8.06.2009

Melihat Tradisi Ruwat Bumi Yang Tersisa di Desa Watesumpak, Trowulan





Selama Prosesi Ruwatan, Warga Dilarang ke Mana-Mana

Upacara ruwat bumi hingga kini masih dilestarikan sejumlah warga desa. Salah satunya adalah Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang sampai sekarang masih melestarikan tradisi ruwat bumi untuk mendapatkan kesejahteraan desa.

AIRLANGGA, Mojokerto


SUARA gamelan terdengar mendayu mengiringi kedatangan rombongan pembawa tumpeng, yang terlihat gagah dengan berseragam pakaian khas jawa. Di belakang tumpeng, ratusan warga dengan mengenakan pakaian khas berjalan beriringan sejauh kurang lebih lima kilometer.
Ada lebih dari lima belas kelompok yang ikut serta dalam barisan panjang ini. Setiap kelompok memiliki tema-tema sendiri alam menentukan kostum mereka. Tradisi di desa tersebut dilakukan dengan melibatkan sejumlah warga yang mewakili berbagai kalangan seperti petani, nelayan, pamong desa serta para pelajar.
Prosesi ritual ruwat bumi dilakukan dengan cara yang cukup unik. Yakni menggarak aneka hasil bumi dan ternak berkeliling desa. Arak-arakan dimulai dari dusun sebelah selatan hingga menuju dusun sebelah utara. Jalan yang dilalui adalah jalan-jalan utama agar warga bisa menyaksikan acara tahunan ini.
Ratusan warga yang mengikuti acara itu, tampak berjejer rapi seolah ingin menyambut rombongan yang baru mengarak tumpeng dengan keliling kampung tersebut.
Dimulai dari depan balai desa setempat sekitar 500 warga berjalan di sepanjang desa sambil membawa hasil bumi dan hewan ternak yang tubuh dan hidup di desa tersebut.
Di bagian depan rombongan arak-arakan ditampilkan dua orang berpakaian Anoman dan seorang gadis dengan dandanan Dwi Sri beserta 5 orang pengawalnya.
Rombongan pertama adalah rombongan para petani. Uniknya, petani rombongan anggotanya adalah para perempuan usia remaja dengan mengenakan kebaya modis berwarna merah muda. Warga yang melihat juga semakin antusias dan beberapa diantaranya terlihat menggoda dengan meneriaki peserta rombongan. Tampilnya seorang gadis berpakaian petani tersebut sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Dimana warga berharap tidak ada kekeringan dan sawah mereka tetap bisa panen sepanjang tahun.
Ada pula rombongan delapan pemuda yang membawa liong-liong atau naga yang biasa digunakan sebagai tradisi etnis Tionghoa. Selain itu, rombongan pemuka agama juga ikut memeriahkan rombongan seperti rombongan biksu.
Ritual menggarak aneka hasil bumi dan ternak berakhir dengan pemotongan tumpeng oleh kepala desa yang diserahkan kepada sesepuh desa setempat. Usai dipotong sisa nasi tumpeng yang dipercaya akan mendatangkan berkah menjadi rebutan warga.
Sebelumnya, tetua dusun setempat bernama Suwandi sebelumnya memimpin doa untuk keselamatan dusun. Setelah diringi doa, tumpeng yang sudah dipotong langsung diserbu ratusan warga yang nampak tidak sabar mengambil makanan yang disediakan nampan berukuran besar.
Ratusan warga berbondong-bondong membawa makanan dan menyantap bersama di tepi jalan. Mereka menyakini ritual ini selain bisa mendatangkan berkah bagi warga, juga bisa menjauhkan dari bencana yang belakangan kerap terjadi. Warga berharap dengan memakan makanan sesaji ini, mereka bisa menjadi sejahtera karena makanan tersebut sudah diberi doa.
’’Ya percaya saja kalau bisa memakan makanan sesaji bisa terhindar dari bencana,’’ ungkap Sujito, warga sekitar.
Menurut Heri Bowo, kepala urusan pemerintahan Dusun Jatisumber, acara ritual ini memang sudah menjadi tradisi tahunan. ’’Menjelang bulan jawa yakni bulan ruwah memang selalu dilakukan acara ruwatan seperti nama bulannya. Kebetulan hari-harinya menjelang puasa,’’ terangnya.
Heri menjelaskan, kegiatan ini bertujuan untuk bersih desa dan berharap untuk keselamatan desa agar tidak terjadi bencana. ’’Disamping itu juga untuk mengenang Mbah Sumberjati. Dia adalah sosok perempuan yang mendirikan desa ini,’’ ungkapnya.
Namun, ada yang istimewa dalam penyelenggaraan ruwat dusun atau desa. Yakni, warga dusun atau desa setempat yang sedang diruwat dilarang untuk keluar desa/dusun selama pelaksanaan ruwatan.
’’Kalau dulu aturan ini ketat, tapi karena sekarang banyak kesibukan banyak yang melanggar dan itu tidak apa-apa,’’ ujarnya. ’’Kalau dulu hanya PNS, TNI atau Polri yang boleh keluar dusun. Kalau yang wiraswasta ya tidak ke mana-mana. Tapi sekarang bisa dilanggar,’’ terangnya.

Tidak ada komentar: