8.05.2009

MENGINTIP AKTIVITAS KOMUNITA GIRILAJA





Mengentas Pengamen Jalanan dan Tukang Kopi Jadi Musisi Kontemporer



Menjadi musisi yang kreatif, tak harus menjalani pendidikan khusus dari lembaga musik. Komunitas sederhana bernama Girilaja membuktikan jika mereka mampu menjadi seniman musik sungguhan



JARUM jam menunjukkan pukul 19.00. Sebuah warung kopi sederhana di Jalan Empunala, Gang Bhakti, Kecamatan Magersari Kota Mojokerto tampak mulai ramai. Beberapa orang terlihat sibuk menyiapkan sejumlah alat musik akustik di sebuah pekarangan kosong. Satu persatu, alat musik tertata apik di atas alas yang terbuat dari sisa papan reklame itu.

Wajah-wajah serius tapi santai yang terdiri dari beberapa pria muda, tua, setengah baya, dan seorang perempuan itu mulai menjalankan rutinitasnya setiap minggu. Masing-masing dari mereka memegang alat musik yang memang sudah menjadi teman latihannya. Sebuah syair lagu mulai dilantunkan dengan irama yang mampu membakar semangat.

Dua buah gitar, bass akustik, kendang, bongo, gamelan, cabassa, dan seperangkat gong itu menghasilkan jenis musik kontemporer yang tak lazim, namun sangat harmonis. Bait-bait lagu ciptaan mereka itu seakan lekat dengan hatinya. Suara koor yang keluar dari setiap mulut pemainnya menandakan jika para musisi ini bukan seniman biasa.

Selain kualitas musik yang dibawakan, gelar bukan ”seniman biasa” itu lantaran latarbelakang para pemainnya. Mulai dari pengamen, tukang parkir, pedagang pasar, hingga penjual kopi. Dari latarbelakang yang jauh dari nafas seniman itulah, mereka justru mampu menciptakan sebuah warna musik baru, namun tetap dalam bungkus musik kontempore. ”Dengan perangkat alat musik seperti ini memang sudah biasa. Tapi kami memiliki warna yang beda,” ungkap Erwan Affandiono, 47, salah satu anggota komunitas Girilaja yang juga sebagai pengarah musik.

Dia lantas membeber letak perbedaan musik garapannya dengan musik kontemporer lainnya. Perbedaan itu lebih mencolok dari cara memainkan gong. Lazimnya, gong merupakan alat musik dengan peran perkusi. Namun bagi Girilaja, gong itu bisa dimainkan secara utuh dan berfungsi sebagai ritem sekaligus melodis. ”Gong berjalan, itu istilah kami. Dengan gong yang selalu mengiringi perpindahan chord, menjadikan musik kami lebih indah,” kata pria 3 anak yang berprofesi menjadi penjual kopi ini.

Selain warna musik dan kualitas pemain yang bisa dibilang cukup andal, ada latarbelakang mulia dengan berdirinya komunitas Girilaja ini. Sejak berdiri tahun 1978 silam yang kini telah menelurkan generasi ke enam, komunitas ini ternyata memiliki misi khusus selain sekedar bermain musik. Di balik itu, komunitas ini mampu mengentas para pemainnya dari jeratan narkoba. Terbukti, beberapa pemain yang sebelumnya tak pernah ”sadar” itu, kini menjadi pemuda yang bersih dan kreatif.

”Dulu, mereka yang berlatarbelakang sebagai pengamen, saya tawari untuk bisa bermain musik dengan bersih. Dan itu terwujud. Kini mereka bebas dari narkoba dan justru mampu menciptakan karya-karya yang luar biasa,” ujarnya bangga, mengenang saat awal ia mendirikan komunitas ini dengan kondisi serba kekurangan peralatan. Mereka memiliki motto, ”Bermusik sampai mabuk dan bermusik tanpa mabuk”.

Akibat otak yang waras itu, kini mereka memiliki puluhan lagu hasil karya sendiri. Mereka berharap, lagu-lagu yang lebih banyak bernafas nasionalisme, sedikit kritik sosial dan cinta lingkungan itu mampu membawa perubahan ekonomi mereka. Impian itu muncul karena banyaknya kalangan yang berminat dengan lagu yang mereka buat. ”Kami ingin lebih dihargai, meski komunitas kami berasal dari kelompok pinggiran. Selain hidup bermusik, kami juga ingin mengentas ekonomi teman-teman dari lagu yang mereka buat,” harapnya.

Herman ”Doel” Effendi, Ketua komunitas Girilaja adalah sosok pemuda yang berada di garis depan nasib komunitas ini. Dengan berbagai kekurangan, ia mencoba terus menjaga eksistensi komunitas unik ini. Betapa tidak, komunitas ini bertahan dengan segala keterbatas, khususnya peralatan alat musik yang dimiliki. Seperangkat gamelan yang mereka tabuh itu, bukanlah milik sendiri. ”Itu pinjaman dari BP7. Sebelumnya, kami harus mondar-mandir pinjam alat saat latihan,” ungkap Herman.

Namun, keterbatasa moda itu justru menjadikan spirit baginya untuk membuktikan bahwa komunitas ini mampu terus berdiri dan berkarya. Tak hanya dari jalur musik, ia kerap memilih jalur lain untuk menjaga ekonomi komunitas itu. ”Kita juga membuat sejumlah souvenir yang itu bisa dijual dan untuk menghidupi komunitas ini. Kami akan tetap berkreasi meski dalam kondisi serba keterbatasan. Itu tekad kami,” pungkasnya.

Tidak ada komentar: