10.27.2009

Melihat Proses Pembuatan Gula Merah secara Tradisional di Desa Penompo, Kecamatan Jetis





Limbah Pabrik Dijadikan Pupuk, Sisa Tebu Dijadikan Bahan Bakar

Pembuatan gula merah yang dilakukan secara tradisional di Kabupaten Mojokerto nyaris tidak ada. Namun, bagi Mustofa, 75, usaha ini tetap dilakukan. Bahkan, usaha pembuatan gula merah dijadikan usaha keluarga.

AIRLANGGA, Jetis


PANAS terik matahari tidak menyurutkan dua pegawai pabrik tebu yang terletak di Desa Penompo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto mengaduk enam tungku berdiameter satu meter. Keringat terus membasahi tubuh Suryanto.
Kedua tangannya begitu lihai menggerakkan sebuah kayu berukuran panjang satu meter. Dengan teliti, satu persatu dari enam wajan yang berada di dalam pabrik diaduk secara bergantian.
Panas yang dihasilkan tungku tidak menghalangi semangat Suryanto mengaduk gula merah setengah jadi ini. ’’Untuk menghasilkan gula merah yang memiliki kualitas bagus, pengadukan memang harus lama,’’ ujar pria yang sudah bekerja selama empat tahun ini.
Selama Suryanto mengaduk, Udin, teman kerjanya ikut membantu memasukkan sisa-sisa daun tebu yang kering kedalam tungku agar api pembakar terus menyala. Kedua matanya terus melihat ke dalam tungku untuk memastikan apakah api tetap membara atau mati.
Menurut salah satu putra Mustofa, pemilik pabrik gula merah bernama Muhammad Shoim, proses pembuatan gula merah ini paling tidak membutuhkan waktu antara satu hingga dua jam untuk setiap kali pembakaran.
’’Setelah pembakaran, terus diisi lagi dengan air tebu melalui selang. Selang ini terhubung dengan mesin penggiling tebu,’’ ujar pria berusia 28 tahun ini.
Gula merah buatan Shoim diproses secara sederhana. Tanaman tebu yang telah matang atau berumur sekitar 14 bulan dikepras dari akarnya dan dibersihkan dari daun-daun kering. Proses ini dilakukan di didepan pabriknya.
Tebu kemudian dibawa ke tempat pengolahan, lalu digiling menggunakan mesin untuk mengeluarkan air gulanya. Untuk menghasilkan kadar gula yang maksimal, Shoim terkadang memantau langsung proses pembuatan gulanya. Dengan dua mesin miliknya, tebu-tebu tersebut digiling selama beberapa jam.
Air tebu dengan kadar gula yang tinggi itu selanjutnya dimasak di tungku sampai air gula mengental dan berwarna coklat kemerah-merahan. Selama proses pemasakan di tungku, gula harus terus-menerus diaduk secara manual menggunakan tenaga manusia agar matang merata dan tidak gosong.
Untuk memasak gula, Shoim menggunakan bahan bakar daun tebu yang telah kering. Bahan bakar daun tebu tersebut dimasukkan secara periodik di dalam tungku berukuran 30 cm x 30 cm.
Setelah masak, gula merah dimasukkan ke dalam bak berukuran besar berukuran 100 cm x 60 cm. Setelah dingin gula merah diaduk kembali dan siap dikirim.
Tidak ada bahan campuran lain yang ditambahkan Shoim ke dalam gula merah produksinya. ’’Kami tidak memakai pewarna ataupun bahan pengawet karena itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Justru dengan menjaga kemurnian kualitas gula, gula merah produksi kami bisa tahan selama setahun,’’ ujarnya.
Karena tidak memakai pewarna itu pula gula merah yang diproduksi Shoim tidak berwarna merah seperti gula merah yang dijual di pasar tradisional. Gula buatan Shoim justru berwarna cokelat kemerah-merahan.
Shoim mengatakan, pabrik yang dikelolanya bersama dua kakaknya ini sangat ramah lingkungan. Limbah pabrik berupa abu dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman untuk lahan tebu miliknya. ’’Sebagian lagi dijual kepada masyarakat sekitar dengan harga murah,’’ ujar anak ke sembilan dari sebelas bersaudara ini.
Shoim mengungkapkan, meski saat ini banyak usaha pembuatan gula merah dengan mesin-mesin lebih modern, namun dia tetap bertahan dengan cara tradisional. Menurutnya, hasil gula yang diproduksinya lebih memiliki kualitas. ’’Saat ini di kecamatan Jetis hanya ini saja usaha pembuatan gula merah. Kemungkinan juga di Kabupaten Mojokerto, karena seingat saya usaha seperti di Gondang sudah tutup,’’ terangnya.
Usaha yang dilakukannya ini sudah dijalani selama lima tahun. Bersama dua kakaknya yakni Nurul dan Nurhadi, Shoim berusaha mempertahankan usaha milik ayahnya ini. ’’Saat ini tidak ada kendala apapun dalam menjalankan usaha pembuatan gula merah. Bahan baku sudah ada ladang sendiri, kalau tidak cukup membeli dari masyarakat sekitar,’’ terangnya yang enggan menyebutkan jumlah produksinya. Hasil gula merah yang diproduksinya ini dijual dalam bentuk utuh tanpa dicetak ke Tulungagung.


Selengkapnya...

10.26.2009

Saat Warga Lebak Jabung Kesulitan Air Bersih




Terpaksa Manfaatkan Sungai Kotor Bekas Penggalian Sirtu

Musim kemarau rupanya selalu menjadi bencana bagi warga Dusun Lebakgeneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo. Selain sumur kering, satu-satunya sungai yang bisa diharapkan menyuplai air, justru dirusak penambang sirtu liar.

AIRLANGGA, Jatirejo

SEJUMLAH warga di Dusun Lebakgeneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, saat ini terpaksa memanfaatkan sungai kotor akibat penambangan sirtu untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK). Kondisi ini terjadi akibat musim kemarau berkepanjangan di mana sumur yang biasa dipergunakan sudah kering kerontang.
Kesulitan mendapatkan air bersih dirasakan warga setempat sejak satu tahun terakhir atau sejak memasuki musim kemarau tahun ini. Tak sedikit di antara warga yang terpaksa mencari sumber air bersih dari wilayah lainnya, meski menempuh jarak yang jauh.
Bahkan, saking sulitnya mendapatkan air bersih, tak sedikit pula masyarakat yang memanfaatkan air kotor MCK.
Akibatnya, tak jarang ada sejumlah warga yang mengaku menderita gatal-gatal setelah memanfaatkan air berwarna cokelat tersebut.
Seperti diungkapkan Yayah, 50 tahun, warga setempat. Yayah mengaku terpaksa menggunakan air sungai yang tidak jernih, saking sulitnya mendapatkan sumber air bersih. Sulitnya masyarakat mendapatkan air bersih, membuat mereka tak lagi memikirkan dampak yang ditimbulkan dengan memanfaatkan air kotor tersebut.
’’Kami sangat kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Ya, terpaksa kami memanfaatkan sungai ini untuk keperluan sehari-hari,’’ kata Yayah.
Kondisi itu menjadi pemandangan biasa sehari-hari di wilayah tersebut. Selain memanfaatkan air sungai yang kotor, sebagian warga juga memanfaatkan air dari limbah perumahan. ’’Ya, kami bingung mesti bagaimana lagi. Daripada kami kekurangan air, mendingan memanfaatkan air yang ada, meskipun keadaannya kotor dan tak layak digunakan,’’imbuh dia.
Bahkan, banyak diantara warga rela berjalan jauh ke desa lain untuk mendapatkan air bersih. Untuk mengambil air bersih, warga rela berjalan menempuh jarak dua hingga tiga kilometer dari rumahnya. ’’Sumur yang kami miliki dan biasa dipergunakan untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus, sudah tidak berair lagi,’’ kata dia.
Warga juga sebenarnya sudah berusaha melapor ke pemerintah dan polisi tentang masalah yang mereka hadapi. Namun, rupanya laporan tersebut tidak pernah dianggap. ’’Kami sudah sabar selama satu tahun, tapi tetap tidak ada tindak lanjutnya,’’ terang Paino, 45, warga sekitar.
Dia mengungkapkan, selama ini warga Dusun Lebak Geneng memang mengandalkan air dari Sungai Selomalang untuk kegiatan sehari-hari mereka. ’’Kalau mengandalkan air sumur tidak mungkin, karena susah mendapat air sumur di daerah ini,’’ujarnya. Dia mengatakan, saat musim kemarau saat ini, air menjadi lebih keruh dari biasanya.
Warga menganggap, keruhnya air Sungai Selomalang yang menjadi andalan warga diakibatkan adanya aktivitas penambangan sirtu liar. Sumardiono, 50, mengatakan aktivitas ini telah berlangsung selama satu tahun.
’’Selama setahun itu kami terpaksa mengandalkan air yang sudah keruh, padahal sebenarnya air jernih kalau tidak ada kegiatan penambangan,’’ ungkapnya. ’’Gara-gara penambangan ini, air di desa menjadi keruh. Kami terus mau minum apa?’’ keluh Sumardiono.
Bahkan, beberapa waktu lalu, warga juga terpaksa menutup paksa aktivitas penambangan sirtu milik pengusaha asal Surabaya tersebut. Warga rela menempuh perjalanan hanya untuk menyampaikan aspirasinya kepada para penambang sirtu.
Untuk menuju lokasi yang berjarak sekitar 6 kilometer dari jalan raya itu, butuh perjuangan yang tak enteng. Tak jarang, truk yang mengangkut warga itu harus menyeberangi sungai tanpa jembatan. Apalagi kondisi jalan yang memang terjal. Ditambah lokasi Sungai Selomalang yang berada di wilayah ketinggian di atas bukit.
Tiba di lokasi penambangan, hanya perasaan miris yang muncul. Sebuah sungai berukuran besar itu, ’’ditumbuhi’’ truk-truk pengangkut batu dan mesin ekskavator. Alat-alat berat itu bahkan mampu membelah sungai hingga menjadi jalan yang bisa dilalui truk.
Lebih parah lagi, sebuah tanggul sungai juga menjadi korban kepentingan sesaat para penambang. Tanggul berukuran besar itu dipecah demi membuat jalan truk yang mengangkut hasil tambang di lokasi ini.
Aktivitas pengerukan sirtu, pemecahan batu dan lalu-lalang truk itu tentu saja membuat dampak buruk bagi lingkungan. Air sungai yang mulanya jernih, kini berubah menjadi cokelat pekat. Padahal, ribuan warga Desa Lebakjabung berharap banyak dari kejernihan sungai ini untuk kepentingan air minum, memasak dan mencuci.
Suyit, salah satu warga lainnya mengungkapkan, sejak awal musim kemarau tahun ini, warga memang bersabar meski air sungai yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari itu berwarna keruh penuh dengan lumpur. Namun semakin hari, kondisi air semakin memburuk lantaran eksploitasi di Sungai Selomalang semakin menggila.
Aksi nekat ini juga dilakukan agar aktivitas penambangan ilegal di lokasi itu bisa berhenti. Karena jika mengandalkan polisi dan satpol PP, selalu saja menemui jalan buntu. Juga lantaran kondisi warga yang sudah tak tahan lagi meminum air keruh setiap harinya. ’’Dari sungai itulah kebutuhan air kami dipenuhi. Semua sumur di sini sudah kering,’’ tuka Paino.
Rupanya, alasan warga menutup paksa lokasi penambangan sirtu liar ini bukan omong kosong. Selan dua jam sejak tiga alat berat dan puluhan truk hengkang dari lokasi penambangan, kondisi air Sungai Selomalang berangsur-angsur jernih. ’’Kita mengharapkan agar tidak ada lagi aktivitas penambangan sirtu seperti ini lagi,’’ ujar Surdi, warga lainnya. (*)
Selengkapnya...

Melihat Kerupuk ’’Memble’’ Khas Mojokerto yang Sempat Terpuruk

Dikerjakan Satu Keluarga, Menggeliat usai Vakum 10 Tahun


Usaha kerupuk ’’Memble’’ yang digarap pasangan suami istri Lamisan-Nasinah sempat berjaya pada tahun 1990-an. Bahkan dikenal khas Kabupaten Mojokerto. Namun diserang krisis, usahanya bangkrut. Nah, kini, berupaya bangkit lagi dari tidurnya.

AIRLANGGA, Mojokerto


RUMAH dengan tembok berwarna putih yang berada di Desa Penompo, Kecamatan Jetis siang kemarin terasa sepi. Tidak ada aktivitas terlihat dari luar rumah. Hanya sebuah papan bertuliskan nama usaha penjual kerupuk bertengger di depan.
Sebuah papan terbuat dari anyaman bambu terpasang didepan rumah sebagai alas menjemur ratusan kerupuk yang masih basah.
Di samping rumah, sebuah ruangan berukuran 6x6 meter terlihat aktivitas. Canda tawa anak-anak kecil terdengar dari luar rumah. Di depan pintu ruangan yang banyak tersimpan karung-karung tepung terigu itu, Iva dan dua saudaranya tampak tekun meletakkan bahan setengah jadi kerupuk yang baru direbus.
Sesekali bocah perempuan berusia delapan tahun ini bercanda dengan kakaknya, Saifun dan sepupunya Maarif. Ketiganya sangat terampil membentuk kerupuk-kerupuk yang masih basah tersebut dan meletakkannya diatas nampan terbuat dari bambu.
’’Ya begini ini aktivitas sehari-hari di rumah kami. Sehari-hari memang usaha ini dikerjakan oleh keluarga,’’ ujar Lamisan sambil mempersilakan masuk koran ini. Usaha yang dikerjakan satu keluarga ini memang diakui Lamisan sebagai usaha andalan mereka.
Sudah empat bulan ini bapak sembilan anak memulai usahanya sejak mengalami bangkrut 10 tahun lalu. ’’Dulu saya memulai usaha ini pada tahun 1989, awalnya memang tidak besar. Ya kecil-kecil dulu,’’ ungkapnya.
Lamisan tidak perlu belajar secara khusus untuk memproduksi kerupuk dengan rasa gurih ini. Pria berperawakan kurus ini mengaku belajar secara otodidak melalui teman-temannya.
’’Di tempat saya tidak ada yang memproduksi kerupuk. Kebanyakan warga sini bekerja sebagai buruh pabrik, petani dan pedagang,’’ ungkapnya.
Keberaniannya memulai usaha membuat kerupuk ini langsung didukung oleh istrinya. Keduanya bahu-membahu belajar membuat kerupuk yang berbeda dari kerupuk yang dijual selama ini.
Setelah melalui proses panjang dan berbagai percobaan, akhirnya pasangan suami istri ini ’’menciptakan’’ kerupuk baru dengan rasa yang lebih gurih. Bak putaran roda, setelah sepuluh tahun memulai usahanya, Lamisan mengalami kegagalan.
Harga bahan yang mahal serta krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1999 memaksa usahanya gulung tikar. Beberapa karyawan yang sudah lama mengabdi pun mulai meninggalkan dia untuk mencari pekerjaan baru.
Namun setelah sepuluh tahun mengalami vakum, pasangan ini mulai memiliki keberanian memulai usahanya seperti dulu. Berbekal modal seadanya serta ruangan sebelah rumah yang sebelumnya tidak terpakai, Lamisan mulai membangun kebangkitan usahanya seperti dulu kala.
Beruntung seluruh keluarganya mendukung. Tidak hanya dukungan moril, anak-anaknya pun turut membantu tenaga. Secara bergantian, keluarga besarnya ikut membantu membuat kerupuk yang dinamakan kerupuk ’’memble’’ ini.
Lamisan sendiri tidak tahu kenapa kerupuk yang dibuatnya dinamakan kerupuk ’’memble’’.
’’Awalnya pembeli yang menanyakan apa ada kerupuk memble, ternyata itu kerupuk saya. Jadi yang memberi nama itu pembeli bukan saya,’’ ungkapnya. Selain itu, para pembeli pernah memberitahu kalau kerupuknya seperti lidah yang menjulur. ’’Makanya diberi nama memble,’’ ungkapnya.
Kerupuk yang diproduksinya ini memang tidak beda dengan kerupuk lain jika dilihat secara sekilas. ’’Tapi rasanya lebih gurih dan tidak keras,’’ ujarnya. Dengan menggunakan bahan-bahan seperti tepung terigu dan tepung kanji serta ditambah bumbu-bumbu seperti bawang putih, Lamisan mampu mengolah menjadi kerupuk dengan rasa khas.
’’Ada teknik sendiri saat menggoreng. Kalau orang lain pasti hasilnya keras terutama dibagian tengah kerupuk karena tidak punya tekniknya,’’ ungkapnya.
Selain karena kegigihannya, Lamisan juga ikut LSM yang bergerak dibidang usaha kecil. Berkat bantuan LSM Kumbo Karno yang diikutinya, Lamisan mendapat pelatihan dan mengetahui bagaimana mengembangkan bisnis kerupuknya.
Meski baru empat bulan menjalankan usahanya, pemasaran yang dilakukan Lasiman dibilang cukup maju. Kerupuk yang diproduksinya mampu mencapai Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan seluruh Kabupaten dan Kota Mojokerto. ’’Biasanya ada sales yang datang kesini ambil kerupuk, tapi sebagian saya pasarkan sendiri. Kebanyakan di pasar-pasar,’’ ungkapnya.
Meski demikian, usaha yang digelutinya ini tidak lepas dari berbagai kendala. Saat ini, kendala utama yang dihadapinya adalah modal. Lamisan sendiri mengaku ingin usahanya menjadi besar.
Namun karena kurang modal, usahanya kini hanya terkesan jalan ditempat. ’’Keuntungannya masih belum banyak,’’ ungkap Nasinah, menimpali suaminya. Dia berharap. Pemerintah bersedia memberikan pinjaman lunak kepada usaha-usaha kecil seperti dirinya. ’’Kalau bisa tidak ada bunganya,’’ ungkap Nasinah.

Selengkapnya...

Kisah Suwadi yang Tergolek di Ranjang Selama 17 Tahun





Tinggal Kulit Berbalut Tulang, Wajah pun Seperti Anak Kecil

Tak ada yang bisa menolak nasib yang sudah digariskan Tuhan. Suwadi, misalnya, saat remaja sehat walafiat, tiba-tiba saja tergolek tak berdaya selama 17 tahun. Itu setelah pria berusia 36 ini mengalami kecelakaan.

AIRLANGGA, Mojoanyar


RUMAH kecil dengan tembok warna putih dan kombinasi hijau yang berada di Dusun Ngumpak, RT 1 RW 1 Desa Jabon, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto siang kemarin nampak sepi. Tidak ada aktivitas apapun di luar rumah. Begitu juga dengan rumah yang berada di kanan kirinya.
Meski hari itu panas terik matahari begitu menyengat, namun terasa sejuk di dalam rumah yang terbuat dari perpaduan antara bambu dan tembok.
Sesosok perempuan berusia 28 tahun keluar dari dalam rumah sambil menyapa koran ini. ’’Sebentar ibu masih sembahyang, silakan duduk,’’ ujar perempuan bernama Sukayanti. Yanti, sapaan Sukayanti adalah adik dari Suwadi.
Sepuluh menit kemudian, pasangan suami istri, Sapari dan Sukaelah keluar menyapa ramah. ’’Beginilah keadaan rumah kami,’’ujar Sapari, ayah dari Suwadi.
Sapari pun mengantarkan koran ini ke sebuah kamar berukuran 4x4 meter yang berada di dekat ruang tamu. Di kamar inilah Suwadi terbaring tidak berdaya. Sebuah dipan berukuran panjang dua meter dengan alas anyaman bambu setia menemani pra berusia 37 tahun ini.
Selain menjadi tempat ’’naungan’’ Suwadi, di kamar ini juga digunakan sebagai dapur. Hal ini terlihat dari banyaknya perabotan seperti gelas, piring dan alat memasak yang disimpan di dalam kamar. Sukaelah memiliki alasan khusus menjadikan kamar anak kesayangannya sebagai dapur. Karena sehari-hari berada didapur, Sukaelah juga tidak mau berada jauh dari anaknya. Mengingat kondisi anaknya yang selalu membutuhkan perhatian dari sang ibu.
Kondisi Suwadi memang memprihatinkan. Tubuhnya nampak kurus. Bahkan pria yang mestinya sudah cukup dewasa ini sama sekali tidak nampak sebagai pria dewasa. Dia malah terkulai dengan tubuh yang kurus.
Malah dari segi fisik pria berusia 36 tahun ini nampak seperti anak-anak yang baru duduk di SD. Tubuhnya mungil. Parahnya lagi, dia hanya bisa tertidur lemas di pembaringan. Jangankan untuk berdiri, duduk dan bicara saja pria malang ini tidak mampu.
Malah ketika koran ini mampir di rumahnya dan sempat mengambil foto di kamarnya, Suwadi nampak tidak ada reaksi. Tinggi badannya sendiri hanya sekitar satu setengah meter dan beratnya pun tidak lebih dari 20 Kg.
Suwadi sendiri adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Sapari, 77, dan Sukaleah, 68. ’’Kondisi saya memang seperti ini, tidak bisa berjalan. Bersalaman saja sulit,’’ ujar Suwadi dengan nada bicara yang kurang jelas. Kondisi yang menimpanya membuat Suwadi kesulitan bicara jelas.
Menurut penuturan sang ayah, Suwadi waktu usia remaja sebenarnya termasuk anak normal. Bahkan saat itu dia sudah bisa berjalan dan termasuk remaja yang periang. ’’Ya seperti anak lain selalu bermain keluar rumah dengan teman-temannya,’’ ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual kerupuk keliling ini.
Namun musibah tidak dapat ditolak oleh Suwadi. Saat berusia 20 tahun, Suwadi mengalami kecelakaan yang menyebabkan tulang di pinggulnya patah. Padahal, sebelumnya, putri pertamanya baru saja meninggal akibat penyakit jantung. Kedua musibah ini tentu saja membuat keluarga Sapari dan Sukaelah sangat bersedih. Awalnya, sang ayah menganggap luka yang diderita Suwadi tidaklah parah.
Namun Suwadi dibawa ke seorang dokter di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan atas saran teman Sapari. ’’Oleh dokter hanya disuntik. Saya tidak dijelaskan anak saya sakit apa,’’ ujarnya.
Namun rupanya penyakit yang diderita anaknya tidak kunjung sembuh. Bahkan cenderung semakin parah. Suwadi sampai tidak bisa berjalan dengan sempurna.
Karena melihat kondisi anak kesayanganya ada keganjilan, Sapari langsung mengajak buah hatinya untuk berobat ke salah satu tabib pengobatan alternatif di Jawa Tengah. ’’Saya lupa nama tabibnya. Dia praktik di Jawa Tengah,’’ ujarnya sambil mengingat-ingat.
Oleh tabib, sang anak disebutkan dalam kondisi sehat-sehat saja. Namun kenyatannya, makin lama kondisi anaknya kian parah. Malah selang beberapa bulan kedua kakinya lemas. ’’Awalnya sempat panas, kemudian lemas,’’ ujar Sukaelah menimpali pembicaraan suaminya.
Karena khawatir dengan kondisi anaknya mereka pun memutuskan untuk membawa Suwadi ke dukun pijat. ’’Kami sempat lama berobat di dukun pijat. Terkadang seminggu sekali ke sana. Pengobatan sendiri kami lakukan hampir selama satu tahun. Namun tetap tidak ada perobahan,’’ ungkap dia.
Malah, kata Sukaelah, kondisinya semakin parah. Selain lumpuh, kedua kaki dan tanganya juga lemas. Untuk bangun saja Suwadi tidak bisa. Bahkan seiring dengan waktu kesehatannya makin memburuk dan kini dia juga tidak bisa bicara.
Padahal, seluruh hartanya sudah habis setelah mengobati penyakit jantung putri pertamanya yang meninggal. ’’Tanah saya sudah dijual semua untuk mengobati putri saya yang sudah tiada,’’ ujarnya.
Sekarang, kondisinya lebih parah karena untuk duduk dan makan saja tidak mampu. Untuk itu kedua orang tuanya dengan telaten menyuapi putranya. Tidak sampai di sana. Kedua orang tuanya juga membantu saat Suwadi buang air besar dan air kecil.
’’Makan, minum dan buang air yang hanya dilakukan di dalam kamar saja,’’ ujar Sukaelah.
Lalu apa sebenarnya penyakit aneh yang menggerogoti Suwadi tersebut. Menurut Sukayanti dan kedua orang tuanya tidak tahu persis. Ini lantaran dokter dan puluhan tabib serta dukun pijat tidak pernah memberitahu penyakit yang diderita Suwadi.
Sapari sendiri sempat menanyakan kepada orang pintar tentang anaknya tersebut. Sapari sendiri kini hanya bisa pasrah. Kalau untuk kesembuhan anaknya dia pun tidak bisa berharap banyak.
Ini mengingat berbagai upaya telah dia lakukan. ’’Lima tahun saya berusaha mengobati anak saya. Sekarang saya hanya bisa pasrah saja,’’ ujarnya. Sebagai penjual kerupuk keliling yang memiliki pendapatan antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu per hari, Sapari mengaku tidak bisa lagi membiayai pengobatan anaknya.
Hanya saja pihaknya berharap kepada para dermawan dan pemerintah untuk bisa memberikan bantuan untuk makan dan pengobatan anaknya sehari-hari. Anak kesayangannya ini hanya bisa makan sedikit nasi.
Sementara untuk buang air besar dan kecil dilakukan di dalam kamar. Sementara untuk mandi keduanya dimandikan oleh kedua orang tuanya. ’’Terkadang seminggu sekali baru mandi,’’ ujar Sukaelah.
’’Ya sekarang ini untuk beli lauk pauk kesulitan, terlebih sekarang ini cukup mahal,’’ ujarnya sambil berharap kalau ada dermawan yang terketuk untuk membantunya. Suwadi sebenarnya adalah remaja yang sangat aktif dan pintar.
Dia memiliki keahlian otomotif. ’’Sebelum sakit, dia bekerja di bengkel di Pasinan,’’ terang ayahnya.
Di dalam rumah yang sederhana, selain tinggal bersama orang tuanya, Suwadi juga tinggal bersama adiknya, Sukayanti bersama suaminya Mustakim. Adik Suwadi, Sunyoto juga tinggal bersamanya. Hanya saja, Sunyoto yang bekerja serabutan jarang terlihat di rumah. (yr)

Selengkapnya...

Pengakuan Para Korban Trafficking, Calon Pelayan Pria Hidung Belang di Kalimantan


Jual Gadis: ’’Mami’’ saat diperiksa polisi


Mengaku ke Orang Tua, Bekerja di Surabaya

Terungkapnya kasus penjualan gadis asal Pungging, Kabupaten Mojokerto dua hari lalu, mengundang berbagai pertanyaan. Pelaku, Yn, 24, asal Desa/Kecamatan Pungging bekerja sendiri atau ada sindikat yang mengorganisasi?

AIRLANGGA, Mojokerto


KAMIS (3/9) sore, empat perempuan duduk di kursi tunggu ruang Satreskrim Polres Mojokerto. Tidak ada raut tegang yang terlihat di wajah mereka meskipun harus menjalani pemeriksaan di ruang unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Mojokerto.
Selesai tampak terdengar suara gurau diantara mereka. Layaknya ABG lainnya, ucapan bahasa-bahasa gaul terdengar dari mulut mereka.
Empat dari tiga perempuan yang sedang menunggu pemeriksaan ini adalah calon korban perdagangan perempuan atau trafficking. Andai saja petugas kepolisian tidak mencegah keberangkatan mereka ke Bandara Juanda Waru, Sidoarjo, mungkin mereka kini sudah bekerja melayani pria hidung belang di Samarinda.
’’Tadinya kami sudah memesan tiket ke Samarinda, tapi tiba-tiba dicegat sama pria-pria yang tidak dikenal. Saya pikir ada perampokan atau apa,’’ ujar Mawar, bukan nama sebenarnya. Dengan lugu, perempuan yang masih berusia 18 tahun ini tidak tahu menahu kalau nantinya akan berurusan dengan pihak kepolisian lantaran mengikuti ajakan temannya untuk bekerja di Samarinda. ’’Saya diajak oleh Melati (bukan nama sebenarnya) untuk bekerja di Kalimantan. Katanya enak banyak uang dari pada di sini, tidak ada apa-apa,’’ ujar perempuan asal Desa/Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto ini.
Mawar menceritakan, sekitar satu minggu sebelumnya, dia didatangi oleh Melati di rumahnya. Melati bilang kepada Mawar kalau dia baru saja diajak oleh Yn, perempuan yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Mojokerto.
’’Kata Melati, dia mau diajak ke Kalimantan, bekerja sebagai pelayan kafe. Dia tanya ke saya mau ikut apa tidak?’’ ujarnya polos.
Setelah mendengar cerita penghasilan yang nantinya akan didapat, Mawar menjadi tergiur. Ini lantaran selama ini, perempuan tamatan SMP tidak bekerja. ’’Sehari-hari saya ini menganggur di rumah, tidak ada pekerjaan,’’ ucapnya.
Begitu juga yang dialami oleh Melati. Perempuan berkulit hitam manis ini mengaku mengenal Yn sejak masa sekolah di SMA dulu. Yn adalah kakak kelas Melati saat bersekolah di SMA Pahlawan, Kecamatan Dlanggu.
Namun, saat menginjak kelas dua SMA, Melati tidak meneruskan jenjang pendidikannya lantaran terbentur masalah biaya. Setelah lama tidak bertemu, Yn tiba-tiba mendatangi rumah Melati.
Di sana, Yn menceritakan kalau dirinya bekerja dan menghasilkan banyak uang. ’’Katanya kerjaannya mudah tapi uangnya banyak,’’ ungkapnya. Oleh Yn, Melati dikenalkan dengan seorang perempuan yang biasa dipanggil ’’mami’’ melalui ponselnya.
Melati dan mami bicara banyak. Bak terhipnotis, rupanya, setelah mendengar cerita mami, Melati sangat antusias ikut Yn ke Samarinda untuk bekerja sebagai pelayan kafe. Dia lantas mengajak Bunga dan Mawar, teman sepermainannya untuk ikut serta.
Mawar sendiri mengaku terpaksa berbohong kepada orang tuanya agar diijinkan pergi. ’’Saya pamit ke orang tua pergi ke Surabaya sebagai pembantu rumah tangga. Sebelumnya saya memang pernah bekerja di Surabaya sebagai pembantu,’’ ucapnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Bunga dan Melati. Bahkan, Bunga mengaku sudah mengetahui pekerjaan yang akan dilakukannya nanti setiba di Samarinda. ’’Saya tahu kalau disuruh menemani tamu kafe. Bayarannya per botol Rp 2.000. Kalau mau uang lebih saya harus mau diajak kencan. Bayarannya bisa mencapai Rp 200 ribu. Sedangkan kalau dikontrak 14 hari bisa mendapatkan uang jutaan rupiah,’’ terangnya.
Yn, yang telah dietapkan tersangka memang mengaku sudah mengatakan pekerjaan yang akan dilakukan ketiga korban di Samarinda. ’’Saya bilang apa adanya. Kalau mau ikut saja, tapi kalau tidak mau tidak usah ikut,’’ucapnya. Yn sendiri awalnya juga korban trafficking.
Dia diajak oleh seorang perempuan yang baisa dipanggil mami berinisial Sr, asal Dlanggu yang kini menetap di Samarinda. ’’Awalnya saya diajak kerja di toko, tapi kenyataannya saya malah disuruh melayani tamu-tamu. Seminggu kemarin saya disuruh menjemput mereka (korban, Red) untuk dibawa ke Samarinda,’’ ungkapnya.
Sejak pindah ke Samarinda, Yn tidak dapat pulang ke rumah dengan alasan tidak tahu jalan pulang. Terpaksa perempuan yang kini sudah dikaruniai satu anak ini melayani pria hidung belang. Meski sudah menikah, dia tetap menjalankan profesinya sebagai pelayan kafe di laut selatan Samarinda.
Yn sendiri menceritakan perkenalannya dengan maminya tersebut. ’’Mami dulu punya warung di tepi jalan Dlanggu. Kebetulan saya sering lewat dan diajak mampir. Lalu saya ditawari bekerja di Kalimantan,’’ ucapnya.
Saat dilakukan pemeriksaan, Yn berulang kali mengiba kepada petugas untuk jangan dipenjara. ’’Kalau saya disel bagaimana nasib saya dong Pak, kira-kira berapa lama saya disel?’’ rengeknya.
Kasatreskrim Polres Mojokerto, AKP Samsul Makali mengungkapkan akan langsung ke Samarinda untuk mengejar pelaku lainnya. ’’Kami akan memburu maminya karena dia yang menyuruh Yn mengajak ketiga korban untuk dibawa ke Samarinda,’’ ujarnya.
Sebagaiman diberitakan, Satreskrim Polres Mojokerto berhasil menggagalkan percobaan trafficking tiga gadis asal Kabupaten Mojokerto kemarin sore. Seorang tersangka diketahui berinsial Yn, 24, warga Desa/Kecamatan Pungging diamankan saat akan membawa tiga gadis ke Kalimantan.
Polisi berhasil mengagalkan upaya penjualan gadis ke Kalimantan setelah mendapat informasi dari masyarakat. Saat itu juga petugas langsung melakukan penyelidikan.
Polisi akhirnya memberhentikan sebuah mobil Isuzu Panther nopol L 2412 LK yang akan membawa tersangka dan ketuga korban ke bandara Juanda. Mereka sudah memesan tiket pesawat perjalanan ke Samarinda. Dia juga mengatakan, kalau ketiga korban ini nantinya akan dipekerjakan sebagai pelayan sekaligus menemani tamu. Yn dan Sr nantinya akan dijerat dengan pasal 2, 9 dan 10 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


Selengkapnya...

Trowulan, Kawasan yang Diduga Pusat Kota Majapahit







Arkeolog pun Sibuk Menggali dan Menyingkap Tabir

Kerajaan Majapahit hingga sekarang masih menjadi misteri baik bagi masyarakat ataupun para peneliti. Proses ekskavasi situs-situs di Trowulan, Mojokerto pun dilakukan karena dianggap sebagai pusat Kota Majapahit. Bagaimanakah proses ekskavasi tersebut?

AIRLANGGA, Trowulan

DUA alumnus jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan Universitas Indonesia tampak tekun melihat bongkahan batu berwarna merah di bawahnya. Sorot kedua mata mereka tak pernah lepas dari situs-situs yang sudah bercampur dengan tanah dan batuan.
Kedua tangannya tampak teliti mengais tanah menggunakan kuas kecil. Sesekali mulut mereka meniup butiran-burtiran pasir yang menghalangi alur goresan-goresan yang terukir diatas batuan bersejarah.
Terik matahari tidak menghalangi kedua pria ini untuk mengungkap fakta sejarah Majapahit. Salah satu kerajaan terbesar di Indonesia. Ada sekitar empat belas peneliti yang sedang melakukan pekerjaannya di halaman samping Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang berada di Desa/Kecamatan Trowulan.
Proses ekskavasi yang dipimpin Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia, melibatkan lima regu. Setiap regu terdiri dari lima pegawai BP3 Trowulan. Juga ada tiga tenaga ahli yang sebelumnya terlibat rehabilitasi Candi Borobudur.
Mereka adalah ahli pemetaan Bambang Siswoyo, ahli gambar Bambang Sumedi, dan ahli fotografi Suparno. Serta melibatkan alumni dari Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan Universitas Indonesia.
Menurut Osrifoel Oesman, anggota tim evaluasi pembangunan pusat informasi tersebut, lokasi yang diekskavasi ini kemungkinan besar adalah pemukiman penduduk di masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan abad ke-14. Dilihat dari struktur batuan, lantau serta artefak yang ditemukan, kemungkinan besar lokasi yang digali ini adalah pemukiman penduduk kalangan atas.
’’Tidak mingkin ada artefak bagus di kawasan penduduk biasa, secara logika kan seperti itu. Contohnya sekarang ini ada perbedaan pemukiman kawasan Menteng Jakarta dengan penduduk di Jakarta Utara yang biasa-biasa saja,’’ ungkap pria yang berpenampilan nyentrik ini.
Dia menjelaskan, kawasan 800 meter persegi itu sudah bisa diekskavasi hingga akhir tahun 2009. Tak kurang dari 200 lubang baru ukuran 4x4 meter bakal digali dengan sistem grid. Tahap pertama sudah dilakukan pada 28 Juli-8 Agustus lalu. Pada tahun 2010 proses ekskavasi akan dikembangkan ke situs Segaran 5, arah selatan lokasi pembangunan pusat informasi. ’’Mencakup situs Segaran 2 hingga Segaran 5 sepanjang 120 meter,” kata Osrifoel.
Pada proses ekskavasi tahap kedua ini, rencananya tim akan menggali dan merehabilitasi 30 kotak atau seluas 480 meter persegi. Hasil sementara, peneliti menemukan lantai zaman Majapahit di sebelah selatan PIM. Disamping itu, sebuah tembok selebar 90 sentimeter dengan panjang 1,5 meter ditemukan di sekeliling lokasi PIM.
’’Dugaan kami, tembok-tembok itu bagian dari cluster-cluster (kavling, Red) sheingga ini semakin meyakinkan kami kalau di lokasi ini adalah kawasan hunian,’’ ujarnya. ’’Tapi kalau kawasan hunian biasanya ada jalan-jalan tapi sampai saat ini kami masih belum menemukan,’’ ungkapnya.
Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia mengatakan, proses ekskavasi dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan Jawa Timur dengan pengawasan, perencanaan, dan evaluasi oleh tim rehabilitasi.
Menurut Cecep, pada tahap pertama dibuka 38 grid untuk merehabilitasi bekas-bekas ekskavasi dan pembangunan yang merusak peninggalan bangunan dan struktur permukiman zaman Majapahit di bawahnya.
Ketua tim rehabilitasi, Prof Mundardjito mengungkapkan, proses ekskavasi ini memang akan dilakukan sebanyak empat tahap. ’’Kesimpulannya belum dapat ditentukan, tapi kemungkinan kalau di lokasi ini adalah kawasan hunian sangat besar,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Purbakala, Junus Satrio menjelaskan, proses rehabilitasi ini memiliki dua sasaran yakni PIM sebagai pusat informasi yang benar-benar memberikan informasi bukan hanya sekedar bangunan saja.
Disamping itu, proses ekskavasi ini juga memiliki tujuan untuk rehabilitasi. Untuk target, Junus mengatakan direncanakan lima tahun kedepan PIM bisa dinikmati sepenuhnya bagi kepentingan masyarakat.


Selengkapnya...

Keluh Kesah Petani Menghadapi Kemarau Panjang




KERING: Musim kemarau yang panjang mengganggu kehidupan bercocok tanam petani Mojokerto.



Gagal Panen, Terpaksa Timbun Gabah untuk Tutupi Kerugian

Musim kemarau panjang secara tak langsung menyentuh kebutuhan dapur para petani atau buruh tani. Selain dibayang-bayangi gagal panen, mereka terpaksa mencari alternatif sumber penghasilan lain untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya.

AIRLANGGA, Mojokerto

GERIMIS yang terjadi sore kemarin seakan-akan menjadi berkah tersendiri bagi Sutris, 57. Maklum saja, sudah hampir 10 bulan ini petani yang tinggal di Desa Sawo, Kecamatan Jetis berharap-harap cemas. Kekhawatiran akan gagal panen selalu melanda pikirannya karena musim kemarau berkepanjangan.
Karena hujan yang tidak kunjung selama hampir 10 bulan ini, satu hektare lahan padi miliknya terancam gagal panen akibat kekurangan air. ’’Selama ini saya mengandalkan air irigasi saja, tapi itu belum cukup karena air sungai di sini tidak terlalu banyak. Sumur juga tidak ada airnya kalau musim kemarau. Kebanyakan petani di sini adalah petani sawah tadah hujan,’’ ujarnya.
Sutris mengatakan, kemarau yang datang sejak bulan Januari lalu membuat dirinya dan petani lainnya resah. ’’Bagaimana tidak resah kalau tanah menjadi kering seperti ini,’’ ungkapnya.
Untuk menyiasati, Sutris berusaha mengganti tanaman padi dengan menanam jagung. ’’Kalau menanam jagung di musim kemarau memang lebih untung, tapi karena tanah di sini tidak biasa ditanami jagung jadinya hasilnya tidak sebagus di daerah penghasil jagung,’’ ujarnya.
Selain Sutris, petani lainnya, Syafii juga mengeluhkan musim kemarau berkepanjangan. ’’Mau bagaimana lagi memang sudah kemauan yang diatas seperti ini,’’ ujar petani asal Desa Awang-awang, Kecamatan Mojosari ini pasrah.
Sinar matahari yang menyengat tak mengurungkan niat Syafii menapaki pematang sawah di belakang rumahnya. Tangan terampilnya mulai mengaduk tanah dan mencampurnya dengan air, kemudian dicetak menjadi bata. Itulah aktivitas lelaki 57 tahun ini akhir-akhir ini.
Selama musim kemarau, di tempat tinggalnya bapak dua anak ini beralih pekerjaan menjadi pembuat bata. Kesibukan musiman ini sedikit bisa menjadi penyambung hidup. Syafii menuturkan, seribu batu-bata dihargai Rp 350 ribu.
Ia bersyukur masih ada pemborong yang membeli bata buatannya. Tidak sedikit tetangga yang gigit jari karena bata bikinan mereka tidak laku. ’’Membuat batu-bata memang unik. Selain memerlukan kecekatan, memerlukan juga ketelitian, agar bata tidak mudah pecah,’’ ujarnya.
Sebagai petani tulen, Syafii sangat menggantungkan hidup dari bercocok tanam. Namun, setiap musim kemarau, sawahnya tidak bisa ditanami karena irigasinya sangat tergantung pada air hujan. Kondisi wilayah yang gersang membuat asupan air tidak mudah tersimpan tanah.
Setiap musim hujan Syafii hanya bisa menanami sawahnya dengan padi, jagung, dan ketela pohon. Jika beruntung, terkadang dia mencoba menanam tembakau serta sayuran seperti bayam, cabai, dan mentimun. Memasuki musim kemarau dia tak bisa lagi menanami sawahnya yang kering kerontang.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Syafii menyiasati dengan menimbun gabah yang dipanen. Jika uang dapur tak cukup, Syafii menjual gabah seharga Rp 3.000 per kilogram. Jika masih kurang, tak jarang dia menjual jagung dan ketela pohon yang harganya Rp 750 hingga Rp 2.500 per kilogram.
Syafii mengaku pendapatan turun drastis, terlebih pada musim kemarau ini. Meski tidak menghitung secara pasti, dia memperkirakan pendapatannya tidak seberapa banyak, karena masih harus dikurangi biaya tanam dan panen.
Tahun ini kondisi ekonomi keluarga Syafii memburuk karena sempat mengalami gagal panen. Padi di dua petak sawahnya gagal panen, karena kekurangan air. Dia pun menanggung rugi sekitar Rp 500 ribu.
Pohon-pohon mangga Syafii juga terancam gagal panen, karena musim semakin tidak menentu. ’’Mestinya pohon mangga sudah mengembang. Kalau telat, keburu musim hujan datang lagi. Kalau sudah begitu, ya harus ikhlas merugi lagi,’’ ujarnya.
Nasib yang jauh lebih buruk dialami Mulyono, tetangga Syafii. Pria yang memiliki empat anak ini harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih dia hanya buruh tani. Dalam keseharian, Mulyadi yang sederhana ini berusaha mencari tambahan rezeki dengan menawarkan diri kepada siapa saja yang memerlukan tenaganya.
Bagi Mulyadi, musim kemarau tak ubah panas neraka yang sangat menyiksa. Sebagai buruh tani di daerah yang kering, dia harus beralih pekerjaan sebagai buruh lainnya. Bahkan tidak jarang dia merantau ke luar kota atau bahkan luar pulau untuk mencari pekerjaan sampingan.
’’Bagi orang seperti saya, kerjaan apa saja ndak masalah. Apalagi saya hanya tamatan SD,’’ buruh tani yang mengaku berasal dari Lamongan ini.
Pekerjaan yang dijalani Mulyadi pun beraneka ragam. Mulai dari tukang tebon (penebang tebu), tukang angkut kayu, pembuat bata, hingga kuli bangunan. Semua itu dilaluinya dengan senyum, meski dengan bercucuran keringat. Istri Mulyadi, Saripah juga ikut membantu mencari tambahan penghasilan.
Beragam pekerjaan dijalani Saripah. Mulai dari pembantu rumah tangga hingga buruh penebang tebu dengan gaji yang sangat kecil. Meski harus kerja keras, Saripah iklas menjalankan pekerjaannya. ’’Yang penting anak saya bisa makan,’’ ungkapnya.
Syafil dan istrinya berharap musim kemarau cepat berlalu sehingga dia bisa kembali menggarap lahan pertanian. ’’Kalau ada garapan bisa menambah uang untuk makan dan biaya sekolah anak-anak saya,’’ ungkapnya.
Bagi sebagian petani lainnya, musim kemarau justru tidak membuat mereka merugi. Mereka adalah petani yang menanam tanaman dimusim kemarau seperti tanaman tebu. ’’Kalau musim kemarau sekarang ini tidak terlalu berpengaruh untuk tanaman tebu, buktinya sekarang baru panen dan mulai menanam lagi,’’ ungkap Sistoyo, 40, petani asal Desa Tanjung, Kecamatan Kemlagi.

Selengkapnya...

Suka Duka PKL Joko Sambang Raup Rezeki Lebaran





Banyak Pencuri Berkeliaran, Tetap Laris karena Ikuti Mode

Lebaran adalah saat-saat para pedagang PKL di kawasan Joko Sambang kebanjiran rezeki. Betapa tidak, setiap harinya, banyak warga datang ke kawasan wisata niaga ini untuk berburu pakaian murah.

AIRLANGGA, Mojokerto



HIRUK-PIKUK lalu lintas di jalanan selebar empat meter sangat terasa di saat hari menjelang sore. Lalu-lalang sepeda motor dan sepeda adalah pemandangan biasa di kawasan ini. Pengendara motor yang melintas di kawasan ini memang dituntut memiliki kesabaran yang tinggi.
Maklum saja, kawasan ini memang sengaja diperuntukkan bagi mereka yang ingin melihat-lihat barang murah.
Namun, sesekali terdengar suara klakson sepeda motor bagi pengendara yang salah pilih jalan. Di sepanjang jalan, suara pedagang menawarkan pakaiannya sangat terdengar jelas. Suara khas pedagang kaki lima yang mencoba mendapatkan peruntungan bagi pengunjung yang melintas.
Langit semakin sore menjelang kaum muslimin berbuka puasa. Perlahan, sepanjang jalan Joko Sambang mulai menampakkan denyut ekonomi. Di pusat PKL pakaian kelas menengah ke bawah itu mulai dikerubungi pembeli yang rata-rata mengendarai roda dua. Sisa lebar jalan yang tinggal sekitar 4 meter itu mulai menyempit lantaran banyaknya kendaraanyang lalu-lalang.
Semakin malam, jalan itu semakin sempit saja. Karena tak hanya melintas, ratusan roda dua ini malah berhenti di depan ratusan kios pakaian yang menjual beragam jenis dan harga itu. Satu per satu kios para pedagang dengan gemerlap lampu ini mulai dipenuhi pembeli, yang rata-rata kalangan muda.
Bagi kalangan muda, kawasan Joko Sambang memang akrab. Di tempat inilah mereka bisa melampiaskan hasrat ’’bergaya’’ dengan tanpa merogok kocek dalam-dalam. Betapa tidak, dengan hanya uang sebesar Rp 15 ribu saja, mereka sudah bisa mendapatkan sebuah kaos yang beraneka desain.
Tak hanya kaos, sejumlah celana jins merek lokalan juga banyak dijual di sini. Beberapa kios juga menjual celana bermerek namun dengan harga bersahabat. Entah karena barang yang dijual itu adalah produk gagal, atau produk ’’sulapan”. Yang jelas, di lokasi ini bisa memenuhi semua kebutuhan fashion kalangan muda.
Banyaknya pengunjung menjelang Lebaran seperti ini, tentu menjadi berkah bagi ratusan pedagang. Omzet mereka bisa naik hingga tiga kali lipat dari hari-hari biasa. ’’Kalau pengunjung paling ramai sekitar pukul 4 sore sampai magrib, pasti banyak anak muda yang datang membeli baju Lebaran,’’ ujar Sulistiono, salah satu pedagang kaos khas anak muda.
Namun dalam kondisi ini, para pedagang juga merasa waswas. Ada bahaya yang mengancam berkurangnya laba mereka dari berjualan pakaian itu. ’’Banyak yang laku, tapi banyak juga pakaian yang hilang,’’ celetuk Sulistiono, pedagang asal Kecamatan Dlanggu.
Dia menjelaskan, pada puncak membeludaknya pembeli, mulai magrib hingga pukul 21.00, pengawasan di kiosnya mulai melemah. Itu lantaran banyaknya pembeli yang mengunjungi kiosnya.
Kondisi inilah yang membuka lebar kesempatan bagi pencuri pakaian. ’’Yang menjaga kios hanya saya dengan adik saya. Sementara pembelinya memenuhi kios yang sempit ini,’’ tukasnya.
Sejauh ini, dia memang tak pernah menangkap tangan para pencuri pakaian itu. Hilangnya sejumlah stok barang ini, diketahui saat ia menghitung jumlah uang yang didapat. Setiap hari, ia harus kebingungan mencocokkan jumlah uang dan pakaian yang laku.
’’Pasti ada saja satu atau dua pakaian yang hilang setiap harinya. Ini juga dialami teman-teman saya yang lainnya,’’ ujarnya.
Ia sendiri mengaku tak bisa berbuat banyak, mengingat kesibukannya melayani pembeli yang membeludak. ’’Kami tak punya satpam yang bisa mengawasi. Pengawasannya memang lemah,” tukas pedagang yang sudah puluhan tahun berbisnis pakaian kelas menengah ke bawah ini.
Kondisi yang sama juga diungkapkan Darmawan pedagang lainnya. Ia pernah sempat menghitung berapa potong pakaian yang raib tanpa rupiah. ’’Pernah sampai sepuluh potong kaos dan celana. Kami sendiri juga tak tahu kelompok mana yang jahil itu,” kata Darmawan.
Darmawan dan pengunjung lainnya hanya berharap adanya kesigapan petugas yang membantu mereka. ’’Dulu sempat ada pencuri yang tertangkap. Tapi kami lepaskan karena kasihan. Pencuri itu juga karena tidak memiliki uang,’’ terangnya.
Namun, pencuri yang belakangan mencuri di kawasan Joko sambaing ini menurutnya dilakukan secara berkelompok. ’’Pasti ada yang mengkoordinir. Tidak mungkin kalau beraksi sendirian,’’ ungkapnya.
Meski demikian, para pedagang tidak sampai rugi banyak jika melihat banyaknya pengunjung di kawasan Joko Sambang. Salah seorang pengunjung, Fitriana, 19, mengatakan, dia memang sengaja datang kekawasan Joko Sambang untuk mencari baju lebaran nanti. ’’Harga di sini bisa ditawar setengah harga dari yang ditawarkan penjual. Kualitas dan modelnya juga baru-baru,’’ ujarnya yang ditemani teman prianya.
Basuki, pengunjung lainnya mengatakan, mode pakaian yang ditawarkan di sini juga tidak ketinggalan. ’’Kebetulan saya mencari jaket seperti vokalis ST 12. Di sini banyak yang jual,’’ ujar pemuda berusia 18 tahun ini malu-malu.

Selengkapnya...

Aktivitas Ramadan Bersama Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) SDLB Mojosari





Guru Dituntut Sabar, Selalu Ribut dan Berlarian saat Ceramah

Banyak kegiatan yang bisa diisi selama bulan Ramadan ini. Hal tersebut juga dilakukan oleh anak-anak SDLB Seduri, Mojosari. Meskipun riuh rendah, namun anak berkebutuhan khusus (ABK) SDLB ini antusias mengikuti acara kegiatan di bulan suci.

AIRLANGGA, Mojosari



KECERIAAN sangat terasa di halaman SDLB Seduri Mojosari kemarin. Puluhan anak-anak berusia sekitar 7 hingga 12 tahun tampak rapi memakai busana muslim. Mereka tampak senang dengan pakaian yang dikenakannya karena tidak setiap hari anak-anak ini mengenakan pakaian muslim. Ada yang merasa senang sambil memamerkan kepada teman-temannya, ada pula yang masih risih saat seorang siswi mengenakan jilbab.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00. Sekitar 130 anak-anak mulai memasuki satu ruangan kelas. Di sana, mereka duduk bersila. Meski para guru menyuruh untuk tenang, namun satu dua siswa masih tampak bersenda gurau. Saat anak yang ramai didekati seorang guru, barulah suasana mulai tenang.
Saat itulah Mashudi, salah seorang pengajar mulai masuk kelas. ’’Semuanya puasa tidak? Siapa yang tidak puasa?’’ sapa Mashudi kepada anbak didiknya yang dijawab,’’Yaaa...!’’ secara serentak.
’’Kalau puasa kok masih ada yang minum di sana,’’ ujarnya sambil menunjuk ke salah soerang murid yang tampak asyik menikmati minuman susu kotak. Suasana pun semakin cair saat tawa anak-anak ini terdengar.
Mashudi mulai menyampaikan materinya tentang syarat sah puasa bagi muslim. ’’Coba tebak, apa syarat sah yang pertama,’’ tanyanya kepada anak-anak. Dengan gaya yang kocak, Mashudi mulai menjelaskan syarat sah berpuasa mulai pertama hingga akhir.
Di setiap materi yang disampaikan, selalu disampaikan dengan gaya kocak hingga dengan mudah dicerna. Suara tawa anak-anak semakin kencang terdengar saat Mashudi memasukkan tas salah seorang siswa ke dalam perutnya.
’’Kalau perempuan hamil tidak wajib berpuasa, betul tidak?’’ tanyanya sambil memeragakan perempuan yang sedang hamil. Begitu juga saat Mashudi memeragakan gaya orang mabuk. Dengan berjalan sempoyongan ke arah para murid, Mashudi memberikan pesan kalau orang yang puasa haruslah yang berakal sehat. ’’Kalau mabuk tidak boleh puasa,’’ ujarnya yang disambut tawa anak-anak.
’’Untuk menyampaikan pesan kepada murid-murid memang harus seperti itu, kalau perlu diperagakan dengan bahasa tubuh karena di sini juga ada siswa yang tunarungu,’’ terang Mashudi. Selain dengan metode pembelajaran tersebut, parea guru juga dituntut untuk sabar.
’’Mereka ini siswa yang bisa diajak komunikasi tentunya dengan cara yang berbeda dengan anak-anak lainnya,’’ ungkapnya.
Selama bulan puasa, SDLB memamg memberikan pembelajaran agama Islam intensif kepada para siswanya. Pada praktiknya, kegiatan ramadhan ini dilaksanakan selama lima hari mulai Selasa (8/9) hingga Sabtu (12/9).
Materi yang diajarkan beragam mulai baca Alquran hingga ceramah. Mashudi mengakui, anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ditangani memiliki kemampuan terbatas dalam menamatkan puasa. Namun yang menjadi target penanaman ilmu agama terhadap ABK tersebut setidaknya anak mengenal teknis puasa yang diawali dengan makan sahur dan diakhiri dengan berbuka.
’’Selain itu amalan-amalan yang harus dilakukan selama berpuasa,’’ ujarnya. Menurut Mashudi, kegiatan ini sengaja dilakukan untuk memberikan pelatihan, motivasi dan pencerahan bagi siswa SLB.
Para peserta yang mengikuti kegiatan ini sekitar 130 anak. Mereka terdiri dari 4 siswa penyandang tunanetra, 39 siswa penyandang tunarungu-wicara, 74 siswa penyandang tunagrahita dan 11 siswa penyandang tundadaksa.
’’Beberapa kegiatan dalam Pondok Ramadan tahun ini dengan menghadirkan beberapa pembimbing yang memang piawai di bidangnya,’’ ujar Mashudi. Dengan penuh semangat, para siswa kemudian dibagi kedalam beberapa kelompok sesuai dengan tingkat pendidikan masing-masing untuk mengikuti sejumlah kegiatan bersama beberapa pembimbing yang sudah dipersiapkan.
Beberapa kegiatan bernuansakan Islami, mulai dari belajar salat, menghafal Alquran, sampai dengan belajar membaca Alquran dihadirkan dan wajib diikuti oleh siswa-siswa.
Meski tidak mudah, para guru berupaya menjelaskan materi-materi keagamaan kepada 130 orang siswa SLB. Materi keagamaan lebih mengedepankan kebersamaan dan kepercayaan.
Diharapkan, setelah kegiatan ini, kepercayaan diri para siswa SLB ini dapat meningkat, sehingga mereka dapat menyongsong kehidupan lebih cerah. ’’Kegiatan ini memang diperuntukkan siswa-siswa cacat netra. Kami berharap dimasa depan nanti, mereka punya sedikit bekal tentang pelajaran agama. Selain itu, kami juga ingin memberikan anak-anak pelajaran agama dengan praktik secara langsung,’’ ujar Mashudi. Dia menambahkan bahwa kegiatan serupa tahun lalu pernah digelar dan diikuti juga oleh seluruh siswa.
Meskipun diselenggarakan setiap tahun namun selalu ada yang menarik, dan mengesankan di setiap kegiatan. Pengejaran beberapa anak yang malas mengikuti kegiatan, selalu ada saja alasan yang diungkapkan.
Ada yang bersembunyi, pulang, atau berputar saja mengelilingi sekolah hingga akhirnya selesai kegiatan. Namun didalam banyak juga siswa bersemangat, dan gembira mendengarkan nasehat yang disampaikan guru, meskipun terkadang bermain atau bicara sendiri.
Mereka senang mengikuti salat berjamaah, meskipun sambil tengok kanan kiri, atau saling mendorong. Demikianlah, mengajar anak berkebutuhan khusus merupakan sebuah seni yang butuh perasaan, kasih sayang, ketrampilan, juga ilmu.





Selengkapnya...