke salah soerang murid yang tampak asyik menikmati minuman susu kotak. Suasana pun semakin cair saat tawa anak-anak ini terdengar.
Mashudi mulai menyampaikan materinya tentang syarat sah puasa bagi muslim. ’’Coba tebak, apa syarat sah yang pertama,’’ tanyanya kepada anak-anak. Dengan gaya yang kocak, Mashudi mulai menjelaskan syarat sah berpuasa mulai pertama hingga akhir.
Di setiap materi yang disampaikan, selalu disampaikan dengan gaya kocak hingga dengan mudah dicerna. Suara tawa anak-anak semakin kencang terdengar saat Mashudi memasukkan tas salah seorang siswa ke dalam perutnya.
’’Kalau perempuan hamil tidak wajib berpuasa, betul tidak?’’ tanyanya sambil memeragakan perempuan yang sedang hamil. Begitu juga saat Mashudi memeragakan gaya orang mabuk. Dengan berjalan sempoyongan ke arah para murid, Mashudi memberikan pesan kalau orang yang puasa haruslah yang berakal sehat. ’’Kalau mabuk tidak boleh puasa,’’ ujarnya yang disambut tawa anak-anak.
’’Untuk menyampaikan pesan kepada murid-murid memang harus seperti itu, kalau perlu diperagakan dengan bahasa tubuh karena di sini juga ada siswa yang tunarungu,’’ terang Mashudi. Selain dengan metode pembelajaran tersebut, parea guru juga dituntut untuk sabar.
’’Mereka ini siswa yang bisa diajak komunikasi tentunya dengan cara yang berbeda dengan anak-anak lainnya,’’ ungkapnya.
Selama bulan puasa, SDLB memamg memberikan pembelajaran agama Islam intensif kepada para siswanya. Pada praktiknya, kegiatan ramadhan ini dilaksanakan selama lima hari mulai Selasa (8/9) hingga Sabtu (12/9).
Materi yang diajarkan beragam mulai baca Alquran hingga ceramah. Mashudi mengakui, anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ditangani memiliki kemampuan terbatas dalam menamatkan puasa. Namun yang menjadi target penanaman ilmu agama terhadap ABK tersebut setidaknya anak mengenal teknis puasa yang diawali dengan makan sahur dan diakhiri dengan berbuka.
’’Selain itu amalan-amalan yang harus dilakukan selama berpuasa,’’ ujarnya. Menurut Mashudi, kegiatan ini sengaja dilakukan untuk memberikan pelatihan, motivasi dan pencerahan bagi siswa SLB.
Para peserta yang mengikuti kegiatan ini sekitar 130 anak. Mereka terdiri dari 4 siswa penyandang tunanetra, 39 siswa penyandang tunarungu-wicara, 74 siswa penyandang tunagrahita dan 11 siswa penyandang tundadaksa.
’’Beberapa kegiatan dalam Pondok Ramadan tahun ini dengan menghadirkan beberapa pembimbing yang memang piawai di bidangnya,’’ ujar Mashudi. Dengan penuh semangat, para siswa kemudian dibagi kedalam beberapa kelompok sesuai dengan tingkat pendidikan masing-masing untuk mengikuti sejumlah kegiatan bersama beberapa pembimbing yang sudah dipersiapkan.
Beberapa kegiatan bernuansakan Islami, mulai dari belajar salat, menghafal Alquran, sampai dengan belajar membaca Alquran dihadirkan dan wajib diikuti oleh siswa-siswa.
Meski tidak mudah, para guru berupaya menjelaskan materi-materi keagamaan kepada 130 orang siswa SLB. Materi keagamaan lebih mengedepankan kebersamaan dan kepercayaan.
Diharapkan, setelah kegiatan ini, kepercayaan diri para siswa SLB ini dapat meningkat, sehingga mereka dapat menyongsong kehidupan lebih cerah. ’’Kegiatan ini memang diperuntukkan siswa-siswa cacat netra. Kami berharap dimasa depan nanti, mereka punya sedikit bekal tentang pelajaran agama. Selain itu, kami juga ingin memberikan anak-anak pelajaran agama dengan praktik secara langsung,’’ ujar Mashudi. Dia menambahkan bahwa kegiatan serupa tahun lalu pernah digelar dan diikuti juga oleh seluruh siswa.
Meskipun diselenggarakan setiap tahun namun selalu ada yang menarik, dan mengesankan di setiap kegiatan. Pengejaran beberapa anak yang malas mengikuti kegiatan, selalu ada saja alasan yang diungkapkan.
Ada yang bersembunyi, pulang, atau berputar saja mengelilingi sekolah hingga akhirnya selesai kegiatan. Namun didalam banyak juga siswa bersemangat, dan gembira mendengarkan nasehat yang disampaikan guru, meskipun terkadang bermain atau bicara sendiri.
Mereka senang mengikuti salat berjamaah, meskipun sambil tengok kanan kiri, atau saling mendorong. Demikianlah, mengajar anak berkebutuhan khusus merupakan sebuah seni yang butuh perasaan, kasih sayang, ketrampilan, juga ilmu.





Selengkapnya...

8.10.2009

Candi Brahu, Situs yang Berubah Jadi Tempat ’’Ngumpet’’ Para Pelajar




Foto: salah satu pasangan muda-mudi yang berada di Candi Brahu





Jadi Jujugan Membolos, Ganti Seragam untuk Kelabui Petugas

Candi Brahu dan beberapa candi lainnya yang ada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten memang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Namun, segelintir kalangan pelajar dan pasangan muda-mudi justru memiliki alasan lain daripada belajar sejarah dan budaya bangsa di candi ini.

AIRLANGGA, Trowulan



TERIK matahari, seakan menjadi saksi kegagahan Candi Brahu, yang terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Terik matahari terus naik ke atas langit seiring waktu yang terus berjalan. Areal candi yang mencapai sekitar 1 hektare, menjadi tempat yang nyaman untuk sekedar berteduh dan menikmati peninggalan sisa kejayaan Kerajaan Majapahit ini. Apalagi di sekitar candi yang berada di tengah persawahan itu, terdapat beberapa bangku dengan tanaman teduh.
Dibawah terik matahari, beberapa anak muda-mudi berpakaian seragam SMA mulai silih berganti mendatangi Candi Brahu yang ada di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Pasangan muda-mudi ini pun langsung memarkir motor mereka setelah sebelumnya membayar karcis parkir seharga seribu rupiah. Beberapa menit kemudian, pasangan muda-mudi lainnya kembali datang mengendarai motor.
Tidak seperti kedatangan wisatawan yang memang sengaja menikmati kemegahan candi ini, pasangan muda-mudi ini langsung menuju tempat duduk yang sebenarnya digunakan sebagai tempat berteduh. Mereka sengaja memilih tempat yang tidak dapat dilihat orang lain.
Rupanya, kondisi nyaman untuk beristirahat seperti ini, menjadi tempat favorit pasangan muda-mudi. Tak jarang diantara mereka, masih menggunakan seragam sekolah.
Tentu saja, kedatangan para pelajar itu, bukan untuk menikmati dan mempelajari pemandangan berupa bangunan dari batu bata yang konon menjadi tempat pembakaran jenazah para raja. Lokasi candi, hanya menjadi tempat untuk memadu kasih dua insan berlainan jenis yang rata-rata dari mereka berusia remaja.
Kondisi seperti ini hampir terjadi setiap harinya. Bahkan, saat lokasi candi baru buka, sudah ada pasangan muda-mudi usia sekolah yang mendatangi candi hanya untuk sekedar berdua-duaan.
Salah satu pasangan yang berusaha diwawancarai koran ini mengatakan, mereka tidak terlalu sering berkunjung ke tempat ini. ’’Kita tidak membolos, kebetulan tadi ada rapat guru dan sekolah diliburkan lebih awal,’’ terang siswi yang masih mengenakan seragam lengkap bersama teman lelakinya.
Banyaknya pasangan muda-mudi dan pelajar yang membolos di tempat ini, tentu saja membuat penanggung jawab candi sedikit terganggu. Selain telah mengubah fungsi candi, kerap kali lokasi ini menjadi sasaran bolos sekolah. ’’Memang, banyak anak sekolah yang hanya datang untuk pacaran, bukan untuk belajar sejarah,’’ kata Sodim yang mengaku menjadi penjaga candi.
Dia mengaku, tak bisa banyak berbuat dengan ulah pelajar dan pasangan muda itu. ’’Kita juga tidak bisa melarang mereka. Masak mereka harus diusir, mereka juga pengunjung. Kita juga tidak tahu tujuan awal mereka seperti apa, yang kita tahu mereka ini,’’ imbuhnya.
Kerap kali, ia mengingatkan jika lokasi candi bukan tempat kencan gratis melainkan tempat para wisatawan menikmati wisata sejarah. Kendati telah banyak mengingatkan, masih saja ada pelajar yang memilih lokasi candi untuk tempat janjian. ’’Kadang anak-anak muda sekarang pinter-pinter Mas, banyak alasannya. Kadang ada juga yang salin terlebih dahulu sebelum membolos ke tempat ini,’’ ungkap Sodim lagi.
’’Lihat saja, ada berapa pasang yang ada di bangku-bangku itu. Saya capek mengingatkan,’’ ujar Suyono, penjaga candi lainnya sembari menunjuk dua bangku terpisah yang masing-masing terisi satu pasangan
Menurut dia, banyaknya pelajar yang memanfaatkan lokasi Candi, lantaran mereka sama sekali tak dipungut biaya untuk masuk lokasi. Apalagi, banyak tempat terpencil yang bisa meloloskan mereka dari pandangan pengunjung lainnya. ’’Memang lokasinya luas, dan banyak pilihan tempat. Lagi pula, lokasi pelataran candi, jauh dari jalan, terangnya.
Kondisi ini kata Suyono, terjadi saat hari aktif sekolah. Sementara di hari libur, lokasi candi memang menjadi jujugan para wisatawan sesungguhnya. Selain hari libur, lokasi candi memang hanya dikunjungi segelintir pengunjung saja. Paling-paling, sehari hanya lima pengunjung, tuturnya.
Andik, petugas lainnya mengatakan, selama ini memang tidak ada operasi terhadap anak bolos di areal candi ini. ’’Kalau di tempat lain memang ada, seperti di Candi Tikus, Pendapa Agung dan tempat sejarah lainnya. Tapi kalau di sini tidak pernah ada razia sama sekali,’’ ungkapnya.
Pada hari-hari libur, candi yang sempat dipugar tahun 1989-1992 ini memang agak berbeda. Tak hanya wisatawan domestik saja yang singgah. Tak jarang, wisatawan asing juga mengabadikan gambar dan mengagumi bangunan kuno itu.
’’Kalau hari libur, banyak pelajar yang ke sini. Tapi niatnya bukan pacaran, melainkan ingin megetahui sejarah candi. Biasanya yang datang rombongan menggunakan bus,’’ terangnya sambil menunjuk buku tamu yang memang mencatat sepinya pengunjung di hari efektif dan ramainya wisatawan di hari libur.
Selain yang datang adalah wisatawan tak sengaja kerap kali juga lokasi candi dikunjungi rombongan pelajar dari luar kota. Suasana seperti inilah sebenarnya yang membuatnya kerasan menjaga candi. ’’Harusnya begitu. Lokasi candi untuk belajar, bukan untuk tempat pacaran,’’ harapnya



Selengkapnya...

Berkunjung ke Desa Pengumpul Sampah di Trowulan





Sudah Terbiasa dengan Sampah, Jadi Usaha Turun Temurun

Bagi sebagian daerah, sampah bisa menjadi persoalan tersendiri. Bahkan, sampah juga bisa mengakibatkan konflik. Namun, di Desa Kejagan, Kecamatan Trowulan, sampah bisa menjadi sumber penghidupan mayoritas warga.

AIRLANGGA, Mojokerto



RUMAH-rumah bertingkat dengan tumpukan sampah yang tinggi terlihat jelas di sepanjang jalan menuju Desa Kejagan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Aktivitas membongkar sampah di atas truk kerapkali terlihat di sepanjang jalan menuju desa ini.
Siang itu, di salah satu rumah permanen, puluhan orang tampak terlihat sibuk membawa tumpukan karung berisi sampah-sampah kering ke atas sebuah truk. Tubuh laki-laki berbadan kekar dengan mengenakan kaos singlet berwarna putih ini tidak sedikit pun merasa lelah apalagi jijik. Padahal, mereka tahu yang diangkutnya keatas truk adalah sampah-sampah.
’’Ya dari mengangkut sampah inilah saya bisa mendapatkan uang, lumayan daripada menganggur di rumah,’’ terang Sugito, 23, pemuda desa setempat. Sugito adalah salah satu pemuda di Desa Kejagan yang bisa mencari uang dengan sampah.
Tidak jauh dari aktivitas Sugito dan teman-temannya, pasangan suami istri, Ponawi dan Sumarni tampak serius melepas tutup gelas plastik sisa air mineral. Satu per satu dengan cekatan keduanya melepas dan membersihkan gelas air mineral tersebut.
Ponawi yang sudah berusia 53 tahun ini mengaku sudah tujuh tahun mencari nafkah dengan menjual sampah-sampah plastik. ’’Kalau sampah plastik ini didatangkan dari Pasuruan, nantinya dijual lagi ke pabrik-pabrik di Surabaya ataupun di Sidoarjo,’’ terang kakek dari empat cucu ini.
Hal senada juga dikatakan oleh Sumarni. ’’Selain sampah plastik, kami juga menerima sampah sandal bahkan tulang sapi,’’ ujarnya. Nenek berusia 50 tahun ini mengaku, dia membeli sampah-sampah ini seharga Rp 2.500 per kilogram dan dijual lagi seharga Rp 4.000 per kilogram. ’’Belinya ya dari pemulung yang datang di sini, mereka juga kebanyakan warga di sekitar sini,’’ terangnya.
Aktivitas jual beli sampah memang selalu terjadi di desa yang terkenal dengan sebutan desa pengumpul sampah ini. Kebanyakan, mereka melakukan pekerjaan ini sejak turun temurun. Bahkan, ada sebagian mewarisi usaha orang tua mereka. ’’Saya membeli sampah-sampah awalnya juga dari orang tua, ya alhamdulillah bisa menjadi besar,’’ terang Utami, salah seorang pengepul.
Selain pengepul sampah, di desa ini juga ada yang disebut penambang sampah. Salah satunya adalah Imam, 29. Mendapatkan hasil yang menjanjikan dan bekerja dengan santai, tanpa ada paksaan ini, kata Imam, membuat teman-temannya sesama penambang sampah ingin bekerja hingga malam hari. Bahkan, ada juga penambang sampah yang belum menikah sampai malas untuk pulang ke rumah.
’’Semua ini karena bekerja di sini (mencari sampah) tidak ada paksaan dan target. Dan juga tidak ada jam kerja. Jadi, kapan saja kami boleh bekerja. Ini membuat saya senang kerja di sini,’’ kata Imam, pekerja yang masih bujangan.
Meski begitu, para penambang sampah tidak boleh asal-asalan bekerja. Mereka bekerja berkelompok sesuai tugasnya masing-masing. Ada yang menggali tumpukan sampah yang sudah menjadi kompos. Ada juga yang mengayak, dan ada yang bertugas memasukkan hasil ayakan ke dalam kantong plastik berisi antara 40-60 kilogram.
’’Kami delapan orang setiap kelompok dan ada penanggungjawabnya. Dari hasil kerja kelompok itu, setiap orang bisa mendapatkan 50 kantong setiap hari. Dari situ, setiap orang mendapat penghasilan Rp 50 ribu,’’ kata Ali, penambang sampah lainnya.
Sejak kapankah desa ini menjadi desa pengumpul sampah? Hariono, kepala Desa Kejagan menceritakan, aktivitas jual beli sampah di desa yang dipimpinnya sudah dilakukan sejak tahun 1960-an. ’’Awalnya ada seseorang bernama Haji Sadi yang membuka jual beli botol dan besi. Saat itu besi memang populer karena plastik belum banyak,’’ terang Hariono yang juga sebagai pengepul sampah ini.
Lambat laun, usaha Haji Sadi pun berkembang sehingga dia merekrut warga sekitar untuk dipekerjakan. Berawal dari sinilah warga mulai menggeluti usaha mengumpulkan sampah.
Menurut Hariono, dari 4800 jiwa penduduk Desa ini, hampir seluruhnya bekerja dari sampah. ’’Ada yang bekerja sebagai pencari sampah, sopir truk sampah ada juga pengepul sampah,’’ terang pengepul yang mempekerjakan sekitar 30 pekerja ini.
Hampir setiap rumah di lima dusun yakni Kejagan, Temenggungan, Muteran, Sidomulyo dan Wonoasri terdapat tumpukan sampah di depan rumah mereka. ’’Hampir warga sini memang senang bekerja, mereka dikenal mandiri meski mendapat penghasilan dari sampah. Makanya tidak ada warga sini yang tertarik menjadi PNS atau bekerja di luar desa,’’ terangnya.
Lalu berapa penghasilan rata-rata penduduk desanya? Hariono mencontohkan, untuk pekerja saja bisa mendapatkan upah minimal Rp 40 ribu per hari. ’’Jumlahnya bisa lebih besar dari itu,’’ terang pria yang sudah menjadi pengepul sejak tahun 1995 ini.
Dia menambahkan, kalau untuk pengepul bisa lebih besar lagi. ’’Kalau saya sehari bisa menghabiskan uang senilai Rp 25 juta untuk beli, sedangkan omzetnya ya sekitar Rp 27 juta. Meski kecil tapi sampahnya bisa habis setiap hari,’’ terangnya.
Dengan kerja dari sampah, Hariono mengungkapkan kalau masyarakat yang dipimpinnya bisa sejahtera. ’’Contohnya saja sewaktu ada rapat membahas dana swadaya beberapa waktu lalu, hasilnya bisa terkumpul Rp 35 juta, padahal kalau di desa lain mungkin hanya Rp 5 juta itu pun harus berdebat dulu,’’ ujarnya.
Hariono mengungkapkan, selama ini pemerintah memang kurang memperhatikan usaha yang dijalani warganya. ’’Selama ini warga meminjam dari bank yang bunganya besar, tidak ada pinjaman lunak,’’ terangnya.



Selengkapnya...

8.06.2009

Melihat Tradisi Ruwat Bumi Yang Tersisa di Desa Watesumpak, Trowulan





Selama Prosesi Ruwatan, Warga Dilarang ke Mana-Mana

Upacara ruwat bumi hingga kini masih dilestarikan sejumlah warga desa. Salah satunya adalah Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang sampai sekarang masih melestarikan tradisi ruwat bumi untuk mendapatkan kesejahteraan desa.

AIRLANGGA, Mojokerto


SUARA gamelan terdengar mendayu mengiringi kedatangan rombongan pembawa tumpeng, yang terlihat gagah dengan berseragam pakaian khas jawa. Di belakang tumpeng, ratusan warga dengan mengenakan pakaian khas berjalan beriringan sejauh kurang lebih lima kilometer.
Ada lebih dari lima belas kelompok yang ikut serta dalam barisan panjang ini. Setiap kelompok memiliki tema-tema sendiri alam menentukan kostum mereka. Tradisi di desa tersebut dilakukan dengan melibatkan sejumlah warga yang mewakili berbagai kalangan seperti petani, nelayan, pamong desa serta para pelajar.
Prosesi ritual ruwat bumi dilakukan dengan cara yang cukup unik. Yakni menggarak aneka hasil bumi dan ternak berkeliling desa. Arak-arakan dimulai dari dusun sebelah selatan hingga menuju dusun sebelah utara. Jalan yang dilalui adalah jalan-jalan utama agar warga bisa menyaksikan acara tahunan ini.
Ratusan warga yang mengikuti acara itu, tampak berjejer rapi seolah ingin menyambut rombongan yang baru mengarak tumpeng dengan keliling kampung tersebut.
Dimulai dari depan balai desa setempat sekitar 500 warga berjalan di sepanjang desa sambil membawa hasil bumi dan hewan ternak yang tubuh dan hidup di desa tersebut.
Di bagian depan rombongan arak-arakan ditampilkan dua orang berpakaian Anoman dan seorang gadis dengan dandanan Dwi Sri beserta 5 orang pengawalnya.
Rombongan pertama adalah rombongan para petani. Uniknya, petani rombongan anggotanya adalah para perempuan usia remaja dengan mengenakan kebaya modis berwarna merah muda. Warga yang melihat juga semakin antusias dan beberapa diantaranya terlihat menggoda dengan meneriaki peserta rombongan. Tampilnya seorang gadis berpakaian petani tersebut sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Dimana warga berharap tidak ada kekeringan dan sawah mereka tetap bisa panen sepanjang tahun.
Ada pula rombongan delapan pemuda yang membawa liong-liong atau naga yang biasa digunakan sebagai tradisi etnis Tionghoa. Selain itu, rombongan pemuka agama juga ikut memeriahkan rombongan seperti rombongan biksu.
Ritual menggarak aneka hasil bumi dan ternak berakhir dengan pemotongan tumpeng oleh kepala desa yang diserahkan kepada sesepuh desa setempat. Usai dipotong sisa nasi tumpeng yang dipercaya akan mendatangkan berkah menjadi rebutan warga.
Sebelumnya, tetua dusun setempat bernama Suwandi sebelumnya memimpin doa untuk keselamatan dusun. Setelah diringi doa, tumpeng yang sudah dipotong langsung diserbu ratusan warga yang nampak tidak sabar mengambil makanan yang disediakan nampan berukuran besar.
Ratusan warga berbondong-bondong membawa makanan dan menyantap bersama di tepi jalan. Mereka menyakini ritual ini selain bisa mendatangkan berkah bagi warga, juga bisa menjauhkan dari bencana yang belakangan kerap terjadi. Warga berharap dengan memakan makanan sesaji ini, mereka bisa menjadi sejahtera karena makanan tersebut sudah diberi doa.
’’Ya percaya saja kalau bisa memakan makanan sesaji bisa terhindar dari bencana,’’ ungkap Sujito, warga sekitar.
Menurut Heri Bowo, kepala urusan pemerintahan Dusun Jatisumber, acara ritual ini memang sudah menjadi tradisi tahunan. ’’Menjelang bulan jawa yakni bulan ruwah memang selalu dilakukan acara ruwatan seperti nama bulannya. Kebetulan hari-harinya menjelang puasa,’’ terangnya.
Heri menjelaskan, kegiatan ini bertujuan untuk bersih desa dan berharap untuk keselamatan desa agar tidak terjadi bencana. ’’Disamping itu juga untuk mengenang Mbah Sumberjati. Dia adalah sosok perempuan yang mendirikan desa ini,’’ ungkapnya.
Namun, ada yang istimewa dalam penyelenggaraan ruwat dusun atau desa. Yakni, warga dusun atau desa setempat yang sedang diruwat dilarang untuk keluar desa/dusun selama pelaksanaan ruwatan.
’’Kalau dulu aturan ini ketat, tapi karena sekarang banyak kesibukan banyak yang melanggar dan itu tidak apa-apa,’’ ujarnya. ’’Kalau dulu hanya PNS, TNI atau Polri yang boleh keluar dusun. Kalau yang wiraswasta ya tidak ke mana-mana. Tapi sekarang bisa dilanggar,’’ terangnya.

Selengkapnya...

8.05.2009

MENGINTIP AKTIVITAS KOMUNITA GIRILAJA





Mengentas Pengamen Jalanan dan Tukang Kopi Jadi Musisi Kontemporer



Menjadi musisi yang kreatif, tak harus menjalani pendidikan khusus dari lembaga musik. Komunitas sederhana bernama Girilaja membuktikan jika mereka mampu menjadi seniman musik sungguhan



JARUM jam menunjukkan pukul 19.00. Sebuah warung kopi sederhana di Jalan Empunala, Gang Bhakti, Kecamatan Magersari Kota Mojokerto tampak mulai ramai. Beberapa orang terlihat sibuk menyiapkan sejumlah alat musik akustik di sebuah pekarangan kosong. Satu persatu, alat musik tertata apik di atas alas yang terbuat dari sisa papan reklame itu.

Wajah-wajah serius tapi santai yang terdiri dari beberapa pria muda, tua, setengah baya, dan seorang perempuan itu mulai menjalankan rutinitasnya setiap minggu. Masing-masing dari mereka memegang alat musik yang memang sudah menjadi teman latihannya. Sebuah syair lagu mulai dilantunkan dengan irama yang mampu membakar semangat.

Dua buah gitar, bass akustik, kendang, bongo, gamelan, cabassa, dan seperangkat gong itu menghasilkan jenis musik kontemporer yang tak lazim, namun sangat harmonis. Bait-bait lagu ciptaan mereka itu seakan lekat dengan hatinya. Suara koor yang keluar dari setiap mulut pemainnya menandakan jika para musisi ini bukan seniman biasa.

Selain kualitas musik yang dibawakan, gelar bukan ”seniman biasa” itu lantaran latarbelakang para pemainnya. Mulai dari pengamen, tukang parkir, pedagang pasar, hingga penjual kopi. Dari latarbelakang yang jauh dari nafas seniman itulah, mereka justru mampu menciptakan sebuah warna musik baru, namun tetap dalam bungkus musik kontempore. ”Dengan perangkat alat musik seperti ini memang sudah biasa. Tapi kami memiliki warna yang beda,” ungkap Erwan Affandiono, 47, salah satu anggota komunitas Girilaja yang juga sebagai pengarah musik.

Dia lantas membeber letak perbedaan musik garapannya dengan musik kontemporer lainnya. Perbedaan itu lebih mencolok dari cara memainkan gong. Lazimnya, gong merupakan alat musik dengan peran perkusi. Namun bagi Girilaja, gong itu bisa dimainkan secara utuh dan berfungsi sebagai ritem sekaligus melodis. ”Gong berjalan, itu istilah kami. Dengan gong yang selalu mengiringi perpindahan chord, menjadikan musik kami lebih indah,” kata pria 3 anak yang berprofesi menjadi penjual kopi ini.

Selain warna musik dan kualitas pemain yang bisa dibilang cukup andal, ada latarbelakang mulia dengan berdirinya komunitas Girilaja ini. Sejak berdiri tahun 1978 silam yang kini telah menelurkan generasi ke enam, komunitas ini ternyata memiliki misi khusus selain sekedar bermain musik. Di balik itu, komunitas ini mampu mengentas para pemainnya dari jeratan narkoba. Terbukti, beberapa pemain yang sebelumnya tak pernah ”sadar” itu, kini menjadi pemuda yang bersih dan kreatif.

”Dulu, mereka yang berlatarbelakang sebagai pengamen, saya tawari untuk bisa bermain musik dengan bersih. Dan itu terwujud. Kini mereka bebas dari narkoba dan justru mampu menciptakan karya-karya yang luar biasa,” ujarnya bangga, mengenang saat awal ia mendirikan komunitas ini dengan kondisi serba kekurangan peralatan. Mereka memiliki motto, ”Bermusik sampai mabuk dan bermusik tanpa mabuk”.

Akibat otak yang waras itu, kini mereka memiliki puluhan lagu hasil karya sendiri. Mereka berharap, lagu-lagu yang lebih banyak bernafas nasionalisme, sedikit kritik sosial dan cinta lingkungan itu mampu membawa perubahan ekonomi mereka. Impian itu muncul karena banyaknya kalangan yang berminat dengan lagu yang mereka buat. ”Kami ingin lebih dihargai, meski komunitas kami berasal dari kelompok pinggiran. Selain hidup bermusik, kami juga ingin mengentas ekonomi teman-teman dari lagu yang mereka buat,” harapnya.

Herman ”Doel” Effendi, Ketua komunitas Girilaja adalah sosok pemuda yang berada di garis depan nasib komunitas ini. Dengan berbagai kekurangan, ia mencoba terus menjaga eksistensi komunitas unik ini. Betapa tidak, komunitas ini bertahan dengan segala keterbatas, khususnya peralatan alat musik yang dimiliki. Seperangkat gamelan yang mereka tabuh itu, bukanlah milik sendiri. ”Itu pinjaman dari BP7. Sebelumnya, kami harus mondar-mandir pinjam alat saat latihan,” ungkap Herman.

Namun, keterbatasa moda itu justru menjadikan spirit baginya untuk membuktikan bahwa komunitas ini mampu terus berdiri dan berkarya. Tak hanya dari jalur musik, ia kerap memilih jalur lain untuk menjaga ekonomi komunitas itu. ”Kita juga membuat sejumlah souvenir yang itu bisa dijual dan untuk menghidupi komunitas ini. Kami akan tetap berkreasi meski dalam kondisi serba keterbatasan. Itu tekad kami,” pungkasnya.

Selengkapnya...

7.30.2009

Mengintip Kisah-Kasih Pinggir Sungai Brantas



(Pasangan muda-mudi yang memilih tempat aman untuk pacaran)




Disorot Lampu, Pacaran di Atas Motor Tetap Cuek

Kawasan Rolak Songo di Sungai Brantas memang tempat yang mengasyikkan untuk refreshing. Tak jarang ada juga mengajak keluarga mereka menghabiskan waktu di tempat tersebut. Namun, tak sedikit anak muda yang menjadikannya ajang berpacaran.

AILRANGGA, Mojokerto



SUASANA sejuk terasa saat menginjakkan kaki di kawasan Rolak Songo yang berada di Desa Lengkong, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto. Di desa yang juga perbatasan antara Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Sidoarjo ini, adalah jujugan warga sekitar untuk mengajak anak-anak mereka menikmati angin semilir.
Sebuah warung juga berdiri di depan sebuah bangunan tua yang berada tepat di utara Sungai Brantas. Warung beraneka minuman tersebut memang selalu ramai dikunjungi orang yang sekadar ingin melepas penat sambil melihat pemandangan sungai di sore hari.
Namun, sebagian mengaku warga merasa risih jika mendatangi kawasan yang diharapkan sebagai tempat wisata ini pada siang hari ataupun pada malam minggu. Mereka enggan pergi ke tempat ini apalagi mengajak anak-anak mereka. ’’Ya bagaimana, di sini banyak anak-anak pacaran, ndak mungkin mengajak keluarga main-main ke sini,’’ terang Sumiarti, 35, warga Desa Lengkong.
Memang, pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini memang selalu dijadikan ajang berpacaran. Selain itu, pada siang hari sekitar pukul 09.00 hingga 12.00, sekumpulan anak-anak muda berseragam SMA dan SMP kerap nongkrong di sekitar Rolak Songo baik sisi utara maupun selatan sungai.
Seperti kemarin, sekumpulan anak-anak berseragam SMA tampak duduk-duduk di salah satu bangunan tua yang tidak terawat. Sambil menikmati isapan rokok, anak-anak SMA ini tampak terlihat tertawa lepas. Tidak ada beban di benak mereka, padahal saat itu jam pelajaran sekolah. ’’Kalau duduk-duduk di sini memang tidak akan ketahuan, selama ini tidak pernah ada razia,’’ ujar Slamet, salah satu pelajar asal Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo.
Dia bersama kelima temannya terkadang menghabiskan waktu pada jam pelajaran sekolah di kawasan ini. ’’Kalau gurunya tidak enak ya lebih baik kabur, biasanya ke sini kalau tidak bermain PS,’’ terang Rohman, pelajar lainnya.
Miris ungkapan ini cukup pas untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di jalan tembus menuju Kota Mojokerto, akhir-akhir ini. Jalan yang seharusnya digunakan warga sebagai alternatif untuk menuju Kota Mojokerto kini beralih fungsi jadi ajang pacaran, serta rawan kejahatan pemerasan dan penodongan.
Hampir setiap malam, usai salat isya, jalan tembus itu dipenuhi pasangan muda-mudi yang tengah kasmaran. Mulai dari para ABG hingga ’’om-om’’, tumplek berpacaran di tempat itu.
Bahkan, model pacaran yang kebablasan kerap ditunjukkan pasangan-pasangan itu, di atas motor atau lesehan di semak-semak.
Dari pantauan Darmo, khusus saat malam minggu, pasangan muda-mudi yang berpacaran di tempat itu semakin banyak, bahkan mencapai sekitar 20 pasang. Pada dua sisi jalan, berderet motor-motor dari ujung barat hingga timur, jaraknya antara satu hingga dua meter.
Tempat tersebut memang menjadi kegemaran para ABG untuk berpacaran. Pasalnya, di sepanjang jalan itu, tak ada penerangan satu pun, sehingga mereka bisa melakukan tindakan apa pun dengan leluasa.
Selain itu, pemandangan Rolak Songo dengan latar belakang Sungai Brantas dan pintu airnya di waktu malam, menjadi daya tarik tersendiri.
Namun, para pasangan kasmaran ini, terkadang kebablasan. Dalam kegelapan, pasangan itu melakukan tindakan diluar norma kesusilaan. Mereka terlihat berpelukan dan berciuman, di atas motor maupun di semak-semak yang ada di sepanjang jalan. Jika malam hari, ketika disorot lampu mobil, keasyikan pasangan di atas motor tak terusik, bahkan semakin erat berdekapan.
’’Di tempat itu, memang setiap malam banyak yang pacaran. Apalagi, kalau malam minggu, mereka berderet-deret di pinggir jalan. Sudah menjadi hal biasa di tempat itu,’’ kata Toni, warga sekitar.
Kondisi ini memang sudah lama terjadi. Selama ini, bahkan kondisi ini dimanfaatkan beberapa pedagang asongan di wilayah ini mengintip ulah pasangan muda-mudi. ’’Sampean sudah ketinggalan Mas, kalau tanya masalah ini. Sudah lama di tempat ini jadi ajang pacaran bahkan ciuman. Biasanya malah di atas motor,’’ terang Mahmud, penjual es tebu yang sudah setahun berjualan di lokasi itu.
Budi Suryawan, salah seorang guru yang hobi memancing ikan ini juga mengaku miris dengan ulah para ABG di kawasan ini. Padahal, jika waktu libur, dia sering memanfaatkan waktunya memancing di kawasan Sungai Brantas. ’’Tapi untungnya saya tidak pernah menemukan murid saya berada di sini,’’ terang guru SMP di kawasan Tarik Sidoarjo ini.

Selengkapnya...

7.16.2009

Melongok Budidaya Jamur Konsumsi di Gondang, Kabupaten Mojokerto






Manfaatkan Serbuk Gergajian untuk Media Pengembangan

Dewasa ini budidaya jamur konsumsi telah mendapatkan tempat tersendiri di kalangan petani Desa/Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto. Hasil budidaya jamur ini sangat menjanjikan dari segi ekonomis dan manfaatnya. Bagaimana cara pembibitan dan budidaya jamur tersebut?

AIRLANGGA, Mojokerto


LANGGAM dangdut dari sebuah radio tua mengiringi enam pekerja perempuan di sebuah gudang budidaya bibit jamur di Desa/Kecamatan Gondang. Keenam perempuan dengan mengenakan kaos dan penutup kepala tampak serius membungkus butiran-butiran jerami ke dalam plastik atau yang biasa disebut polybag. Para pekerja perempuan ini memang sedang serius membuat bibit jamur melalui media serbuk kayu.
’’Pekerja di sini seluruhnya ada dua puluh lima orang, delapan pria dan tujuh belas perempuan,’’ terang Sutris, pekerja asal Desa Padi, Kecamatan Gondang.
Menurut pria berusia 28 tahun ini, jamur adalah salah satu bahan makanan yang bergizi tinggi nonkolesterol. Dalam budidayanya, jamur merupakan tanaman yang ditanam dengan temperatur, kelembaban dan ventilasi yang terkontrol.
Pengembangan teknik budidaya ini dipermudah dengan menggunakan bibit sebar dengan media yang mudah dan murah. Alat press dan alat sterilisasi direkayasa sendiri sehingga mudah dilaksanakan dengan hasil yang baik.
Untuk bertani jamur konsumsi ini tidaklah
sulit, batangan kayu dihaluskan dan diambil serbuknya. Serbuk hasil gergajian tersebut harus direndam atau disiram dengan air terlebih dahulu selama 15 hari, untuk menghilangkan kandungan minyaknya.
Memang, tidak sembarangan kayu bisa dijadikan pembibitan sebuah jamur konsumsi. Melainkan harus bisa memilih kayu yang tidak banyak mengandung minyak, seperti kayu mauni dan sengon laut.
Setelah direndam selama 15 hari serbuk-serbuk halus tersebut dimasukkan dalam sebuah kantong plastik ukuran 1 kilogram. Serbuk tersebut dipadatkan dan diberi lubang tengahnya untuk pertumbuhan jamur. Lalu serbuk yang sudah dipadatkan tersebut ditutup dengan kapas dan dimasukkan dalam sebuah gudang oven dengan suhu tertentu selama 24 jam.
Dan selanjutnya akan dibagikan kepada para kelompok tani. Oleh para petani, bibit-bibit jamur akan ditempatkan pada sebuah tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Jamur itu sendiri akan mulai tumbuh di usia 40 hari.
Salah seorang petani jamur, Achmad Badrowi, 40, mengungkapkan, dari hasil pembibitan tersebut dapat diperoleh tiga jenis jamur seperti jamur lingsi/jamur kuping serta jamur hitam putih. Jamur ini selain dapat dijadikan sayuran dapat pula dijadikan obat-obatan serta tidak mengandung bahan kimia. Dia juga mengungkapkan, jamur memiliki banyak khasiatnya.
’’Biasanya orang mengonsumsi jamur bukan hanya lantaran rasanya yang lezat, tetapi juga karena alasan lain, yakni manfaat dan khasiat yang terkandung di dalamnya,’’ ungkapnya. Bisa disebut, faktor khasiat dan manfaat inilah yang menjadi prioritas konsumen jamur.
Tujuannya tentu saja demi kesehatan tubuh atau hal lain yang berkaitan dengan vitalitas. Tidaklah mengherankan jika berbagai jenis jamur kini menjadi bagian dari menu favorit di sejumlah rumah makan.
Dari hasil penelitian, jamur yang biasa dimakan rata-rata mengandung 14-35 persen protein. Dibandingkan dengan beras (7,38 persen) dan gandum (13,2 persen), jamur berkadar protein lebih tinggi.
Secara umum, jamur termasuk dalam jenis sayuran yang mengandung sedikit sekali protein dan hidrat arang, seperti halnya kangkung, ketimun, kool, kembang kool, tauge, sawi. ’’Karena kandungan kalorinya rendah, jamur boleh dimakan sekehendak atau bebas tanpa memperhitungkan banyaknya,’’ ungkap Widodo petani lainnya.
Menurutnya, jamur konsumsi, yang berkembang dibudidayakan hingga saat ini adalah jamur jenis tiram putih, coklat dan merah muda. Jamur ini, tumbuh di kayu yang mengalami pelapukan atau yang sudah mati, tumbuh pula di ilalang, sampah tebu dan sampah sagu.
Jamur tersebut tidak beracun dan boleh dimakan. Jamur yang tergolong beracun dan tidak dapat dikonsumsi, lanjutnya, jika jamur tiram misalnya, tumbuh di kayu yang masih hidup, tumbuh di bangkai, kotoran ayam atau binatang ternak.
’’Jika termakan, jamur jenis ini akan menyebabkan keracunan dan dalam konsentrasi racun tinggi dan bisa menyebabkan kematian,’’ ujarnya.
Ciri-ciri jamur beracun antara lain, umumnya tangkai payungnya bergelang atau terdapat lingkaran menyerupai cincin. Tapi, katanya, tidak semua yang bergelang merupakan jamur beracun. Selain itu, aroma jamur akan terasa berbau sangat tajam, jika dipotong terdapat cairan kekuning-kuningan dan berlendir. ’’Jika terdapat tanda-tanda tersebut, sebaiknya jamur ini jangan dikonsumsi,” katanya.
Sutikno, petani lainnya mengungkapkan, untuk saat ini kendala utama yang paling dirasakan oleh para petani jamur adalah kurangnya dana. Mereka berharap kepada pemerintah daerah setempat memberikan bantuan dana maupun penyuluhan, sehingga para petani bisa mengembangkan lebih baik lagi budidaya jamur konsumsi
Selengkapnya...

7.09.2009

Pak Sabar, 33 Tahun Tetap Sabar Jadi Tukang Cukur Keliling




Pilih Mencukur karena Jadi Buruh Tani Upahnya Lebih Kecil

Bagi Sabar, menjadi tukang cukur keliling memang melelahkan. Meski tidak berpenghasilan besar, namun pria berusia 70 tahun ini tetap sabar sesuai namanya menjalani pekerjaan yang sudah digelutinya selama 33 tahun itu. Bagaimana suka dukanya?

AIRLANGGA, Mojokerto

SIANG itu, sekitar pukul 11.00, Sabar duduk-duduk santai di bawah pohon rindang yang berada di tepi jalan raya Bangsal. Tatapannya menatap jauh ke arah jalan raya seakan-akan mengharap kedatangan pelanggan setianya yang ingin menggunakan jasanya sebagai tukang potong rambut keliling.
Sesekali mengisap dalam-dalam rokok kretek yang menjadi ciri khasnya, Sabar menyiapkan sebuah kotak mungil yang sudah dimodifikasi menjadi berbentuk tas. Di dalam tas inilah alat-alat miliknya yang menjadi andalan untuk mendapatkan uang.
Hanya beberapa saat, seorang pria berusia sekitar 70 tahun mendatangi Sabar. Tampak keakraban diantara keduanya yang seusia sepantaran. Pria tadi, selain teman dekat Sabar, juga pelanggan setianya yang selalu meminta jasa pak Sabar memotong rambut yang tamak beruban.
Disiapkannya tempat duduk lipat kecil di samping kiri motor Honda Astrea tahun 1995 yang dibelinya beberapa tahun lalu. Sembari mengobrol, Pak Sabar menyiapkan alat-alat mencukur yang diletakkannya di dalam tas.
Sebuah kursi pendek dan tas berukuran mungil berisi peralatan cukur kuno seperti, gunting dan pisau cukur dan alat kodok-kodok menjadi teman setia Sabar yang hanya mengecap pendidikan di Sekolah Rakyat (SR)- setingkat SD saat zaman Belanda-ini.
Dengan bangganya Sabar memperlihatkan alat-alat cukurnya ketika koran ini penasaran apa isi tas kumal yang setiap hari ia bawa. Satu per satu alat cukur yang usianya sudah tua itu dijajar di atas kursi kursi motornya.
’’Kalau tidak ada alat-alat ini, saya tidak bisa cari makan. Alat inilah yang membuat saya masih bertahan hidup sampai saat ini,’’ kata Sabar yang mengaku tak menyangka profesinya sebagai tukang cukur keliling akan menjadi pekerjaannya hingga akhir hayatnya.
Dengan terampil, kedua tangannya mencukur rambut temannya hingga tipis. Sembari mencukur, Pak Sabar selalu mengajak bicara pelanggannya. Sosok seperti inilah yang membuat Pak Sabar tidak kehilangan pelanggan.
Karena dengan mengajak ngobrol, ada kedekatan antara dia dan pelanggannya. Pelangggan pak Sabar juga tidak hanya dari kalangan orang tua saja. Banyak anak-anak muda yang senang menggunakan jasanya.
Hanya berselang lima belas menit, potongan rambut tipis sepanjang setengah sentimeter ala Pak Sabar pun rampung. Pak Sabar pun memberikan kaca kecil berwarna hijau untuk memperlihatkan hasil potongannya kepada temannya itu. Senyum pelanggan setia pun mengembang sembari memberikan uang Rp 3.000 kepadanya.
Bagi Pak Sabar, menjadi tukang cukur bukan hanya sekadar untuk menyambung hidup, tetapi juga keinginannya untuk terus menambah pahala. Biasanya, jika ada yang cukur dan tidak punya uang, diikhlaskan. ’’Bahkan, kalau uangnya hanya Rp 1.000, saya terima saja,’’ kata Sabar.
Sabar mengaku tidak ada yang perlu dipikirkan dalam hidup ini. Semua orang memiliki peran masing-masing. Ada yang berperan di kantoran, di pelabuhan, di kampus dan di terminal. Tapi, ada juga orang seperti dia yang punya peran untuk urusan rambut.
’’Coba bayangkan kalau tidak ada tukang cukur keliling seperti saya, tentu orang yang ingin sekali rambutnya dicukur dan pada saat yang sama tidak ada tukang cukur, otomatis, jasa saya akan digunakan,’’ kata Sabar yang mengaku tetap bangga dengan pekerjaannya saat ini.
Walau pendapatannya tak menentu dalam sehari, kadang antara Rp 8.000, hingga Rp 30 ribu, ternyata Sabar masih bersyukur dengan apa yang ia miliki. Sebelum menjadi tukang cukur keliling, Sabar pernah menjadi buruh sekitar awal tahun 1960-an.
Namun, tahun 1966 ia memilih menjadi tukang cukur karena pendapatan menjadi seorang buruh relatif kecil dan pekerjaannya sangat berat. Apalagi, Sabar memang memiliki kemampuan mencukur. ’’Dulu kalau mencukur saya harus berjalan kaki, belum ada sepeda motor seperti ini,’’ ujarnya.
Sabar juga pernah berkeinginan memiliki kios untuk usaha cukurnya. Namun, Sabar merasa akan kalah saingan dengan tukang cukur lainnya karena peralatan mereka lebih modern. ’’Di desa saya saja sudah ada dua tukang potong rambut yang memiliki alat cukur listrik,’’ terang pria yang tinggal di Desa/Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto ini.
Tapi, Sabar sebenarnya ingin sekali memiliki tempat cukur rambut yang tetap. Apalagi, di usianya yang sudah kepala 7, tenaganya sudah mulai menurun untuk berkeliling setiap hari. Namun, untuk membuat usaha pangkas rambut, Sabar mengaku tak punya modal dan tempat yang diizinkan oleh pemerintah. ’’Untuk bikin gerobak kecil kan butuh uang, sementara pendapatan saya per hari rata-rata hanya Rp 30 ribu,’’ kata Sabar sembari merapikan alat cukurnya.
Namun, berkat kegigihannya sebagai tukang cukur keliling ini, Sabar mampu menyekolahkan sepuluh anaknya hingga SMA. ’’Sebagian besar anak saya sudah berkeluarga sekarang, saya juga tidak mampu terlalu membebankan mereka,’’ terang kakek dari delapan belas cucu ini.
Selengkapnya...