Tak Mau Diganggu, Tak Mau Mengganggu
Ngepunk. Banyak orang yang menilai bahwa komunitas yang satu ini termasuk salah satu komuitas yang urakan, berandalan dan sebagainya. Namun sebenarnya, komunitas ini tak sekadar nongkrong di pinggir jalan. Apa saja perilakunya?
AIRLANGGA, Mojokerto
SEKELOMPOK orang dengan dandanan street dan rambut mohawk berbagai warna, serta mengenakan aneka aksesoris sering kita temui di beberapa sudut jalan di Mojokerto. Menamakan diri anak punk, mereka memang tak lagi menjadi sebuah pemandangan asing di kota ini.
Saat berhenti di beberapa perempatan lampu lalu lintas terkadang mereka hadir dengan gitar dan nyanyiannya untuk mendapatkan sisa uang receh dari para pengendara kendaraan bermotor. Bagi sebagian orang kejadian itu barangkali cukup mengganggu kenyamanan.
Banyak yang beranggapan bahwa anak punk yang berpenampilan seperti itu selalu berandalan, perusuh dan selalu bikin onar. Orang yang berpandangan seperti itu terhadap anak punk yang suka nongkrong di pinggir jalan biasanya hanya memandang dari segi luar mereka atau dari dandanan yang menyeramkan.
Tak jarang masyarakat resah dan sebagian lagi menganggap dari gaya hidup mereka yang mengarah ke barat-baratan. Sebenarnya, punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan ’’kita dapat melakukan sendiri”.
Jumlah anak punk di Indonesia memang tidak banyak, tapi ketika mereka turun ke jalanan, setiap mata tertarik untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk dengan warna-warna terang dan mencolok. Belum lagi atribut rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot, kaos hitam, jaket kulit penuh badge atau peniti, serta gelang berbahan kulit dan besi seperti paku yang terdapat di sekelilingnya yang menghiasi pergelangan tangannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari busana mereka.
Begitu juga dengan celana jeans super ketat yang dipadukan dengan baju lusuh, membuat image yang buruk terhadap anak punk yang anti sosial.
Anak punk, mereka kebanyakan di masyarakat biasanya dianggap sebagai sampah masyarakat. Tetapi yang sebenarnya, mereka sama dengan anak-anak lain yang ingin mencari kebebasan.
Di Mojokerto, tempat anak muda dengan berpakaian nyentrik ini pun banyak. Contohnya adalah perempatan Sooko, perempatan Jl Kenanten serta perempatan Jl Jayanegara. Umumnya, remaja yang rata-rata berusia belasan tahun ini berkumpul dengan sesama komunitasnya.
Seperti itulah yang sehari-hari dilakukan oleh lima pemuda punk yang kemarin sempat terjaring razia Dinas Sosial Kabupaten Mojokerto. Meski terjaring razia, kelima pemuda ini tampak tenang, seolah-olah, razia adalah hal yang biasa mereka hadapi setiap harinya.
Duduk di sebuah sudut ruangan, kelima pemuda punk beraliran street punk tampak menikmati sebatang rokok sambil bersenda gurau dengan temannya.
Memang tidak mudah mendekati kelima pemuda dengan gaya bebas mereka. Termasuk saat Radar Mojokerto berusaha melakukan wawancara. Kesan tertutup sangat kentara diperlihatkan kelimanya. Hal ini sangatlah wajar mengingat mereka hanya bergaul dengan sesama komunitasnya.
Setelah melakukan pendekatan, kelimanya akhirnya mau dilakukan wawancara. Suasana hangat pun mulai terasa saat salah satu pemuda mulai bercerita tentang kehidupan punk.
Muhammad Arif, salah satu anggota komunitas punk mengatakan, pemuda punk tidaklah memiliki tempat tinggal. ’’Kami memang selalu berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota yang lainnya,’’ terang pemuda berusia 19 tahun ini.
Dengan menumpang truk dan mobil pikap, anggota punk selalu berpindah dari satu kota ke kota lainnya. ’’Dalam satu kota biasanya tiga sampai lima hari, tergantung apa sudah bosan atau tidak,’’ tutur Arif.
Ia mengatakan, didalam komunitas punk yang ada hanyalah kebebasan tanpa ada perasaan tertekan. ’’Kami tidak suka mengganggu terhadap warga lainnya, ya intinya kami tidak akan membuat gara-gara, tapi kami juga tidak mau diganggu,’’ terang Arif.
Ia sendiri sudah dua tahun ini tinggal di jalanan sebagai anak punk. Hari-harinya dilalui dengan berpindah tempat bdari satu tempat ke tempat lain. keluarga Arif sendiri sudah mengetahui kalau ia memilih hidupnya menjadi anggota punk. ’’Awalnya mereka keberatan, tapi karena saya memang nekat, keluarga tidak bisa melarang lagi,’’ terang pemuda asal Kecamatan Manyar, Gresik ini.
Sama halnya dengan Muhammad Arif, salah satu anggota punk lainnya, Wili, 19, asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat juga mengatakan hal yang sama. Bahkan, bungsu dari dua bersaudara ini mengatakan kalau ia dan kakaknya adalah anggota komunitas punk. Ia sendiri sudah sejak lama menjadi anggota punk. ’’Keluarga saya tidak kaget lagi, karena keluarga saya memang keluarga rock n roll,’’ ujarnya yang disambut tawa keempat temannya.
Meski selalu berpakaian yang memberi kesan urakan dan tinggal di pinggir jalan, namun pemuda punk memiliki pekerjaan selain mengamen yang memang kerap kali mereka lakukan. ’’Saya sebenanrnya memiliki usaha sablon di Gresik, karena itu sudah menjadi pekerjaan saya yang tetap,’’ ujar Arif.
Selain usaha sablon yang dimiliki Arif, ketiga anggota punk lainnya yakni Ari, 20, asal Bengkulu, Ogud, 19, asal Pekalongan serta Baim, 19, asal Jambi juga memiliki usaha. Rata-rata mereka memiliki keahlian membuat tato dan piercing (tindik tubuh) bahkan potong rambut. Tentunya yang menggunakan jasa mereka adalah sesama komunitas anggota punk. ’’Tapi tak jarang di luar anggota punk menyewa jasa kami,’’ tutur Baim.
Tentang gaya hidup mereka yang selalu berpindah-pindah, ketiganya mengatakan sudah menjadi pilihan hidup mereka seperti ini. meski selalu berpindah tempat, tapi ada satu yang dirasakan sesama anggota punk. Yakni rasa kebersamaan dan kekompakan yang sulit. Dengan adanya rasa kebersamaan itu, tak jarang antarsesama anggota punk bisa saling akrab meski sebelumnya tidak bertemu.
Sedangkan kebebasan bagi anak punk adalah kebebasan untuk mengatur dan mengontrol dari dirinya sendiri. Jadi segala sesuatu muncul dari kesadaran diri sendiri untuk bertindak dan berbuat sesuatu. Biasanya jika mereka sudah berpikir seperti itu anak punk akan bekerja berdasarkan inisiatif dari diri sendiri dan tidak perlu diatur dan mengatur orang lain.
Pola pikir seperti itu akan menimbulkan sikap mandiri seseorang, yang dalam komunitas punk mereka biasa memakai filosofis dan semboyan DIY (Do It Yourself ) atau biasa diartikan ’’jadilah dirimu sendiri”.
Itulah salah satu nilai positif dari punk yang bisa diambil yaitu kebersamaan dan kemandirian dalam melakukan sesuatu. ’’Jadi kebebasan tidaklah diartikan sebagai tindakan semaunya sendiri akan tetapi kebebasan bertindak tapi juga harus bisa mengontrol diri sendiri agar tidak merugikan diri sendiri dan merusak orang lain,’’ terang Baim.
Sebagai simbol kebersamaan diantara anggotanya, komunitas punk memang rajin melakukan pertemuan di berbagai daerah seperti Kota Malang, Surabaya dan ajkarta. Pada umunya, saat melakukan pertemuan, mereka melakukan acara party dengan kegiatan musik aliran keras atau underground. Jangan ditanya bagaimana mereka bisa mendapatkan dana untuk membuat pertunjukkan musik tersebut. ’’Kalau ada acara party, seluruh anggota dengan sukarela memberikan sumbangan,’’ ujar Arif. Uang yang terkumpul pun tidak sedikit. Ini terbukti dari acara yang mereka adakan.
5.14.2009
Bergaul dengan Punk, Komunitas Nyentrik di Pinggir Jalan Raya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
terima kasih dan salut buat Anda yang menulis artikel ini. Karena jarang orang seperti anda yang bisa dan mau melihat anak Punk atau orang Punk atau Punk itu sendiri dari sudut pandang positif........sekali lagi terima kasih dan sukses buat Anda.
PUNK bukan sampah....
PUNK bukan gaya...
PUNK bukan musik...
PUNK adalah TOTAL SOSIAL....
PUNK AKAN MATI TANPA PERLAWANAN....
Posting Komentar