4.27.2009

Melongok Unas Pelajar Sekolah Luar Biasa (SLB)




Diberi Waktu 2 Jam, Cukup Kerjakan Soal 1 Jam

Sejak Senin kemarin, siswa SMP mengikuti Ujian Nasional (Unas). Suasana tegang meraih nilai terbaik untuk syarat ke sekolah jenjang selanjutnya terlihat di hampir semua siswa. Namun agak berbeda di SMPLB PGRI Dlanggu. Suasana ujian di sini terlihat agak enjoy

AIRLANGGA, Mojokerto

PAGI sekitar pukul 07.30. Dua belas siswa SMPLB PGRI mulai berkumpul di depan ruang kelas yang ada di ujung bangunan sekolah. Sesekali, diantara mereka bersenda gurau dengan teman sebayanya.
Suara canda tawa pun terdengar jelas. Tidak ada raut wajah tegang yang diperlihatkan ke-12 siswa ini. Namun begitu, mereka sadar kalau ujian yang diikutinya sangatlah penting bagi masa depan mereka.
Meski selalu riang dan selalu bercanda antarsesama siswa, namun sebenarnya kedua belas siswa ini tidak menganggap remeh ujian nasional yang diikuti mereka. Setiap harinya, mereka selalu belajar agar bisa mengikuti ujian.
Bel sekolah pun berbunyi tepat pukul 08.00. Itu pertanda, dua belas siswa diwajibkan memasuki ruangan kelas untuk mengikuti ujian. Kali ini, mereka harus menyelesaikan 50 soal mata pelajaran bahasa Indonesia.
Dua guru SMPLB pun membagikan kertas satu per satu mengelilingi meja yang dibuat dua baris. Selama pembagian kertas soal, para siswa ini tidak juga memperlihatkan rasa gelisah. Senda gurau tetap diperlihatkan murid-murid ini. Setelah pengawas mempersilakan untuk mulai mengerjakan soal, barulah kedua belas siswa tadi serius mengerjakan soal.
Suasana yang tadinya terdengar sedikit ramai pun tiba-tiba menjadi sunyi. Kedua belas siswa mulai membungkuklan badannya memperhatikan soal. Ruang ujian yang ada di SMPLB ini sendiri dibagi menjadi dua.
Yakni empat siswa tunarungu mengikuti ujian nasional sedangkan delapan siswa tunagrahita mengikuti ujian sekolah. Kelas dibagi dua dengan dipisahkan menggunakan sekat dari papan. Masing-masing kelas diawasi oleh dua guru setempat yang siap memberikan bantuan jika dibutuhkan.
Kendati mengalami cacat fisik dan mental, namun kemampuan akademis siswa SLB tak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, dengan waktu 2 jam yang diberikan untuk menjawab soal, mereka hanya butuh satu jam untuk menyelesaikan seluruh pertanyaan.
Menurut Tatok Budi Utomo, kepala SMPLB PGRI Dlanggu mengatakan, hanya siswa SLB B saja yang mengikuti ujian nasional. Pada hari pertama ini, siswa mengikuti mata pelajaran bahasa Indonesia.
’’Mata pelajaran yang di-uji-kan sama dengan sekolah umum, yaitu ada empat mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA, masing-masing dilaksanakan satu hari,’’ terang Budi.
Sedangkan untuk siswa kelompok C atau tunagrahita, pihak sekolah mengadakan ujian sekolah. Kendati memiliki kekurangan, mereka juga mempunyai standar kelulusan yang sama dengan sekolah umum lainnya, yaitu nilai minimal 5,5.
’’Soalnya sama seluruh Indonesia. Tapi bukan sama dengan sekolah umum, melainkan sama dengan SLB B di seluruh Indonesia,’’ terangnya.
Agar semua siswanya lulus, menurut Budi, pihak sekolah sudah melakukan latihan soal dari soal ujian tahun sebelumnya. ’’Kita juga sudah beberapa melakukan tryout. Tahun lalu juga lulus semua,’’ katanya.
Menurut Budi, mengikutsertakan tunagrahita dalam Unas kali ini bertujuan agar mereka tidak dibedakan dengan yang lainnya. Selain itu, momentum Unas ternyata dapat dijadikan momen untuk saling sosialisasi antara penyandang tunagrahita dengan penyandang cacat lainnya. ’’Mereka kan tidak bisa tersisih, itu bisa memengaruhi psikologis mereka,’’ tambah Budi.
Perhatian khusus untuk siswa di SLB, kata Budi, bukan berarti spesialisasi bagi peserta Unas. Panitia Unas tetap menggunakan asas evaluasi dalam pelaksanaan Unas di SLB.
Secara keseluruhan, lanjut Budi jumlah total siswa SLB yang telah menyelesaikan studi di tempat ini sudah mencapai ratusan. Sekolah ini menyediakan semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Di sekolah ini, siswa SLB diajari berbagai jenis keterampilan yang nantinya diharapkan untuk meningkatkan kemandirian siswa. Untuk tingkat Sekolah menengah pertama rasio pembelajarannya adalah 40 persen pelajaran materi dan 60 persen lainnya adalah pelajaran keterampilan.
Sedangkan untuk siswa sekolah menengah rasionya adalah 30 persen untuk pelajaran materi dan 70 persen lainnya untuk pelajaran keterampilan. ’’Salah satu keterampilannya yakni membuat kain penutup galon, dan memang buatan mereka sangat bagus,’’ terang Budi.
Salah satu seorang siswa, Aminah, mengatakan, dirinya tidak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan. ’’Sebelumnya memang sudah belajar, pihak sekolah juga selalu melakukan pelatihan agar siswa lulus semua,’’ ujarnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Johan Sumaryadi. Ia mengatakan, tidak ada perasaan gugup sama sekali dalam melaksanakan ujian. ’’Yang penting berusaha dan berdoa agar semuanya berjalan lancar, setiap malam orang tua saya selalu mengingatkan agar belajar,’’ terangnya.
Begitu pula yang dikatakan oleh Lamiaji Setiawan dan Slamet Mulyo. Keempat siswa SMPLB B ini adalah peserta ujian. Mereka berharap. Tahun ini bisa lulus sekolah dan melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya.
Harapan agar para siswa SLB ini agar lulus juga diutarakan oleh orang tua siswa. Ngatmini, 41, warga Desa Kepuh Arum, Kecamatan Kutorejo mengatakan, dirinya selalu berupaya memberikan dorongan agar anaknya mau belajar.
’’Sebelumnya anak saya malas belajar, tapi untunglah saat mau ujian belajarnya jadi rajin, setiap malam ia selalu buka buku,’’ katanya saat mendampingi anaknya, Sulistyohadi mengikuti ujian sekolah.
Begitu juga yang diutarakan oleh Muawanah, 48, warga Desa Kintelan Puri. Menurutnya, putrinya memiliki semangat luar biasa untuk bisa lulus tahun ini. ’’Saya tidak bosan-bosan mendampingi dia belajar ataupun ke sekolah,’’ terang ibu dari Sifaun Nadiyah ini.
Selengkapnya...

Berkunjung ke Dusun Penumbuk Padi di Penanggungan, Trawas





Pukulan Lesung Ciptakan Irama, Beras Diyakini Lebih Bergizi

Di zaman yang serba pragmatis dan modern ini ternyata masih ada juga kebiasaan masyarakat lama yang sulit ditinggalkan. Salah satunya adalah kebiasaan menumbuk padi dengan cara dan alat tradisional yakni lesung.

AIRLANGGA, Trawas

SUASANA pedesaan sangat terasa saat melintas di jalan Kecamatan Trawas. Hawa dingin khas daerah pegunungan begitu terasa jika melintas di daerah setinggi 800 meter dari atas permukaan laut ini.
Di salah satu desa yang ada di Kecamatan Trawas, terdapat satu dusun yang masih memegang kebiasaan tradisional, yakni mengolah padi dengan cara menumbuk menggunakan alat tradisional lesung. Dusun tersebut bernama Dusun Penanggungan.
Untuk sampai di dusun ini tidak lah terlalu sulit. Hanya saja, jalanan sebagai akses masuk ke desa ini memang sedikit menanjak dan berliku. Dusun penanggungan sendiri sama dengan dusun-dusun yang ada di sekitarnya. Padat dengan bangunan rumah dan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.
Tidak ada yang istimewa saat kali pertama tiba di depan gerbang dusun. Namun beberapa meter dari gerbang, suara pelan seperti alunan musik mulai terdengar. Alunan musik tersebut berasal dari enam perempuan yang memukul alat penumpuk padi ke arah lesung. Pukulan tersebut dimainkan secara bergantian sehingga seolah-olah membentuk irama musik tradisional.
Dari balik sebuah bangunan yang terbuat dari bambu dengan ukuran 5x5 meter, enam perempuan tampak saling bersenda-gurau sambil memukulkan lesung. Tidak ada raut lelah dari wajah mereka. Sesekali tangan mereka mengusap dahi untuk menghilangkan keringat yang mulai menetes di wajah keenam perempuan tersebut.
Lesung itu sendiri terbuat dari batu besar dengan ukuran 120 sentimeter dan kedalaman sepuluh sentimeter. Di bangunan yang juga berfungsi sebagai lumbung padi ini, terdapat juga dua lesung berbentuk bundar dengan ukuran diameter sepuluh sentimeter. Keenam perempuan tadi memukul padi menggunakan kayu sepanjang 150 senti meter.
’’Kalau dilakukan secara bersama-sama, tidak terasa lelah, apalagi sambil mengobrol, tahu-tahu sudah selesai,’’ ujar Siti Kalimah, 42. bersama lima perempuan lainnya, Siti Kalimah memulai pekerjaanya menumbuk beras mulai pukul 00.00 hingga pukul 16.00.
’’Kalau lelah ya isirahat sebentar, biasanya kalau tengah hari, istirahat sebentar sambil makan siang,’’ ujarnya. Perharinya, menurut Siti Kalimah, ia dan kelima rekannya bisa menumbuk beras hingga dua kuintal.
’’Rata-rata per hari saya bisa mendapatkan upah mencapai Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu, lumayan untuk tambah-tambahan,’’ terang Tiamin, warga lainnya. Dari lesung yang terbuat dari batu besar, para wanita tadi mengambil beras yang telah ditumbuk, lalu diayak untuk selanjutnya dibawa ke rumah.
Para wanita desa mengaku lebih senang membuat beras sendiri. Alasannya, beras yang dijual di pasar lebih kasar karena diproses dengan mesin dan ayakannya tidak sempurna. Aktivitas menumbuk beras ini memang sudah lama dilakukan. Disamping itu, proses menumbuk beras juga diyakini lebih memiliki nilai gizi dibandingkan menggunakan mesin.
Pada zaman dulu, juga saat ini di beberapa daerah pedesaan, masyarakat mengonsumsi nasi dari beras yang ditumbuk secara tradisional dengan menggunakan penumbuk padi berupa lesung, dimana cara ini membuat masih banyak bekatul menempel pada beras yang dihasilkan.
Bekatul atau juga disebut rice brand, yang selama ini lebih dikenal sebagai pakan ternak, adalah bagian luar atau kulit ari dari beras yang merupakan hasil sampingan dari proses penggilingan padi, biasa berupa serbuk halus berwarna krem atau coklat muda.
Beras yang kita makan sekarang ini sudah ’’terlalu bersih” padahal di dalamnya justru banyak mengandung vitamin dan nutrisi penting yang memiliki khasiat luar biasa
Seiring dengan perkembangan teknologi, dengan munculnya hueller atau penggilingan, sedikit demi sedikit kebiasaan menumbuk pada ditinggalkan. Mereka menggilingkan padi atau gabahnya ke tempat penggilingan karena proses pembersihan lebih cepat dan murah.
Semenjak mesin penggilingan menggantikan alu dan lesung penumbuk padi, bisa dipastikan tidak ada sama sekali bekatul yang tersisa atau menempel pada beras yang dihasilkan. Sehingga masyarakat pedesaan sama seperti masyarakat di perkotaan dimana mereka mengonsumsi beras yang putih bersih dan bebas dari bekatul.
Slamet, salah satu tokoh masyarakat mengatakan di dalam beras yang dihasilkan melalui proses penumbukan terdapat nutrisi-nutrisi yang tetap terjaga dan hal ini bisa hilang jika dihasilkan melalui proses mesin giling atau huller. Nutris-nutris yang dimaksud adalah aleuron dan thiamin atau B1. ’’Serat, lemak, vitamin dan mineral alami tersebut merupakan asupan yang gizi yang penting bagi tubuh,’’ ujar Slamet.
Kondisi fisik masyarakat pedesaan zaman dahulu dan sekarang tampak jauh berbeda. Ia mencontohkan, jaman dahulu orang desa segar bugar, tahan banting dan jarang terkena penyakit. Kini banyak dari mereka menderita penyakit masyarakat kota, yakni penyakit degeneratif seperti diabetes, melitius, kolesterol, hipertensi, serangan jantung dan banyak lagi. ’’Apakah ini disebabkan karena mereka tidak lagi mengonsumsi bekatul yang seharusnya menempel pada beras sebagai sumber vitamin B15?’’ ujarnya.
Disamping itu, dengan kegiatan menumbuk, maka dapat menumbuhkan lapangan pekerjaan dan memperkuat nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal yang ada. (*)


Selengkapnya...

4.11.2009

Saat Pemilih Tunanetra Ikut Nyontreng Pemilu 2009





Tak Ada Kertas Braille, Bingung di TPS, Pilih Pulang

Pemilu 2009 ini rupanya juga mengundang antusias pemilih tunanetra di Mojokerto ikut berpartisipasi. Banyak kendala yang dialami para penyandang tunanetra ini saat memilih calon wakil rakyat.


AIRLANGGA, Mojokerto



SEJAK pagi, Heru sudah bersiap di ruang tamu menunggu orang tuanya yang masih bersiap diri. Dengan raut muka yang datar, Heru tampak tenang duduk di sudut sofa. Hari itu, merupakan kali pertama pemuda berusia 22 tahun ini mengikuti pemilihan umum (pemilu) sepanjang hidupnya.
Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Heru mulai beranjak setelah dituntun oleh Suyono, 49, Heru mulai melangkahkan kakinya melewati gang sempit. Sepanjang satu kilometer, Heru dan ayahnya berjalan menuju TPS 4 yang ada di Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Mojosari.
Selama perjalanan, Heru terlihat sudah hafal dengan jalan yang dilaluinya meski ia berjalan tidak lebih cepat dari orang kebanyakan.
Setelah kurang lebih sepuluh menit berjalan, sampailah Heri di sebuah tanah lapang yanga da di sebelah rumah warga. Di sana, tenda berwarna biru terpasang dengan papan bertuliskan TPS 4 berdiri di depannya.
Heru dan ayahnya langsung disambut petugas Linmas yang berpakaian lengkap serbahijau. Layaknya penerima tamu, petugas Linmas berusia sekitar 50 tahun tersebut meminta surat undangan yang dibawa Heru.
Setelah diberikan, Heru pun dituntun menuju kursi lipat yang ada di sebelah timur. Di sana, ia disuruh menunggu namanya disebut oleh panitia yang sudah menerima surat undangan dari Heru.
Dengan sabar sambil duduk dikursi, Heru mulai mendengarkan satu persatu nama warga yang dipanggil. Ia masih menunggu namanya dipanggil oleh panitia.
Tidak beberapa lama kemudian, tibalah nama Heru dipanggil melalui pengeras suara. Saat Heru mulai beranjak dari kursinya, tampak panitia terlihat kebingungan bagaimana cara Heru memilih sesuai prosedur.
Terdengar suara diskusi antara panitia disebelah kanan meja panitia. Namun diskusi tersbeut tidaklah berlangsung lama. Kesepakatan antara panitia dan saksi-saksi pun sudah dibuat.
Akhirnya, dengan didampingi seorang panitia yang ditunjuk, Heru masuk ke dalam bilik suara. Di sana, ia mulai mencontreng calon legislatif yang dipilihnya menggunakan tinta merah.
’’Saya memang sudah mempunyai calon yang saya pilih sebelumnya,’’ ujar pemuda yang menyandang tunanetra sejak berumur empat bulan ini. Pemuda yang mencoba memulai usaha memijat di rumahnya ini pun menceritakan, meski ia tidak bisa melihat, tapi ia bisa mengetahui calon-calon mana saja yang menurutnya pantas dipilih.
’’Sekarang ini banyak media yang bisa digunakan untuk mengenal calon wakil rakyat, seperti televisi atau pun radio,’’ ujarnya. ’’Saya memilih calon yang terkenal dan menurut saya bisa mengubah bangsa,’’ katanya.
Banyak hambatan bagi Heru saat mengikuti proses pemilu. Ia mengeluhkan, tidak disediakannya surat suara dengan huruf braille yang bisa dibaca oleh penderita tunanetra. Namun ia juga berterima kasih kepada panitia yang mengantar ia menuju bilik suara.
Heru adalah salah satu diantara sekian penderita tuna netra yang memberikan hak pilihnya.
Penderita tunanetra lainnya, Muhammad Muslich, 20, mungkin sedikit beruntung. Dia terbantu karena di TPS Dusun Pandansari, Desa Sumberagung, Kecamatan Mojosari tempat ia memilih, panitia sudah menyediakan surat suara bertuliskan huruf braille sehingga Muslich bisa membaca nama calon yang dipilihnya.
’’Tapi yang ada huruf braille hanya kartu DPD, sedangkan kartu DPR dan DPRD kartu biasa,’’ ujarnya. Berbeda dengan Heru yang harus didampingi panitia saat memilih, Muslich mengaku dirinya tidak didampingi karena ia merasa bisa melakukan sendiri.
Pemuda yang mahir bermain organ ini mengaku, banyaknya partai dan anggota calon legislatif sempat membuatnya bingung dalam memilih. Tapi ia sebenarnya sudah memiliki calon yang akan dipilihnya. ’’Ya tidak mungkin saya beritahu, karena kan rahasia,’’ ujarnya.
Hal senada juga dialami oleh Agung Prasetyo, 19. Pemuda penyandang tunanetra ini juga mengaku, tidak mendapatkan huruf braille saat memilih. Tapi, ia didampingi salah satu panitia. ’’Untungnya ada panitia yang membantu mencontrengkan caleg yang saya minta,’’ katanya.
Berbeda lagi dengan Eko Prasetyo, 18. Pemuda yang berasal dari Desa Penompo, Jetis ini secara terang-terangan mengaku tidak memilih karena merasa bingung akibat banyaknya pilihan di kartu suara. Padahal, ia sendiri sudah hadir dan masuk di bilik suara. ’’Karena bingung, akhirnya saya pulang saja,’’ katanya sambil sedikit tersenyum. Saat dibilik suara, ia sendiri tidak mendapatkan surat suara dengan huruf braille, tapi ia mengaku didampingi oleh panitia.
Eko juga mengaku sebelumnya tidak pernah mengikuti sosialisasi pemilu sehingga ia sendiri kebingungan saat memilih di bilik suara
Sementara itu, Ketua PPK Mojosari, Musafir mengatakan, bagi pemilih penyandang tunanetra yang didampingi panitia pemilih sudah sesuai prosedur. ‘’Sebenarnya di tiap PPS disediakan surat suara bertuliskan huruf braille, tapi surat suara tersebut hanya untuk memilih DPD saja, sedangkan DPR RI dan DPRD surat suara biasa,’’ terangnya.
Dijelaskannya, seharusnya Ketua RT atau perangkat desa setempat melakukan pendataan pemilih yang memiliki penyandang tunanetra. ’’Setelah itu dilaporkan ke PPS setempat untuk meminta surat suara huruf braille,’’ ujarnya.

Selengkapnya...

4.09.2009

Perajin Kuda-Kudaan Kayu Bersaing Mainan Modern




Pesanan Meningkat, Masih Jadi Langganan Pelajar TK

Jenis permainan digital seperti playstation, nintendo ataupun game ternyata tak menggerus permainan tradisional. Permainan kuda-kudaan dari kayu misalnya, masih bertahan. Bagaimanakah perajinnya eksis bersaing?


AIRLANGGA, Mojokerto



SEORANG pria tampak serius memahat bongkahan kayu randu menggunakan palu dan alat pemahat. Sesekali kedua matanya mengamati bongkahan kayu yang hampir menyerupai bentuk kepala kuda, hanya saja tidak ada bentuk mata dan kuping.
Kedua tangannya terus memegang kayu tersebut untuk melihat apakah kayu yang dipahatnya sudah serasi antara bagian kanan dan kiri.
Di sekelilingya, puluhan kayu berbentuk kuda-kudaan yang setengah jadi terpajang. Sekitar dua meter dari situ, sepuluh kuda-kudaan beraneka warna yang sudah jadi dipasang untuk menarik pembeli.
Suman Wibowo, itulah nama lengkap perajin mainan kuda-kudaan yang terbuat dari kayu ini. Pria yang lahir 57 tahun lalu ini mengaku sudah 19 tahun menjadi perajin kuda-kudaan. ’’Saya memulai membuat kuda-kudaan ini pada tahun 1990 lalu,’’ ujar bapak satu anak dan dua cucu ini.
Sambil menyelesaikan kuda-kudaannya, Suman, panggilan akrabnya mulai menceritakan ia memulai menjadi pengrajin mainan anak ini. ’’Dulu, pada awal tahun 1990, di depan rumah ada pasar malam kebetulan pesertanya membawa mainan kuda-kudaan yang banyak, akhirnya saya membeli sebagian untuk dijual,’’ ujarnya.
Suman yang awalnya hanya ingin menjual kuda-kudaan yang dibelinya akhirnya seolah-olah mendapat inspirasi. ’’Kalau kita bisa membuat kenapa tidak dicoba,’’ ujarnya. Hanya dengan bermodalkan nekat dan keinginan yang kuat, ia pun membeli bahan mentah beruap kayu randu dari Malang. Dari situ, ia mulai melakukan eksperimen membuat mainan seperti kuda-kudaan yang dibelinya dari pasar malam.
Setelah beberapa kali melakukan percobaan, ia berhasil menciptakan mainan kuda-kudaan dengan bentuk yang sempurna.
Saat itulah ia memutuskan secara total menekuni dunia kerajinan mainan anak-anak. Merasa ada peluang yang lebih baik, Suman pun secara perlahan meninggalkan pekerjaannya sebagai petani. ’’Saya bosan menjadi petani, kalau menjadi perajin mainan seperti ini sepertinya prospeknya lebih bagus,’’ katanya.
Awalnya, barang yang ia produksi tidak banyak karena Suman mengaku masih belum berani memproduksi kuda-kudaan dalam jumlah banyak dengan alasan masih perlu perkenalan ke pasar.
Barang yang diproduksinya pun ia jajakan dengan berkeliling ke setiap TK (Taman Kanak-Kanak) di seluruh Kabupaten Mojokerto.
Rupanya tawaran produk yang dikenalkan pria asli Mojokerto ini disambut baik oleh seluruh TK di Kabupaten Mojokerto. ’’Setelah itu banyak yang datang ke rumah saya memesan kuda-kudaan,’’ ujarnya dengan sumringah. Pesanan pun setiap harinya selalu meningkat dari tiap bulannya.
Dengan dibantu menantunya, Agus Rianta, Suman mengerjakan kuda-kudaan mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Suami dari Rubiah, 51, ini mengaku, setiap harinya ia bisa memproduksi tiga hingga lima buah kuda-kudaan. ’’Satu buah kuda-kudaan memakan waktu produksi hingga tiga hari karena saya hanya dibantu oleh menantu saya,’’ ujarnya.
Untuk proses pengerjaannya pun tidak lah terlalu sulit, namun hanya butuh keterampilan dan keuletan saja terutama dalam membuat bentuk kuda-kudaan. ’’Yang pertama-tama dilakukan yakni membentuk kayu randu dan kemiri menjadi bentuk kuda-kudaan, tahap awal yang dikerjakan bagian kepala dulu karena lebih rumit, caranya tentu saja dipotong mengikuti pola’’ ujarnya.
Setelah itu, kayu dengan bentuk setengah jadi dihaluskan terlebih dahulu dan didempul. ’’Setelah itu dicat, untuk pengecatan dilakukan dua kali,’’ terangnya. Setelah diberikan pewarnaan tahap awal, kuda-kudaan tersebut dijemur selama satu hari dan kemudian kembali dicat tahap akhir.
Setelah jadi, produk Suman ini setiap hari dipajang di show room kecilnya yang lokasinya sangat strategis di Jalan Raya Bangsal tepatnya di depan Pasar Sawahan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto yang juga jalur utama Mojokerto-Pasuruan.
Harga produk Suman ini sangat kompetitif, untuk kuda-kudaan yang kecil dibandrol harga Rp 110 ribu, untuk yang ukuran sedang mulai harga Rp 125 ribu sampai Rp 140 ribu dan untuk ukuran kuda-kudaan yang besar berbandrol Rp 250 ribu.
Setiap produk yang dihasilkannya, Suman mengaku mendapatkan keuntungan mencapai Rp 75 ribu. Jika dihitung, selama satu bulan, Suman mengaku bisa mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp 2,5 juta perbulannya. ’’Biaya produksi untuk satu unit kuda-kudaan mencapai Rp 85 ribu,’’ ujarnya.
Selain di Mojokerto, ia juga memasarkan produknya hingga ke Sidoarjo. ’’TK-TK di sana tertarik untuk membeli kuda-kudaan produksi saya,’’ ujarnya. Ia juga mengatakan, saat musim ajaran tahun baru, pesanan kuda-kudaan kepadanya bisa meningkat sepuluh kali lipat. ’’Saya terpaksa lembur dengan menantu saya,’’ katanya.
Suman mengaku, produksinya tidak terpengaruh dengan maraknya mainan modern yang kini digandrungi anak-anak. ’’Alhamdulillah, produksi saya tidak pernah menurun,’’ ujarnya.
Meski demikian, ia mengaku mengharapkan adanya perhatian dari pemerintah untuk memajukan usaha kecilnya. ’’Kalau bisa ada tambahan modal karena saya ingin menambah pasar hingga ke luar kota seperti Lamongan, Madiun dan Jombang,’’ katanya.
Selengkapnya...

4.04.2009

Kiat Kreatif Akuwat Siasati Kelangkaan Minyak Tanah





Rakit Kompor Berbahan Bakar Kayu dari Kaleng Bekas

Kelangkaan minyak tanah (mitan) masih menjadi masalah serius masyarakat. Ini yang membuat Akuwat, warga Gayaman, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto merakit alat alternatif menggunakan kayu bakar.

AIRLANGGA, Mojokerto

HAWA dingin menyelimuti sebuah rumah di Jl Raya Desa Gayaman, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto. Meski demikian, si pemilik rumah, Akuwat, masih terlihat sibuk mengamati kaleng-kaleng bekas yang ada di depan sebuah kios menjahit miliknya.
’’Kaleng-kaleng bekas inilah yang nantinya akan saya buat menjadi kompor berbahan bakar kayu,’’ ujar bapak empat anak ini. Pria berumur lima puluh tahun ini memang selalu menghabiskan waktunya membuat kompor berbahan bakar kayu disamping kegiatan lainnya yakni menjahit dan membuka kios minuman di depan rumahnya.
Kios minuman dan usaha menjahitnya memang selalu tampak ramai karena letaknya yang strategis dekat dengan kawasan mahasiswa. Tidak ada yang menyangka jika diantara kiosnya juga disediakan kompor buatan Akuwat. Kompor yang diklaimnya bisa menjadi alat pembakar alternatif berbahan bakar kayu.
Di depan kios miliknya, hanya terdapat tulisan ’’jual kompor kayu’’ dengan spidol hitam di atas kain putih. Kain berukuran 60 x 30 sentimeter inilah satu-satunya penunjuk bahwa Akuwat menjual kompor buatannya.
Sekilas, tak ada yang istimewa dengan kompor kayu buatan Akuwat ini. Banyak yang bilang, jika kompor yang terbuat dari semen dan abu sekam itu hanya beton biasa. Bentuknya yang mirip beton penyangga tiang, tak menampakkan jika alat ini mampu membuat dua bilah kayu kecil menjadi bahan bakar yang tahan lama.
’’Kalau ingin memasak cukup memasukan kayu bakar dua batang saja ke dalam lubang yang ada di bawah kompor, maka api bisa menyala. Tapi sebelumnya diberi kertas untuk memancing apinya, bisa juga diberi sedikit minyak tanah,’’ jelasnya.
Akuwat mengatakan, dengan dimensi 25x25 sentimeter dan tinggi 35 sentimeter, kompor ini ternyata memiliki kekuatan untuk melipat gandakan api hasil pembakaran kayu. Bahkan, dengan hanya bermodal Rp 6 ribu saja untuk membeli kayu bakar, kompor ini bisa mencukupi kebutuhan memasak skala rumah tangga selama seminggu.
’’Teman saya sudah mencoba menggunakan kompor ini, dan terbukti bisa irit dan tahan lama, hasil pembakarannya juga tidak kalah dengan kompor minyak yang banyak dijual,’’ ujarnya.
Cara penggunaannya pun cukup mudah. Untuk memulai memasak, kita hanya butuh dua bilah kayu berukuran tebal 2 sentimeter dengan panjang 75 sentimeter. Mulailah melakukan pembakaran dengan menggunakan kayu ini melalui lubang kompor yang berdiameter sekitar 9,5 sentimeter itu.
Sekitar dua menit setelah api menyala, panas kompor akan merambat ke seluruh bagian beton yang terbuat dari abu sekam dan semen. ’’Hanya dengan dua kayu kecil ini, kita bisa memasak nasi dan sayur serta menggoreng,’’ terang Akuwat, satu-satunya perajin kompor kayu asal Desa Gayaman.
’’Kalau kompor ini diletakkan di tempat yang bersih, bagian bawahnya diberi alas sebagai tempat abu, sisa pembakaran kayu tadi,’’ tambahnya.
Dia lantas menuturkan alasan kenapa kompor buatannya itu bisa menghemat kayu. Alasannya, panas di dalam kompor tak akan keluar dan membakar beton hasil campuran abu sekam dan semen itu.
Jika sudah menyala kata dia, beton ini akan menghasilkan panas yang terus menerus. ”Kayu ini sebagai pemicu panasnya. Sementara beton, berfungsi untuk mempertahankan panasnya,’’ terangnya.
Dia juga sempat berbagi bagaimana cara membuat penghasil energi alternatif ini. Dengan menggunakan kaleng lem berukuran 25x25x35 sentimeter, dibuatlah lubang dengan diameter 9,5 sentimeter di salah satu sisi kaleng yang berbentuk kotak.
Setelah itu, dibuat adonan semen dan abu dan buatlah lubang di bagian tengah, tembus dengan lubang yang dibuat sebelumnya. ’’Takaran yang tepat, butuh semen 2 kilogram. Sisanya abu sekam. Jika tak tepat takarannya, maka alat ini tak akan berfungsi dengan baik,’’ ujarnya membagi pengalaman.
Akuwat tidak takut jika nanti banyak orang yang menirukan kompor alternatif buatannya. ’’Saya orangnya terbuka, tidak ada yang dirahasiakan jadi tidak masalah kalau banyak yang meniru,’’ ujarnya.
Ia menjelaskan awal mula Akuwat menciptakan kompor buatannya. Bermula saat istrinya mulai kesulitan membeli minyak tanah akibat langka. ’’Kalau pun ada, harganya pasti mahal dan jumlahnya terbatas,’’ ujarnya.
Oleh karena itu, Akuwat pun mulai memeras otak memikirkan bagaimana cara memasak tanpa tergantung dengan minyak tanah.
’’Karena itu, saya mencoba untuk membuat energi alternatif lain. Saat ini, warga sekitar sudah banyak yang menggunakan kompor ini,’’ katanya. Ia mulai membeli kaleng bekas lem kepada kenalannya seharga Rp 10 ribu.
Hanya dengan bermodalkan kaleng tersebut, Akuwat mulai melakukan eksperimennya. ’’Awalnya saya berpikir bagaimana kayu bakar kembali digunakan sebagai bahan bakar, jadi saya buat kompor dari kaleng dan bagian tengahnya saya lubangi sebagai tempat meletakkan kayu bakar,’’ katanya.
Dia menjamin, hanya dengan modal membeli kayu bakar Rp 6 ribu saja, kompor ini bisa memenuhi kebutuhan memasak skala rumah tangga hingga seminggu lebih. Lantaran itu, dia mengaku jika kompor yang dibuat sejak tiga bulan lalu itu, ini mulai diburu warga. ’’Saya menjualnya dengan harga antara Rp 25 ribu sampai Rp 35 ribu,’’ tukasnya. Selain banyak diburu, kini banyak juga warga sekitar yang mulai ikut-ikutan membuat kompor kayu bakar.
Salah satunya adalah kerabat Akuwat sendiri yakni Mujahidin, 37. Di rumahnya yang terletak di Desa Ngarjo, Kecamatan Mojoanyar, Mujahidin juga membuat kompor seperti milik Akuwat. ’’Saya memang belajar dari Akuwat sendiri,’’ terangnya.
Mujahidin juga mengaku jika banyak tetangganya yang juga ikut-ikutan membuat kompor. Bahkan, diantaranya sudah ada yang dilakukan modifikasi. ’’Bagi saya juga tidak ada masalah jika banyak yang mulai meniru, ini juga kan berguna untuk orang banyak,’’ katanya.







Selengkapnya...