4.11.2009

Saat Pemilih Tunanetra Ikut Nyontreng Pemilu 2009





Tak Ada Kertas Braille, Bingung di TPS, Pilih Pulang

Pemilu 2009 ini rupanya juga mengundang antusias pemilih tunanetra di Mojokerto ikut berpartisipasi. Banyak kendala yang dialami para penyandang tunanetra ini saat memilih calon wakil rakyat.


AIRLANGGA, Mojokerto



SEJAK pagi, Heru sudah bersiap di ruang tamu menunggu orang tuanya yang masih bersiap diri. Dengan raut muka yang datar, Heru tampak tenang duduk di sudut sofa. Hari itu, merupakan kali pertama pemuda berusia 22 tahun ini mengikuti pemilihan umum (pemilu) sepanjang hidupnya.
Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Heru mulai beranjak setelah dituntun oleh Suyono, 49, Heru mulai melangkahkan kakinya melewati gang sempit. Sepanjang satu kilometer, Heru dan ayahnya berjalan menuju TPS 4 yang ada di Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Mojosari.
Selama perjalanan, Heru terlihat sudah hafal dengan jalan yang dilaluinya meski ia berjalan tidak lebih cepat dari orang kebanyakan.
Setelah kurang lebih sepuluh menit berjalan, sampailah Heri di sebuah tanah lapang yanga da di sebelah rumah warga. Di sana, tenda berwarna biru terpasang dengan papan bertuliskan TPS 4 berdiri di depannya.
Heru dan ayahnya langsung disambut petugas Linmas yang berpakaian lengkap serbahijau. Layaknya penerima tamu, petugas Linmas berusia sekitar 50 tahun tersebut meminta surat undangan yang dibawa Heru.
Setelah diberikan, Heru pun dituntun menuju kursi lipat yang ada di sebelah timur. Di sana, ia disuruh menunggu namanya disebut oleh panitia yang sudah menerima surat undangan dari Heru.
Dengan sabar sambil duduk dikursi, Heru mulai mendengarkan satu persatu nama warga yang dipanggil. Ia masih menunggu namanya dipanggil oleh panitia.
Tidak beberapa lama kemudian, tibalah nama Heru dipanggil melalui pengeras suara. Saat Heru mulai beranjak dari kursinya, tampak panitia terlihat kebingungan bagaimana cara Heru memilih sesuai prosedur.
Terdengar suara diskusi antara panitia disebelah kanan meja panitia. Namun diskusi tersbeut tidaklah berlangsung lama. Kesepakatan antara panitia dan saksi-saksi pun sudah dibuat.
Akhirnya, dengan didampingi seorang panitia yang ditunjuk, Heru masuk ke dalam bilik suara. Di sana, ia mulai mencontreng calon legislatif yang dipilihnya menggunakan tinta merah.
’’Saya memang sudah mempunyai calon yang saya pilih sebelumnya,’’ ujar pemuda yang menyandang tunanetra sejak berumur empat bulan ini. Pemuda yang mencoba memulai usaha memijat di rumahnya ini pun menceritakan, meski ia tidak bisa melihat, tapi ia bisa mengetahui calon-calon mana saja yang menurutnya pantas dipilih.
’’Sekarang ini banyak media yang bisa digunakan untuk mengenal calon wakil rakyat, seperti televisi atau pun radio,’’ ujarnya. ’’Saya memilih calon yang terkenal dan menurut saya bisa mengubah bangsa,’’ katanya.
Banyak hambatan bagi Heru saat mengikuti proses pemilu. Ia mengeluhkan, tidak disediakannya surat suara dengan huruf braille yang bisa dibaca oleh penderita tunanetra. Namun ia juga berterima kasih kepada panitia yang mengantar ia menuju bilik suara.
Heru adalah salah satu diantara sekian penderita tuna netra yang memberikan hak pilihnya.
Penderita tunanetra lainnya, Muhammad Muslich, 20, mungkin sedikit beruntung. Dia terbantu karena di TPS Dusun Pandansari, Desa Sumberagung, Kecamatan Mojosari tempat ia memilih, panitia sudah menyediakan surat suara bertuliskan huruf braille sehingga Muslich bisa membaca nama calon yang dipilihnya.
’’Tapi yang ada huruf braille hanya kartu DPD, sedangkan kartu DPR dan DPRD kartu biasa,’’ ujarnya. Berbeda dengan Heru yang harus didampingi panitia saat memilih, Muslich mengaku dirinya tidak didampingi karena ia merasa bisa melakukan sendiri.
Pemuda yang mahir bermain organ ini mengaku, banyaknya partai dan anggota calon legislatif sempat membuatnya bingung dalam memilih. Tapi ia sebenarnya sudah memiliki calon yang akan dipilihnya. ’’Ya tidak mungkin saya beritahu, karena kan rahasia,’’ ujarnya.
Hal senada juga dialami oleh Agung Prasetyo, 19. Pemuda penyandang tunanetra ini juga mengaku, tidak mendapatkan huruf braille saat memilih. Tapi, ia didampingi salah satu panitia. ’’Untungnya ada panitia yang membantu mencontrengkan caleg yang saya minta,’’ katanya.
Berbeda lagi dengan Eko Prasetyo, 18. Pemuda yang berasal dari Desa Penompo, Jetis ini secara terang-terangan mengaku tidak memilih karena merasa bingung akibat banyaknya pilihan di kartu suara. Padahal, ia sendiri sudah hadir dan masuk di bilik suara. ’’Karena bingung, akhirnya saya pulang saja,’’ katanya sambil sedikit tersenyum. Saat dibilik suara, ia sendiri tidak mendapatkan surat suara dengan huruf braille, tapi ia mengaku didampingi oleh panitia.
Eko juga mengaku sebelumnya tidak pernah mengikuti sosialisasi pemilu sehingga ia sendiri kebingungan saat memilih di bilik suara
Sementara itu, Ketua PPK Mojosari, Musafir mengatakan, bagi pemilih penyandang tunanetra yang didampingi panitia pemilih sudah sesuai prosedur. ‘’Sebenarnya di tiap PPS disediakan surat suara bertuliskan huruf braille, tapi surat suara tersebut hanya untuk memilih DPD saja, sedangkan DPR RI dan DPRD surat suara biasa,’’ terangnya.
Dijelaskannya, seharusnya Ketua RT atau perangkat desa setempat melakukan pendataan pemilih yang memiliki penyandang tunanetra. ’’Setelah itu dilaporkan ke PPS setempat untuk meminta surat suara huruf braille,’’ ujarnya.

Tidak ada komentar: