6.02.2009

Melihat Komunitas Loper Koran dan Asongan Mojokerto





Mayoritas Mantan Anak Jalanan yang Ingin Mandiri

Sulit bagi seseorang yang pernah memiliki kehidupan kelam, seperti pernah merasakan penjara atau terjerumus narkoba agar bisa diterima masyarakat. Mereka merasa disisihkan dan tidak dapat bekerja layaknya orang lainnya. Salah satunya melalui paguyuban loper dan asongan Mojokerto.


AIRLANGGA, Mojokerto



RUMAH bercat putih dengan pintu berwarna hijau yang terletak di Dusun/Desa Brangkal, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto siang kemarin tampak sepi. Jendela dan pintu yang terbuat dari kayu jati tampak tertutup. Tidak ada aktifitas di dalamnya.
Darmo yang bertandang pun mencoba mengetuk pintu beberapa kali. Selang lima menit, seorang lelaki berusia belasan tahun dengan mengenakan kaos hitam keluar. Setelah dijelaskan maksud dan tujuan Darmo datang, lelaki berambut panjang mempersilakan untuk duduk.
Sebuah klipingan koran kriminal terpasang di salah satu tembok rumah berukuran tipe 45 ini. Koran yang sengaja dipajang ditembok berisi berita tentang perkelahian antara warga dengan loper koran. ’’Koran itu memang sengaja dipasang untuk mengingatkan anggota paguyuban ini agar lebih berhati-hati saat menjual koran,’’ sambut seorang pemuda bernama Taufiq, 31.
Taufiq alias Opik adalah salah satu koordinator loper koran di paguyuban LA atau paguyuban loper koran dan pedagang asongan Mojokerto. Opik lah yang berperan mengajak puluhan anak jalanan dan mantan pecandu narkoba di Mojokerto untuk merubah hidupnya menjadi loper koran.
’’Saya memang sengaja mengajak teman-teman saya yang rata-rata anak jalanan dan tidak memiliki penghasilan tetap untu berubah, caranya dengan berjualan koran,’’ ujarnya. ’’Rata-rata mereka adalah pecandu pil, narkoba dan tidak memiliki pekerjaan tetap,’’ sambungnya.
Tidak adanya pekerjaan tetap membuat mereka dekat dengan dunia kriminal. Opik sendiri mengaku mudah mengajak teman-temannya yang memiliki kehidupan kelam.
Hal ini dikarenakan, sebelumnya ia adalah pecandu narkoba. ’’Saya terpaksa ngepil koplo karena untuk doping biar kuat melekan, paginya saya mengamen sampai sore,’’ ujarnya.
Kehidupan jalanan membuat ia menjadi seorang yang keras. Puluhan pil selalu ia habiskan setiap harinya. ’’Akhirnya saya ketahuan kakak saya, nah karena dilarang, saya dicarikan pekerjaan yaitu menjadi loper koran,’’ terangnya.
Awalnya ia merasa berat menjalani kehidupan sebagai loper. Tapi setelah sadar dengan keuntungan dan kehidupan yang lebih baik, ia lantas mengajak teman-temannya untuk bergabung. Selang beberapa lama, banyak yang ikut dengan Opik hingga terbentuk paguyuban LA ini.
Paguyuban ini memang banyak beranggotakan anak-anak yang memiliki latar belakang kelam. Sebut saja Rochim, 27, yang juga pernah bergelut dengan dunia narkoba. Lelaki bertubuh tinggi ini mengaku, sebelum bergabung dengan paguyuban LA, ia selalu menghabiskan hari-harinya dengan pil-pil yang bisa membuatnya mabuk berat.
’’Saya tidak memilik tujuan hidup saat itu, karena memang tidak memiliki pekerjaan yang tetap, bisa dibilang saya ini anak yang nakal,’’ ujarnya. Setelah bergabung, ia pun mulai mengurangi kebiasaan buruknya mengkonsumsi narkoba.
Sekarang, lelaki yang sudah menikah dan memiliki satu anak ini mengaku menghilangkan secara total kebiasaan buruknya mengkonsumsi pil haram tersebut.
Selain Rochim, ada juga Andi, alias tole yang sebelum bergabung dengan paguyuban LA adalah seorang preman terminal. Dengan tato di tangan kanannya, ia merasa tidak ada masyarakat yang mau menerimanya bekerja.
Tapi anggapan tersebut sirna saat ia menjajakan koran. Meski penghasilannya tidak seberapa besar, Tole mengaku puas karena bisa mendapatkan uang dari hasil jerih payahnya sendiri. ’’Yang bikin puas yaitu dapat uang dengan cara halal dan tidak tergantung orang lain,’’ ujar pria berambut panjang ini.
Tidak hanya pecandu narkoba yang merasa betah bergabung menjadi loper koran ini. Sebut saja Gufron, yang dulunya adalah seorang tukang becak. Ia merasa penghasilan yang lebih dari sebelumnya saat menjadi loper koran.
Meski merasa senang setelah bergabung menjadi anggota paguyuban ini, tapi tidaklah mudah menjadi loper koran. Banyak pengalaman tidak menyenangkan yang harus mereka alami. Termasuk, dimarahi saat berjualan di sekitar rumah sumber berita.
Nurhayati, 27, menceritakan, ia pernah diusir oleh seorang lurah saat berjualan di sekitar rumahnya. ’’Memang beritanaya menyangkut lurah tersebut, tapi bagaimana lagi namanya juga jualan koran, ya harus bisa sampai habis bagaimanapun caranya,’’ terang satu-satunya loper perempuan di paguyuban ini.
Berbeda lagi dengan Gufron, Lelaki yang telah memiliki empat anak ini bahkan sempat dipukul saat berjualan. ’’Tapi kejadian itu diambil hikmahnya saja,’’ terangnya.
Sebenarnya, berdirinya paguyuban LA yang memiliki sekretariat di Desa Kintelan, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto ini tidak lepas dari tangan seorang pria bernama Slamet.
Lelaki berusia 49 tahun inilah yang memiliki inisiatif mengumpulkan anak-anak jalanan untuk bisa lebih bermanfaat bagi dirinya sendiri. ’’Saya mengumpulkan anak-anak ini bukan untuk mencari untung, melainkan sebagai pembinaan dan pemberian motifasi agar nantinya mereka tidak lagi dekat dengan dunia kriminal dan narkotika ataupun kembali kejalanan,’’ terang salah seorang Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Kabupaten Mojokerto ini.
Ia mengatakan, didalam lingkup masyarakat, ada beberapa kategori yang harus diberikan perhatian oleh pemerintah. ’’Tapi di paguyuban ini,sudah ada lima kategori dari pemerintah yang bisa terbantu, yakni anak jalanan , anak nakal, mantan narapidana, mantan pecandu Napza dan fakir miskin,’’ terangnya
Pria yang saat ini tengah mempersiapkan lomba profil PSM tingkat Provinsi Jawa Timur mengatakan, perhatian pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan dalam bentuk razia jalanan.
Tapi perhatian bisa diberikan dalam bentuk pembinaan jangka pendek dan jangka panjang. ’’Mereka itu butuh sesuatu yang bisa mengembangkan sumber daya dan kemampuannya,’’ terangnya.





1 komentar:

akhmad zainal mengatakan...

hidup ANAK JALANAN...!