5.08.2009

Rasaman Nuralam, Sosok Dibalik Pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro





Dulu Pembalak Liar, Kini Pahlawan Kegelapan Desa Terpencil

Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto dinilai mampu melayani kebutuhan listrik yang terus meningkat, terutama di daerah pedesaan. Pembuatan PLTMH tak lepas dari tangan Rasaman Nurahman. Bagaimana perannya?


AIRLANGGA, Trawas


SOSOK Rasaman sangat sederhana. Kesan itu terlihat saat menghadiri peresmian PLTMH di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo kemarin. Ia hanya mengenakan kaos berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Tidak lupa juga ia mengenakan sandal jepit khas jawa barat berwarna coklat.
Selama acara berlangsung, Rasaman hanya duduk di kursi panjang yang ada di Taman PPLH Seloliman, tempat dilaksanakannya peresmian PLTMH. Dengan didampingi seorang temannya bernama Sumarna, 37, Rasaman tampak asii mendengarkan pidato Gubernur Jawa Timur yang saat itu sedang memuji alat pembangkit listrik yang berasal dari desanya.
Wajahnya tampak datar seolah-olah tidak ada yang perlu dibanggakan dari pria asal kampung Citambur, Desa Cibuluh, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat itu. Meski kenyataannya, pembangkit listrik sederhana yang diprakarsainya mampu menolong banyak orang yang tinggal di desa terpencil.
Tidak ada yang menyangka jika seorang lelaki dari daerah terpencil ini mampu memiliki ide untuk menciptakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Padahal, sebelumnya, ia tidak memiliki angan-angan sama sekali membuat PLTMH yang dapat membantu ratusan penduduk desa.
’’Saya baru datang hari Minggu kemarin dari Jawa Barat, dan sampai di sini untuk melihat peresmian PLTMH karena mendapat undangan,’’ terangnya saat ditemui koran ini. Dengan ramah, ia pun melayani koran ini dan beberapa wartawan yang saat itu ingin mendengar cerita bagaimana ia mampu memprakarsai dibuatnya pembangkit listrik secara swadaya ini.
Ia menceritakan, sebelum menjadi seorang konsultan dibuatnya PLTMH untuk desa terpencil, ia mengaku seorang garong atau dalam bahasa Indonesianya adalah pencuri. ’’Saya dulu memang seorang pencuri kayu di hutan dekat rumah saya,’’ ujarnya.
Memang, kawasan kawasan gunung simpang, tempat Rasaman tinggal adalah surga bagi para pembalak, pemburu dan perambah hutan, mereka dapat dengan bebas mengeruk kekayaan alam. Perbuatan mereka bahkan ditunggangi kepentingan para oknum petugas BKSDA yang meminta upeti kepada para pembalak dan pemburu bila tertangkap.
’’Tak hanya itu, mereka yang merambah pun dikutip bayaran sekitar Rp. 250.000 per hektare lahan yang digarap di dalam kawasan cagar alam,’’ bebernya. ’’Dulu, tiap hari sekitar 60 ekor burung saya tembak untuk dimakan’’ ujar ayah dari 3 anak tersebut.
Lelaki 39 tahun itu juga mengaku setidaknya 20 hari per bulan ia habiskan waktu untuk membabat hutan cagar alam. Berladang didalam kawasan pun dilakukannya, lengkaplah kejahatan rasman terhadap hutan. Bahkan, hampir seluruh warga tempat ia tinggal adalah pembalak hutan.
Diperkuat kedekatannya dengan oknum polisi hutan, pada tahun 1999 Rasaman mulai menggila dalam penebangan. Dengan ’’senjata’’ chainsaw-nya ia berkelana dari satu bagian hutan ke bagian hutan lain. Ia kerap kali diundang warga desa lain untuk membabat hutan cagar alam yang berdampingan dengan desa tersebut. Sesekali Rasaman juga menjadi orang suruhan sang oknum yang ingin memperkaya diri dengan cara merusak.
Penghasilannya dari membalak membuat Rasaman memiliki uang banyak namun keluarganya ditelantarkan. Hampir seluruh uang yang didapat dihabiskannya untuk berfoya-foya. Ia mulai mengenal minuman keras, bahkan nyaris tergoda oleh wanita lain. ’’Saya jarang pulang ke rumah, bahkan saya tidak pernah ingat anak istri kalau sudah pergi bersenang-senang,’’ ujarnya.
Uang jutaan rupiah dalam waktu singkat pun dapat dengan mudah ia dapatkan dari hasil mencuri kayu di hutan dekat tempat tinggalnya.
Pertengahan tahun 2000, Rasaman sempat mengalami musibah atas kejahatannya. Ia tertangkap tangan oleh warga yang tidak setuju atas penebangan liar yang dilakukannya.
Kepungan massa membuatnya tak berkutik, ia pun lalu digelandang ke balai desa dan diinterogasi. ’’ Saya ditangkap saat mencuri kayu hutan di Desa Neglasari, karena warga di sana tidak ada yang suka jika hutannya dicuri orang lain,’’ terangnya dengan logat sunda yang kental
Kejadian tersebut juga menyeret oknum polisi hutan yang menyuruhnya, hingga ia dan oknum yang menyuruh menjadi tahanan polisi selama 15 hari. ’’Zaman dulu, kalau ditahan bisa ditebus, kalau tidak salah saya nebus Rp 1 juta agar bisa bebas,’’ terangnya.
Tertangkapnya Rasaman menjadi titik balik, sepulang dari tahanan ia lalu menjual chainsaw yang selama ini setia menemani setiap kejahatan yang diperbuatnya. Rasaman bertekad untuk berubah dengan cara mencalonkan diri menjadi kepala dusun.
Masyarakat yang mengetahui latar belakang Rasaman mencibir, namun tak menghalangi niat Rasaman untuk berubah. Rasaman pun memenangkan pemilihan kepala dusun yang menjadi jalannya untuk mulai berubah.
Sejak menjadi kepala dusun, Rasaman memperbaiki perilakunya, ia bersungguh menjadi panutan bagi warga yang dipimpinnya. Tak hanya menjadi panutan, ia juga bertekad membayar dosanya dimasa lalu dengan cara aktif menyadarkan masyarakat dan menyelamatkan hutan. Ia lalu bergabung dengan sebuah LSM bernama Raksabumi yang membuat ia menjadi seperti sekarang.
’’Menyadarkan masyarakat di dusun saya memang tidak mudah, karena kebijakan saya itu, saya sampai dimusuhi separuh warga. Pendapatan saya dari warga sebesar 1,5 ton beras tiap tahunnya juga diancam tidak diberi,’’ ungkapnya.
Namun ancaman serta gertakan dari warganya tidak menghalangi niat Rasaman untuk mengubah perilaku warganya. Usahanya pun membuahkan hasil. Tiga tahun kemudian, banyak warga yang sudah memihak kepadanya. ’’Saya memang selalu memberikan pengarahan secara rutin, baik melalui pengajian, selepas salat Jumat, ataupun berbagai macam pertemuan lainnya,’’ terangnya. ’’Dsamping itu, semua berawal dari penelitian elang jawa yang dilakukan Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL) pada sekitar tahun 1999, karena kepedulian merekalah akhirnya masyarakat daerah saya menjadi sadar,’’ ujarnya menambahkan.
Warga pun menilai langkah yang dilakukan Rasaman bisa memberikan dampak positif. Hingga akhirnya, tepat pada tahun 2004, Rasaman mendapatkan kesempatan dari warga sekitar dan LSM tempat ia bernaung untuk mengikuti pelatihan mesin teknik di PT Cihanjuang Inti Teknik yang berlokasi di Cimahi, Bandung. Dari situ, ia mendapat pengetahuan tentang teknik mesin termasuk pembuatan alat pembangkit listrik.
Satu minggu mendapat pelatihan, ia memulai untuk membuat pembangkit listrik sederhana bersama warga lainya. Dengan bantuan dana senilai Rp 300 juta dari GEF-SGP, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berhasil dibuat dan dapat menjangkau warga desa disekitarnya.
Semangat gotong royong dan kebersamaan mempermudah pelaksanaan pembangunan, semua warga berpartisipasi baik dalam perencanaan, pembangunan, hingga pemeliharaan sumber energi tersebut.
Keasyikan berbagi pengalaman dengan dunia luar, rasman merasa mulai melupakan kampung halamannya. Ia ingin kembali menjalankan tugas-tugas yang lama ditinggalkan, patroli hutan, pembibitan pohon dan penyadaran lingkungan. Ia kini aktif sebagai aktivis Raksabumi untuk membantu masyarakat desa terpencil mendapatkan listrik yang terjangkau.


1 komentar:

Atsuko Maeda mengatakan...

inilah manusia cerdas dalam arti sebenarnya. ide sederhana tapi akurat. apalagi menjadi manusia bertobat. bukan hal mudah.
Bunga