7.09.2009

Pak Sabar, 33 Tahun Tetap Sabar Jadi Tukang Cukur Keliling




Pilih Mencukur karena Jadi Buruh Tani Upahnya Lebih Kecil

Bagi Sabar, menjadi tukang cukur keliling memang melelahkan. Meski tidak berpenghasilan besar, namun pria berusia 70 tahun ini tetap sabar sesuai namanya menjalani pekerjaan yang sudah digelutinya selama 33 tahun itu. Bagaimana suka dukanya?

AIRLANGGA, Mojokerto

SIANG itu, sekitar pukul 11.00, Sabar duduk-duduk santai di bawah pohon rindang yang berada di tepi jalan raya Bangsal. Tatapannya menatap jauh ke arah jalan raya seakan-akan mengharap kedatangan pelanggan setianya yang ingin menggunakan jasanya sebagai tukang potong rambut keliling.
Sesekali mengisap dalam-dalam rokok kretek yang menjadi ciri khasnya, Sabar menyiapkan sebuah kotak mungil yang sudah dimodifikasi menjadi berbentuk tas. Di dalam tas inilah alat-alat miliknya yang menjadi andalan untuk mendapatkan uang.
Hanya beberapa saat, seorang pria berusia sekitar 70 tahun mendatangi Sabar. Tampak keakraban diantara keduanya yang seusia sepantaran. Pria tadi, selain teman dekat Sabar, juga pelanggan setianya yang selalu meminta jasa pak Sabar memotong rambut yang tamak beruban.
Disiapkannya tempat duduk lipat kecil di samping kiri motor Honda Astrea tahun 1995 yang dibelinya beberapa tahun lalu. Sembari mengobrol, Pak Sabar menyiapkan alat-alat mencukur yang diletakkannya di dalam tas.
Sebuah kursi pendek dan tas berukuran mungil berisi peralatan cukur kuno seperti, gunting dan pisau cukur dan alat kodok-kodok menjadi teman setia Sabar yang hanya mengecap pendidikan di Sekolah Rakyat (SR)- setingkat SD saat zaman Belanda-ini.
Dengan bangganya Sabar memperlihatkan alat-alat cukurnya ketika koran ini penasaran apa isi tas kumal yang setiap hari ia bawa. Satu per satu alat cukur yang usianya sudah tua itu dijajar di atas kursi kursi motornya.
’’Kalau tidak ada alat-alat ini, saya tidak bisa cari makan. Alat inilah yang membuat saya masih bertahan hidup sampai saat ini,’’ kata Sabar yang mengaku tak menyangka profesinya sebagai tukang cukur keliling akan menjadi pekerjaannya hingga akhir hayatnya.
Dengan terampil, kedua tangannya mencukur rambut temannya hingga tipis. Sembari mencukur, Pak Sabar selalu mengajak bicara pelanggannya. Sosok seperti inilah yang membuat Pak Sabar tidak kehilangan pelanggan.
Karena dengan mengajak ngobrol, ada kedekatan antara dia dan pelanggannya. Pelangggan pak Sabar juga tidak hanya dari kalangan orang tua saja. Banyak anak-anak muda yang senang menggunakan jasanya.
Hanya berselang lima belas menit, potongan rambut tipis sepanjang setengah sentimeter ala Pak Sabar pun rampung. Pak Sabar pun memberikan kaca kecil berwarna hijau untuk memperlihatkan hasil potongannya kepada temannya itu. Senyum pelanggan setia pun mengembang sembari memberikan uang Rp 3.000 kepadanya.
Bagi Pak Sabar, menjadi tukang cukur bukan hanya sekadar untuk menyambung hidup, tetapi juga keinginannya untuk terus menambah pahala. Biasanya, jika ada yang cukur dan tidak punya uang, diikhlaskan. ’’Bahkan, kalau uangnya hanya Rp 1.000, saya terima saja,’’ kata Sabar.
Sabar mengaku tidak ada yang perlu dipikirkan dalam hidup ini. Semua orang memiliki peran masing-masing. Ada yang berperan di kantoran, di pelabuhan, di kampus dan di terminal. Tapi, ada juga orang seperti dia yang punya peran untuk urusan rambut.
’’Coba bayangkan kalau tidak ada tukang cukur keliling seperti saya, tentu orang yang ingin sekali rambutnya dicukur dan pada saat yang sama tidak ada tukang cukur, otomatis, jasa saya akan digunakan,’’ kata Sabar yang mengaku tetap bangga dengan pekerjaannya saat ini.
Walau pendapatannya tak menentu dalam sehari, kadang antara Rp 8.000, hingga Rp 30 ribu, ternyata Sabar masih bersyukur dengan apa yang ia miliki. Sebelum menjadi tukang cukur keliling, Sabar pernah menjadi buruh sekitar awal tahun 1960-an.
Namun, tahun 1966 ia memilih menjadi tukang cukur karena pendapatan menjadi seorang buruh relatif kecil dan pekerjaannya sangat berat. Apalagi, Sabar memang memiliki kemampuan mencukur. ’’Dulu kalau mencukur saya harus berjalan kaki, belum ada sepeda motor seperti ini,’’ ujarnya.
Sabar juga pernah berkeinginan memiliki kios untuk usaha cukurnya. Namun, Sabar merasa akan kalah saingan dengan tukang cukur lainnya karena peralatan mereka lebih modern. ’’Di desa saya saja sudah ada dua tukang potong rambut yang memiliki alat cukur listrik,’’ terang pria yang tinggal di Desa/Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto ini.
Tapi, Sabar sebenarnya ingin sekali memiliki tempat cukur rambut yang tetap. Apalagi, di usianya yang sudah kepala 7, tenaganya sudah mulai menurun untuk berkeliling setiap hari. Namun, untuk membuat usaha pangkas rambut, Sabar mengaku tak punya modal dan tempat yang diizinkan oleh pemerintah. ’’Untuk bikin gerobak kecil kan butuh uang, sementara pendapatan saya per hari rata-rata hanya Rp 30 ribu,’’ kata Sabar sembari merapikan alat cukurnya.
Namun, berkat kegigihannya sebagai tukang cukur keliling ini, Sabar mampu menyekolahkan sepuluh anaknya hingga SMA. ’’Sebagian besar anak saya sudah berkeluarga sekarang, saya juga tidak mampu terlalu membebankan mereka,’’ terang kakek dari delapan belas cucu ini.

Tidak ada komentar: