11.10.2009

Pasutri Perajin Sapu Serabut Kelapa Bertahan dari Persaingan Pasar








Sejak 1992 Hanya Bertahan dari Produk Pabrik

Di tangan orang-orang yang terampil, sesuatu yang dianggap tidak berguna, ternyata dapat diubah menjadi uang. Demikian yang dilakukan pasangan suami istri, Nuriyadi dan Sulasmani yang mampu membuat serabut kelapa menjadi bernilai ekonomis.

AIRLANGGA, Puri


KEDUA tangan Sulasmani, 37, tampak tekun menyulam helai demi helai serat kelapa yang ada di depannya. Kedua kaki yang diikatkan dengan helai serat membantunya membuat benang-benang serat agar tidak lemas. Kedua sorot matanya tampak serius memerhatikan serat kelapa.
Setiap harinya, pasangan suami istri ini memang menggantungkan hidupnya membuat sapu dari serabut kelapa di bangunan berukuran 4x6 meter persegi yang terbuat dari bambu. Bangunan semi permanen di sebelah rumahnya, Dusun Kalipatih, Desa Kebon Agung, Kecamatan Puri ini memang sengaja di gunakan untuk workshop produk buatannya.
Sabut kelapa adalah berkah pasangan suami istri Nuriyadi dan Sulasmini. Mereka memanfaatkan sabut kelapa untuk membuat kerajinan berupa sapu lantai dan keset. ’’Saya mulai membuat sapu dan keset dari sabut kelapa ini sejak masih sekolah dasar,’’ ungkap Nuriyadi, bapak tiga anak ini.
Dia mengakui, banyaknya masyarakat melihat sebelah mata hasil karya Nuriyadi. Masyarakat lebih menyukai produk dari sintetis atau buatan. Tapi itu tak menyurutkan keinginan berkarya pria berusia 44 tahun ini. ’’Saya sudah memulai usaha ini sejak turun temurun. Dan diteruskan lagi tahun 1992,’’ ujarnya.
Dibantu sang istri, ia tiap hari terus menghasilkan produk dari sabut kelapa. Ia punya pelanggan tetap yang mengakui kualitas sapu dan keset dari tangan Nuriyadi. ’’Walau tak banyak, tapi cukup untuk kami hidup,’’ katanya.
Pelanggan setia yang tetap memakai produk kerajinan sapu dan keset ini berasal dari luar Mojokerto seperti dari Gresik, Lamongan, Sidoarjo bahkan Surabaya. Terkadang, dia juga melayani pembeli dari dinas pendidikan di luar kota. Tiap tahun ajaran baru, permintaan sapu dan keset bisa mencapai 20 buah.
Selain itu, tiap harinya paling tidak ada pelanggan membeli langsung ke rumah untuk membeli sapu maupun keset. Setiap hari sapu yang terjual sekitar 15 buah.
Harga sebuah sapu sabut kelapa buatannya tergolong murah. Hanya Rp 1.500 untuk ukuran panjang dan Rp 1.300 ukuran sedang. Untuk membuat kerajinan tersebut dari sebuah sabut kelapa hingga menjadi produk jadi membutuhkan waktu yang tak singkat.
Pada awalnya, kelapa yang sudah tua dikupas sabut. Setelah itu menjadi direndam dalam air selama sehari. Setelah itu dipukul-pukul hingga setengah kering dan helai-helaian sabut terpisah dan kemudian dikeringkan sampai benar-benar kering. Baru kemudian sabut kelapa tersebut dibentuk menjadi sapu dan keset dengan cara menyulam.
Memperoleh serabut yang kualitasnya bagus, air untuk merendam harus selalu diganti. Ini demi serabut yang dihasilkan berwarna putih dan bersih. Usai direndam, serabut kembali dipukul-pukul agar seratnya lebih lembut. ’’Kalau pembuatannya sih mudah. Tiga hari saja kita mampu membuat seratus buah sapu dari 15 kilogram serabut yang sudah diproses. Proses mengeluarkan seratnya yang butuh waktu lama. Kalau bahan baku tidak ada, bisa-bisa kita menganggur,’’ imbuh Sulasmani.
Sulasmani dan suaminya mengaku dalam 10 hari bisa membuat seratus sapu. ’’Jadi kalau satu bulan ya bisa tiga ratus sapu,’’ ungkapnya. Setiap sapu yang dihasilkan, dia bisa mendapat keuntungan hingga Rp 1.150. ’’Keuntungan per bulan bisa dikalikan saja dengan tiga ratus,’’ ungkapnya tersenyum
Nuriyadi sudah menjalani profesinya tersebut selama bertahun-tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dia mengaku usahanya mulai seret. Dia mulai mengalami kesulitan untuk memperoleh serabut kelapa yang menjadi bahan baku utama usaha kerajinan yang digelutinya. Biasanya, dia mendapat bahan baku dari pasar Kota Mojokerto yang didapatnya secara gratis. ’’Tapi saya harus datang ke sana untuk mengambil sendiri,’’ ujarnya.
Dia mengatakan, sejak dulu warga di desanya tersebut memang dikenal sebagai perajin. Beberapa perlengkapan rumah tangga, seperti sapu, alat pel, dan anyaman bambu, adalah sebagian besar produk kerajinan yang dibuat warga dua desa tersebut. ’’Dibanding kerajinan lainnya, kerajinan dari kain perca tergolong baru,’’ tambahnya.
Nuryadi mengatakan, pembuatan sapu merupakan inovasi kerajinan dari serabut kelapa yang sebelumnya memang banyak dibuat warga desa itu. Serabut yang digunakan adalah dari kelapa tua, terutama dari sampah yang tidak terpakai. Sebelum muncul pembuatan kerajinan sapu, serabut itu dibakar oleh pedagang pasar atau dibiarkan terbengkalai, sehingga nilai ekonomisnya tidak ada.
Disamping itu, pemasaran produk buatannya mengalami kendala. Dia mengakui produk buatannya kalah dengan produk buatan sintetis. ’’Disamping itu, di dusun ini tidak ada kelompok perajin sehingga harganya tidak tentu. Ada yang murah dan ada yang sangat mahal,’’ terangnya.
Dikatakannya, delapan tahun lalu memang sempat ada paguyuban perajin sapu. Namun, baru berjalan beberapa bulan, paguyuban tersebut bubar. ’’Penyebabnya saya sendiri tidak tahu,’’ ungkapnya. Kini, pasangan suami istri yang memulai usaha sejak tahun 1992 ini berharap pemerintah dapat membantu kesulitan perajin seperti mereka.


Selengkapnya...