(Pasangan muda-mudi yang memilih tempat aman untuk pacaran)
Disorot Lampu, Pacaran di Atas Motor Tetap Cuek
Kawasan Rolak Songo di Sungai Brantas memang tempat yang mengasyikkan untuk refreshing. Tak jarang ada juga mengajak keluarga mereka menghabiskan waktu di tempat tersebut. Namun, tak sedikit anak muda yang menjadikannya ajang berpacaran.
AILRANGGA, Mojokerto
SUASANA sejuk terasa saat menginjakkan kaki di kawasan Rolak Songo yang berada di Desa Lengkong, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto. Di desa yang juga perbatasan antara Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Sidoarjo ini, adalah jujugan warga sekitar untuk mengajak anak-anak mereka menikmati angin semilir.
Sebuah warung juga berdiri di depan sebuah bangunan tua yang berada tepat di utara Sungai Brantas. Warung beraneka minuman tersebut memang selalu ramai dikunjungi orang yang sekadar ingin melepas penat sambil melihat pemandangan sungai di sore hari.
Namun, sebagian mengaku warga merasa risih jika mendatangi kawasan yang diharapkan sebagai tempat wisata ini pada siang hari ataupun pada malam minggu. Mereka enggan pergi ke tempat ini apalagi mengajak anak-anak mereka. ’’Ya bagaimana, di sini banyak anak-anak pacaran, ndak mungkin mengajak keluarga main-main ke sini,’’ terang Sumiarti, 35, warga Desa Lengkong.
Memang, pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini memang selalu dijadikan ajang berpacaran. Selain itu, pada siang hari sekitar pukul 09.00 hingga 12.00, sekumpulan anak-anak muda berseragam SMA dan SMP kerap nongkrong di sekitar Rolak Songo baik sisi utara maupun selatan sungai.
Seperti kemarin, sekumpulan anak-anak berseragam SMA tampak duduk-duduk di salah satu bangunan tua yang tidak terawat. Sambil menikmati isapan rokok, anak-anak SMA ini tampak terlihat tertawa lepas. Tidak ada beban di benak mereka, padahal saat itu jam pelajaran sekolah. ’’Kalau duduk-duduk di sini memang tidak akan ketahuan, selama ini tidak pernah ada razia,’’ ujar Slamet, salah satu pelajar asal Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo.
Dia bersama kelima temannya terkadang menghabiskan waktu pada jam pelajaran sekolah di kawasan ini. ’’Kalau gurunya tidak enak ya lebih baik kabur, biasanya ke sini kalau tidak bermain PS,’’ terang Rohman, pelajar lainnya.
Miris ungkapan ini cukup pas untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di jalan tembus menuju Kota Mojokerto, akhir-akhir ini. Jalan yang seharusnya digunakan warga sebagai alternatif untuk menuju Kota Mojokerto kini beralih fungsi jadi ajang pacaran, serta rawan kejahatan pemerasan dan penodongan.
Hampir setiap malam, usai salat isya, jalan tembus itu dipenuhi pasangan muda-mudi yang tengah kasmaran. Mulai dari para ABG hingga ’’om-om’’, tumplek berpacaran di tempat itu.
Bahkan, model pacaran yang kebablasan kerap ditunjukkan pasangan-pasangan itu, di atas motor atau lesehan di semak-semak.
Dari pantauan Darmo, khusus saat malam minggu, pasangan muda-mudi yang berpacaran di tempat itu semakin banyak, bahkan mencapai sekitar 20 pasang. Pada dua sisi jalan, berderet motor-motor dari ujung barat hingga timur, jaraknya antara satu hingga dua meter.
Tempat tersebut memang menjadi kegemaran para ABG untuk berpacaran. Pasalnya, di sepanjang jalan itu, tak ada penerangan satu pun, sehingga mereka bisa melakukan tindakan apa pun dengan leluasa.
Selain itu, pemandangan Rolak Songo dengan latar belakang Sungai Brantas dan pintu airnya di waktu malam, menjadi daya tarik tersendiri.
Namun, para pasangan kasmaran ini, terkadang kebablasan. Dalam kegelapan, pasangan itu melakukan tindakan diluar norma kesusilaan. Mereka terlihat berpelukan dan berciuman, di atas motor maupun di semak-semak yang ada di sepanjang jalan. Jika malam hari, ketika disorot lampu mobil, keasyikan pasangan di atas motor tak terusik, bahkan semakin erat berdekapan.
’’Di tempat itu, memang setiap malam banyak yang pacaran. Apalagi, kalau malam minggu, mereka berderet-deret di pinggir jalan. Sudah menjadi hal biasa di tempat itu,’’ kata Toni, warga sekitar.
Kondisi ini memang sudah lama terjadi. Selama ini, bahkan kondisi ini dimanfaatkan beberapa pedagang asongan di wilayah ini mengintip ulah pasangan muda-mudi. ’’Sampean sudah ketinggalan Mas, kalau tanya masalah ini. Sudah lama di tempat ini jadi ajang pacaran bahkan ciuman. Biasanya malah di atas motor,’’ terang Mahmud, penjual es tebu yang sudah setahun berjualan di lokasi itu.
Budi Suryawan, salah seorang guru yang hobi memancing ikan ini juga mengaku miris dengan ulah para ABG di kawasan ini. Padahal, jika waktu libur, dia sering memanfaatkan waktunya memancing di kawasan Sungai Brantas. ’’Tapi untungnya saya tidak pernah menemukan murid saya berada di sini,’’ terang guru SMP di kawasan Tarik Sidoarjo ini.
Selengkapnya...
7.30.2009
Mengintip Kisah-Kasih Pinggir Sungai Brantas
7.16.2009
Melongok Budidaya Jamur Konsumsi di Gondang, Kabupaten Mojokerto
Manfaatkan Serbuk Gergajian untuk Media Pengembangan
Dewasa ini budidaya jamur konsumsi telah mendapatkan tempat tersendiri di kalangan petani Desa/Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto. Hasil budidaya jamur ini sangat menjanjikan dari segi ekonomis dan manfaatnya. Bagaimana cara pembibitan dan budidaya jamur tersebut?
AIRLANGGA, Mojokerto
LANGGAM dangdut dari sebuah radio tua mengiringi enam pekerja perempuan di sebuah gudang budidaya bibit jamur di Desa/Kecamatan Gondang. Keenam perempuan dengan mengenakan kaos dan penutup kepala tampak serius membungkus butiran-butiran jerami ke dalam plastik atau yang biasa disebut polybag. Para pekerja perempuan ini memang sedang serius membuat bibit jamur melalui media serbuk kayu.
’’Pekerja di sini seluruhnya ada dua puluh lima orang, delapan pria dan tujuh belas perempuan,’’ terang Sutris, pekerja asal Desa Padi, Kecamatan Gondang.
Menurut pria berusia 28 tahun ini, jamur adalah salah satu bahan makanan yang bergizi tinggi nonkolesterol. Dalam budidayanya, jamur merupakan tanaman yang ditanam dengan temperatur, kelembaban dan ventilasi yang terkontrol.
Pengembangan teknik budidaya ini dipermudah dengan menggunakan bibit sebar dengan media yang mudah dan murah. Alat press dan alat sterilisasi direkayasa sendiri sehingga mudah dilaksanakan dengan hasil yang baik.
Untuk bertani jamur konsumsi ini tidaklah
sulit, batangan kayu dihaluskan dan diambil serbuknya. Serbuk hasil gergajian tersebut harus direndam atau disiram dengan air terlebih dahulu selama 15 hari, untuk menghilangkan kandungan minyaknya.
Memang, tidak sembarangan kayu bisa dijadikan pembibitan sebuah jamur konsumsi. Melainkan harus bisa memilih kayu yang tidak banyak mengandung minyak, seperti kayu mauni dan sengon laut.
Setelah direndam selama 15 hari serbuk-serbuk halus tersebut dimasukkan dalam sebuah kantong plastik ukuran 1 kilogram. Serbuk tersebut dipadatkan dan diberi lubang tengahnya untuk pertumbuhan jamur. Lalu serbuk yang sudah dipadatkan tersebut ditutup dengan kapas dan dimasukkan dalam sebuah gudang oven dengan suhu tertentu selama 24 jam.
Dan selanjutnya akan dibagikan kepada para kelompok tani. Oleh para petani, bibit-bibit jamur akan ditempatkan pada sebuah tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Jamur itu sendiri akan mulai tumbuh di usia 40 hari.
Salah seorang petani jamur, Achmad Badrowi, 40, mengungkapkan, dari hasil pembibitan tersebut dapat diperoleh tiga jenis jamur seperti jamur lingsi/jamur kuping serta jamur hitam putih. Jamur ini selain dapat dijadikan sayuran dapat pula dijadikan obat-obatan serta tidak mengandung bahan kimia. Dia juga mengungkapkan, jamur memiliki banyak khasiatnya.
’’Biasanya orang mengonsumsi jamur bukan hanya lantaran rasanya yang lezat, tetapi juga karena alasan lain, yakni manfaat dan khasiat yang terkandung di dalamnya,’’ ungkapnya. Bisa disebut, faktor khasiat dan manfaat inilah yang menjadi prioritas konsumen jamur.
Tujuannya tentu saja demi kesehatan tubuh atau hal lain yang berkaitan dengan vitalitas. Tidaklah mengherankan jika berbagai jenis jamur kini menjadi bagian dari menu favorit di sejumlah rumah makan.
Dari hasil penelitian, jamur yang biasa dimakan rata-rata mengandung 14-35 persen protein. Dibandingkan dengan beras (7,38 persen) dan gandum (13,2 persen), jamur berkadar protein lebih tinggi.
Secara umum, jamur termasuk dalam jenis sayuran yang mengandung sedikit sekali protein dan hidrat arang, seperti halnya kangkung, ketimun, kool, kembang kool, tauge, sawi. ’’Karena kandungan kalorinya rendah, jamur boleh dimakan sekehendak atau bebas tanpa memperhitungkan banyaknya,’’ ungkap Widodo petani lainnya.
Menurutnya, jamur konsumsi, yang berkembang dibudidayakan hingga saat ini adalah jamur jenis tiram putih, coklat dan merah muda. Jamur ini, tumbuh di kayu yang mengalami pelapukan atau yang sudah mati, tumbuh pula di ilalang, sampah tebu dan sampah sagu.
Jamur tersebut tidak beracun dan boleh dimakan. Jamur yang tergolong beracun dan tidak dapat dikonsumsi, lanjutnya, jika jamur tiram misalnya, tumbuh di kayu yang masih hidup, tumbuh di bangkai, kotoran ayam atau binatang ternak.
’’Jika termakan, jamur jenis ini akan menyebabkan keracunan dan dalam konsentrasi racun tinggi dan bisa menyebabkan kematian,’’ ujarnya.
Ciri-ciri jamur beracun antara lain, umumnya tangkai payungnya bergelang atau terdapat lingkaran menyerupai cincin. Tapi, katanya, tidak semua yang bergelang merupakan jamur beracun. Selain itu, aroma jamur akan terasa berbau sangat tajam, jika dipotong terdapat cairan kekuning-kuningan dan berlendir. ’’Jika terdapat tanda-tanda tersebut, sebaiknya jamur ini jangan dikonsumsi,” katanya.
Sutikno, petani lainnya mengungkapkan, untuk saat ini kendala utama yang paling dirasakan oleh para petani jamur adalah kurangnya dana. Mereka berharap kepada pemerintah daerah setempat memberikan bantuan dana maupun penyuluhan, sehingga para petani bisa mengembangkan lebih baik lagi budidaya jamur konsumsi
Selengkapnya...
7.09.2009
Pak Sabar, 33 Tahun Tetap Sabar Jadi Tukang Cukur Keliling
Pilih Mencukur karena Jadi Buruh Tani Upahnya Lebih Kecil
Bagi Sabar, menjadi tukang cukur keliling memang melelahkan. Meski tidak berpenghasilan besar, namun pria berusia 70 tahun ini tetap sabar sesuai namanya menjalani pekerjaan yang sudah digelutinya selama 33 tahun itu. Bagaimana suka dukanya?
AIRLANGGA, Mojokerto
SIANG itu, sekitar pukul 11.00, Sabar duduk-duduk santai di bawah pohon rindang yang berada di tepi jalan raya Bangsal. Tatapannya menatap jauh ke arah jalan raya seakan-akan mengharap kedatangan pelanggan setianya yang ingin menggunakan jasanya sebagai tukang potong rambut keliling.
Sesekali mengisap dalam-dalam rokok kretek yang menjadi ciri khasnya, Sabar menyiapkan sebuah kotak mungil yang sudah dimodifikasi menjadi berbentuk tas. Di dalam tas inilah alat-alat miliknya yang menjadi andalan untuk mendapatkan uang.
Hanya beberapa saat, seorang pria berusia sekitar 70 tahun mendatangi Sabar. Tampak keakraban diantara keduanya yang seusia sepantaran. Pria tadi, selain teman dekat Sabar, juga pelanggan setianya yang selalu meminta jasa pak Sabar memotong rambut yang tamak beruban.
Disiapkannya tempat duduk lipat kecil di samping kiri motor Honda Astrea tahun 1995 yang dibelinya beberapa tahun lalu. Sembari mengobrol, Pak Sabar menyiapkan alat-alat mencukur yang diletakkannya di dalam tas.
Sebuah kursi pendek dan tas berukuran mungil berisi peralatan cukur kuno seperti, gunting dan pisau cukur dan alat kodok-kodok menjadi teman setia Sabar yang hanya mengecap pendidikan di Sekolah Rakyat (SR)- setingkat SD saat zaman Belanda-ini.
Dengan bangganya Sabar memperlihatkan alat-alat cukurnya ketika koran ini penasaran apa isi tas kumal yang setiap hari ia bawa. Satu per satu alat cukur yang usianya sudah tua itu dijajar di atas kursi kursi motornya.
’’Kalau tidak ada alat-alat ini, saya tidak bisa cari makan. Alat inilah yang membuat saya masih bertahan hidup sampai saat ini,’’ kata Sabar yang mengaku tak menyangka profesinya sebagai tukang cukur keliling akan menjadi pekerjaannya hingga akhir hayatnya.
Dengan terampil, kedua tangannya mencukur rambut temannya hingga tipis. Sembari mencukur, Pak Sabar selalu mengajak bicara pelanggannya. Sosok seperti inilah yang membuat Pak Sabar tidak kehilangan pelanggan.
Karena dengan mengajak ngobrol, ada kedekatan antara dia dan pelanggannya. Pelangggan pak Sabar juga tidak hanya dari kalangan orang tua saja. Banyak anak-anak muda yang senang menggunakan jasanya.
Hanya berselang lima belas menit, potongan rambut tipis sepanjang setengah sentimeter ala Pak Sabar pun rampung. Pak Sabar pun memberikan kaca kecil berwarna hijau untuk memperlihatkan hasil potongannya kepada temannya itu. Senyum pelanggan setia pun mengembang sembari memberikan uang Rp 3.000 kepadanya.
Bagi Pak Sabar, menjadi tukang cukur bukan hanya sekadar untuk menyambung hidup, tetapi juga keinginannya untuk terus menambah pahala. Biasanya, jika ada yang cukur dan tidak punya uang, diikhlaskan. ’’Bahkan, kalau uangnya hanya Rp 1.000, saya terima saja,’’ kata Sabar.
Sabar mengaku tidak ada yang perlu dipikirkan dalam hidup ini. Semua orang memiliki peran masing-masing. Ada yang berperan di kantoran, di pelabuhan, di kampus dan di terminal. Tapi, ada juga orang seperti dia yang punya peran untuk urusan rambut.
’’Coba bayangkan kalau tidak ada tukang cukur keliling seperti saya, tentu orang yang ingin sekali rambutnya dicukur dan pada saat yang sama tidak ada tukang cukur, otomatis, jasa saya akan digunakan,’’ kata Sabar yang mengaku tetap bangga dengan pekerjaannya saat ini.
Walau pendapatannya tak menentu dalam sehari, kadang antara Rp 8.000, hingga Rp 30 ribu, ternyata Sabar masih bersyukur dengan apa yang ia miliki. Sebelum menjadi tukang cukur keliling, Sabar pernah menjadi buruh sekitar awal tahun 1960-an.
Namun, tahun 1966 ia memilih menjadi tukang cukur karena pendapatan menjadi seorang buruh relatif kecil dan pekerjaannya sangat berat. Apalagi, Sabar memang memiliki kemampuan mencukur. ’’Dulu kalau mencukur saya harus berjalan kaki, belum ada sepeda motor seperti ini,’’ ujarnya.
Sabar juga pernah berkeinginan memiliki kios untuk usaha cukurnya. Namun, Sabar merasa akan kalah saingan dengan tukang cukur lainnya karena peralatan mereka lebih modern. ’’Di desa saya saja sudah ada dua tukang potong rambut yang memiliki alat cukur listrik,’’ terang pria yang tinggal di Desa/Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto ini.
Tapi, Sabar sebenarnya ingin sekali memiliki tempat cukur rambut yang tetap. Apalagi, di usianya yang sudah kepala 7, tenaganya sudah mulai menurun untuk berkeliling setiap hari. Namun, untuk membuat usaha pangkas rambut, Sabar mengaku tak punya modal dan tempat yang diizinkan oleh pemerintah. ’’Untuk bikin gerobak kecil kan butuh uang, sementara pendapatan saya per hari rata-rata hanya Rp 30 ribu,’’ kata Sabar sembari merapikan alat cukurnya.
Namun, berkat kegigihannya sebagai tukang cukur keliling ini, Sabar mampu menyekolahkan sepuluh anaknya hingga SMA. ’’Sebagian besar anak saya sudah berkeluarga sekarang, saya juga tidak mampu terlalu membebankan mereka,’’ terang kakek dari delapan belas cucu ini.
Selengkapnya...
Kiat Rangsang Warga Nyontreng dengan TPS Unik
Dana Urunan, Tiap Pemilihan Selalu Berbeda Tema
Banyak cara untuk mengajak warga menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2009 kali ini. Salah satunya mendesain tempat pemungutan suara (TPS) semenarik mungkin. Seperti yang dilakukan warga Lingkungan Kedung Kwali, Kelurahan Miji, Kecamatan Prajurit Kulon.
AIRLANGGA, Mojokerto
JAM sudah menunjukkan pukul 07.00. Udara pagi itu cukup
terasa dan terlihat mendukung momentum besar Pilpres 2009. Beberapa warga di Lingkungan Kedungkwali Gang IX Kelurahan Miji, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto tampak berjalan kaki menuju lokasi TPS 6. Tetapi ada juga diantara mereka yang menggunakan motor.
Tidak sulit menemukan lokasi TPS itu. Hanya butuh waktu dengan berjalan kaki sekira 5 menit dari depan gang. Begitu memasuki Lingkungan Kedungkwali Gang IX Kelurahan Miji, pandangan mata akan tertuju pada TPS 6, di pekarangan warga setempat.
Betapa tidak, TPS dihias dengan unik. Berbagai sayuran dan kerupuk ada di sana. Sebuah tenda tampak berdiri kokoh dengan tanaman hias gantung
yang memanfaatkan media pot, yang terbuat dari botol plastik di sekitarnya.
Di bawah tenda, berjejer kerupuk berukuran besar yang digantung dengan menggunakan tali. Kerupuk-kerupuk dengan ukuran diameter sekitar 30 sentimeter tersebut terbungkus plastik transparan.
Di bagian tepi tenda, berbagai macam sayuran seperti terong, ubi jalar dan aneka sayuran lainnya tampak terpajang di tenda berwarna hijau. Di kanan, dua jeriken minyak tanah dan tiga tabung elpiji ukuran lima kilogram juga ikut dipasang.
’’Selamat datang bagi para pemilih yang sudah hadir, silakan daftar terlebih dahulu dan mengambil kertas suaranya, ingat suara kita menentukan masa depan bangsa lima tahun mendatang,’’ ujar Ketua KPPS setempat, Ahmad Syafi’i menyerukan kepada warga.
Mendengar instruksi dari Ketua KPPS, warga pun langsung mengambil surat suara dan menuju empat bilik masing-masing berukuran 1x1 meter. Proses pencontrengan ini tidak sampai memakan waktu lebih dari lima menit.
Ada yang mengatakan,’’Wah, seperti suasana kampung ya, apalagi banyak kerupuk, mungkin setelah memilih kerupuknya akan dibagikan. Jadi ingat
suasana pedesaan,’’ celetuk salah satu calon pemilih. Mendengar itu, para
petugas pun membalas dengan senyum ramah.
Sebagian warga mengungkapkan, mereka sangat senang dengan ide kreatif seperti ini. ’’Dengan menggunakan tema seperti ini, akan menjadikan pemilih semakin semangat ke TPS, sehingga angka golput berkurang,’’ ujar Rianto, salah seorang warga yang ikut memilih.
Memang, untuk mendekorasi TPS, butuh waktu seharian. Semua dikerjakan secara gotong-royong oleh warga setempat. Ada yang membantu pagi, siang atau malam. Dengan antusias, warga bekerja nyaris tanpa perintah. Ide dan gagasan pun mengalir begitu saja, dengan asas musyawarah untuk mufakat. ’’Saya hanya mengoordinasi usul teman-teman,’’ kata Achmad Syafi’i, ketua KPPS.
Selain ide dan gagasan, warga juga turut membantu untuk masalah pembiayaan. ’’Mereka sukarela membantu semata-mata ingin menyukseskan Pilpres,’’ ujarnya. Sejak awal, KPPS memang melibatkan warga dalam melakukan desain TPS yang akan mereka gunakan.
Pemilihan itu pun ada dasar filosofinya. Dipasang berbagai aneka sembako dengan alasan apakah pemerintah mampu mengendalikan harga sembako. ’’Presiden yang terpilih nanti apa juga harus bisa membuktikan apakah mampu membuat nelayan mencari ikan dengan mudah, pendidikan gratis, petani makmur sehingga seluruh masyarakat sejahtera. Itu pesan yang ingin kami sampaikan,’’ ujar Syafi’i.
Digunakan tiga elpiji serta dua jeriken yang dipinjam dari warga sekitar menurutnya adalah harapan warga agar program pemerintah yang melakukan konversi tidak membuat warga kesulitan.
Disebutkan Syafi’i, saat ini di TPS 6 ada 603 pemilih. ’’Alhamdulillah semuanya melakukan hak pilihnya di TPS ini, berarti semua peduli dengan masa depan bangsa,’’ ujarnya.
Tidak itu saja, setiap perhelatan demokrasi lima tahun, TPS 6 lalu menjadi jujugan para wartawan. Baik media cetak maupun elektronik. Hal ini dikarenakan, setiap pemilihan baik pemilihan wali kota, pemilihan Gubernur, pemilihan legislatif hingga pilpres, di TPS ini selalu mendesain agar berbeda dengan TPS lainnya.
Tema yang mereka angkat pun berbeda-beda. Pada pemilihan wali kota lalu misalnya, di TPS ini menggunakan tema Gus-Yuk, sedangkan untuk tema gubernur dipilih tema pertanian. ’’Untuk pemilihan legislatif lalu dipilih caleg stres karena pasti banyak caleg yang gagal,’’ ujar Hani, 22, salah seorang petugas KPPS.
Selengkapnya...
7.03.2009
Saat Sekolah Favorit Masih Jadi Incaran Siswa Baru
Orang Tua pun Rela Keluarkan Dana untuk ’’Bangku Kosong’’
Sekolah unggulan masih menjadi target calon siswa peserta penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Mojokerto yang berlangsung mulai Kamis (2/7) kemarin. Namun, tidaklah mudah mendapatkan kursi di sekolah favorit tersebut.
AIRLANGGA, Mojokerto
PAGI kemarin, ratusan siswa berseragam SMP dari segala penjuru SMP di wilayah Kabupaten dan Kota Mojokerto mulai memadati pagar SMAN Puri. Dengan membawa map berwarna biru yang berisi ijazah, para calon siswa SMA ini mulai bertanya-tanya tentang alur pendaftaran sekolah SMA mereka.
Banyak sebagian calon siswa yang masih kurang mengerti tentang alur pendaftaran di salah satu sekolah favorit tersebut. Meski panitia sudah memasang tulisan alur pendaftaran, namun karena banyaknya calon siswa yang memadati sekolah, tulisan tersebut makin sulit terbaca.
Saling berebut, berdesakan dan sebagian sabar mengantre adalah suatu hal yang mewarnai pendaftaran di SMAN Puri kemarin. Panitia pun tidak pernah bosan-bosannya mengatur para calon siswa yang tidak sabar mengambil formulir.
Salah seorang siswa, Anis, 14, mengatakan dirinya memang ingin sekali masuk ke SMAN Puri. Selain dekat dengan rumahnya di Desa Banjar Agung, SMAN Puri selama ini dikenal sebagai sekolah favorit.
Ia pun rela berdesak-desakan untuk mengambil formulir. Tidak hanya calon siswa, desak-desakan juga diikuti oleh orang tua calon siswa. Demi mencapai target ini, orang tua sering tidak memedulikan besaran dana yang diperlukan supaya anak mereka bisa merebut kursi sekolah unggulan.
Di tengah era yang mencoba untuk serba transparansi ini, tetap saja ada sejumlah orang tua yang beranggapan bahwa dengan uang anaknya dijamin bisa masuk sekolah unggulan. ’’Biaya tidak menjadi persoalan karena saya ingin anak saya mendapat yang terbaik. Kalau tidak lolos di penerimaan awal ini, pasti masih ada kesempatan saat pengumuman bangku kosong. Pasti ada cara,’’ kata Pandu, 43, orang tua yang mengantarkan anaknya.
Menurut ayah tiga putra yang menetap di Kecamatan Bangsal itu, sudah menjadi kewajiban orang tua menyekolahkan anaknya ke tempat terbaik. Ini dilakukan agar si anak bisa mendapat jaminan, meskipun diakui tidak seratus persen benar, untuk diterima di universitas favorit.
Namun, tentu saja, harapannya agar masa depan si anak cemerlang.
Kalau anaknya nanti tidak lolos masuk SMA pilihannya, Pandu telah menyiapkan dana sebagai dukungan pembangunan bagi sekolah yang dipilih agar bisa masuk di SMA favorit tersebut.
Yuliani, 42, warga Kecamatan Mojosari pun ngotot anaknya harus masuk sebuah SMA negeri. ’’Anak saya sendiri yang memilihnya, sebagai orang tua saya ngikut saja,’’ tuturnya.
Anaknya, Oki Daniar Khairunnisa asal SMPN Ngoro memiliki NUN 35,90. ’’Dengan NUN segitu masak sih tidak bisa masuk,’’ terangnya.
Yuli mengaku, sebelum mendaftar ke SMAN Puri, anaknya sempat mendaftar ke SMAN Mojosari yang merupakan sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Namun, meski mengaku sudah membeli formulir sebesar Rp 100 ribu, anaknya tidak masuk.
Andi Wijaya, salah seorang warga Sooko mengungkapkan, ia berharap anaknya bisa sekolah di SMA Sooko. ’’Anak saya tidak mendaftar ke sekolah swasta. Berarti saya dan istri harus ngotot cari jalan supaya dia diterima di SMA itu,’’ ujarnya.
Maka, hari-hari ini, bapak tiga anak itu mengajak semua anggota keluarga untuk datang saat mendaftarkan anaknya yang akan masuk. Bahkan, Andi siap meninggalkan kegiatan lain demi memperjuangkan si anak masuk sekolah favorit. Ia pun sudah ancang-ancang dengan dana bantuan pembangunan sekolah.
Selengkapnya...
Saat Warga Temukan Bangunan Mirip Situs Peninggalan Majapahit
Berbentuk Lesung, Dikira Batu Biasa
Wilayah Kabupaten Mojokerto rupanya masih terdapat situs yang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit. Salah satunya adalah situs yang baru ditemukan warga Dusun Lebak Geneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo. Bagaimana bentuknya?
AIRLANGGA, Jatirejo
SEMENJAK runtuhnya Majapahit yang kemudian disusul dengan masuknya agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu/Budha begitu saja ditinggalkan oleh masyarakat penganutnya.
Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu dilupakan orang-orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut menjadi telantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak-semak belukar. Yang nampak adalah puing-puing berserakan di sana-sini.
Kondisi inilah yang terjadi di sebuah bangunan berbentuk segi empat berukuran 3x3 meter yang berada ditengah-tengah hutan jati Dusun Lebak Geneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo.
Untuk mencari keberadaan situs ini memang tidaklah mudah. Perjalanan menuju lokasi diperlukan waktu sekitar dua jam dari Kota Mojokerto melewati jalan yang berliku-liku.
Kabar ditemukannya situs Kerajaan Majapahit ini memang masih belum diketahui warga sekitar. Hal inilah yang dirasakan koran ini saat menelusuri jalan menuju lokasi. Tidak ada satu pun warga yang mendengar kabar penemuan bangunan bersejarah.
Sebagian besar bukanlah tidak mengetahui keberadaan bangunan bersejarah di desanya. Namun, mereka tidak mengetahui sama sekali bangunan apa yang ditemukan di lahan hutan jati tersebut. ’’Sebagian warga di sini memang tidak tahu bagaimana bentuk bangunan bersejarah itu, mereka pikir bangunan ini hanyalah bangunan biasa,’’ terang Lamijo, warga sekitar.
Berbeda dengan penemuan bangunan peninggalan kerajaan Majapahit sebelumnya yang selalu dikerumuni warga, penemuan candi di desa ini nampaknya tidak terlalu menarik perhatian warga sekitar. Berbagai cerita mistis juga pun sempat mewarnai lokasi penemuan candi tersebut.
’’Warga sini pernah ada yang sempat melihat patung duduk di atas tanah sekitar lokasi, tapi beberapa saat kemudian patung itu hilang. Patungnya berwarna hitam dengan ukuran seperti ini,’’ ujar Lamijo sambil memegang lututnya.
Selain itu, cerita-cerita lain tentang mistik juga kerapkali terdengar oleh warga sekitar. Namun warga tidak pernah menyangka kalau bangunan yang ditemukannya adalah bangunan bersejarah.
Lamijo menceritakan, sebenarnya penemuan bangunan sisa Kerajaan Majapahit itu sudah ditemukannya sejak beberapa tahun lalu. ’’Saya lupa tahunnya, mungkin sekitar tahun 2004 lalu,’’ terang bapak tiga anak ini.
Awalnya, Lamijo yang akan menanam pohon jati membabat beberapa kotoran dan tanaman alang-alang yang ada di tengah hutan jati. Setelah membersihkan, Lamijo melihat ada bangunan bata merah dengan lubang sebesar tiga puluh sentimeter ditengahnya. Karena tidak tahu apa-apa, Lamijo menganggap bangunan yang ditemukannya adalah bangunan biasa.
Tidak hanya di tempat tadi, sekitar 300 meter dari lokasi pertama, Lamijo kembali menemukan benda yang tertancap di atas tanah berupa batu dengan lubang berdiameter sepuluh sentimeter di tengahnya. ’’Sepertinya batu ini digunakan untuk menumbuk padi pada zaman Majapahit dulu,’’ terang Lamijo.
Setelah beberapa tahun, Lamijo menceritakan benda yang ditemukannya kepada tetangganya, Muhammad Zein Ansori. Zein, yang mendengar pengakuan dari Lamijo langsung memeriksa lokasi. ’’Setelah saya periksa, ternyata bangunannya memang seperti peninggalan Majapahit,’’ ujarnya.
Ternyata, tidak hanya Lamijo yang menemukan benda purbakala. Tetangganya, Badri, 68, juga menemukan benda seperti lesung terbuat batu. Bedanya, lesung ini terdapat bangunan bata khas Kerajaan Majapahit.
Zein mengaku saat ini berharap pemerintah mau memberikan perhatian kepada situs purbakala yang ditemukan warga sekitar. ’’Warga juga nampaknya tidak berharap apa-apa,’’ ujarnya.
Selengkapnya...