1.08.2009

Kisah Pelukis Jalanan Kota Mojokerto.




Bangga Melukis Ariel Peterpan Secara Langsung, Penghasilan Tidak Menentu.


Menjadi Pelukis Jalanan memang bukanlah suatu pekerjaan yang bisa menjanjikan. Namun bagi Suwarno, hal tersebut bukanlah hambatan baginya untuk berkecimpung dalam dunia seni dan terus berkarya.


AIRLANGGA,Mojokerto




Rabu (7/1) malam, jam menunjukkan pukul 20.00. Suasana ramai terasa di sepanjang jalan Mojopahit Kota Mojokerto. Ratusan orang terlihat berlalu lalang diantara puluhan bangunan ruko yang berdiri di sepanjang jalan menghiasi sudut Kota.
Di salah satu ruko di jalan ini, seorang pria tampak serius mengamati sebingkai kanvas yang diletakkan berdiri dengan papan selebar 70cm X 80 cm. Suwarno, begitu rekan-rekannya memanggil, terlihat tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk sekelilingnya. Ia tetap melukis sebuah foto anak kecil yang diletakkan di sebelah kain kanvasnya.
Setiap orang yang melewatinya selalu merasa penasaran untuk memerhatikan apa yang dikerjakannya. Delapan lukisan foto berbagai ukuran terpajang diatas trotoar. Mulai dari gadis cantik, gambar penyanyi yang sedang naik daun hingga gambar pembalap motor. Inilah yang menarik perhatian pejalan kaki.
Tidak jarang ada pula yang memberanikan bertanya meskipun melihat Suwarno tampak serius melakukan pekerjaannya.
‘’Kalau foto saya minta dilukis berapa harganya mas?,’’ tanya seorang pria yang kebetulan melintas di depan ‘’galeri’’ mininya.
Meski terlihat sibuk, tidak ada sedikitpun perasaan terganggu dari benaknya. Dengan sabar ia selalu menjawab pertanyaan setiap orang yang melintas di depannya.
Pelukis jalanan yang biasa mangkal didepan sebuah toko persewaan VCD Jl.Mojopahit Kota Mojokerto ini tak menyiratkan kesan duka saat menceritakan perjalanan hidupnya. ‘’Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling bisa saya kerjakan dengan tidak terbebani,’’ katanya. ‘’Bagaimana terbeban jika bekerja mencari uang sekaligus menyalurkan hobi?’’ sambungnya sambil terus melukis.
Menjadi pelukis jalanan bukanlah cita-cita Suwarno. Tapi, karena tidak memiliki dasar pendidikan yang tinggi, jalan inilah yang harus ia tempuh demi bertahan hidup. Rupanya nasib baik berpihak pada pria berusia 29 tahun ini. “Saya bersyukur bisa seperti ini sekarang. Yang penting adalah mau belajar, mau berpikiran positif, dan ikut perkembangan zaman,” katanya.
Sambil merapikan kursinya, ia menceritakan perjalanan hidupnya hingga memutuskan menjadi pelukis jalanan. ‘’ Awalnya saya memang senang menggambar sejak kecil, sewaktu masih SD, saya jarang mengikuti pelajaran karena setiap guru menjelaskan saya selalu menggambar di buku, entah itu kartun atau tokoh superhero,’’ katanya sambil tersenyum.
Bakat yang dimiliknya sejak masih kecil inipun terus diasah dengan mengikuti berbagai perlombaan. Meski tidak pernah meraih predikat juara pertama, namun lelaki yang dibesarkan di Kabupaten Blora Jawa Tengah ini merasa bangga dengan apa dianugerahkan Tuhan kepadanya. ‘’Saya sangat senang sewaktu menjadi juara harapan, memang bukan juara pertama, tapi sepertinya ada kebanggan dalam hati saya,’’ katanya. Setamat dari SMA, ia pun memiliki rencana untuk melanjutkan kuliah di ISI (Institus Seni Rupa Indonesia,Red) Yogyakarta. Namun karena keterbatasan biaya, ia hanya bisa memendam keinginannya itu. ‘’Adik-adik saya juga banyak, ada yang harus mendaftar sekolah jadinya saya harus mengalah,’’ katanya.
Karena keinginan yang tidak tercapai itulah ia memutuskan merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh pabrik pada tahun 1997. Ditempat yang baru dikunjunginya untuk kali pertama ini, tanpa sengaja ia menjumpai komunitas seni rupa anak muda. Di perkumpulan inilah pengetahuannya semakin berkembang.
‘’Banyak teman yang bisa diajak berbagi pengetahuannya, kegiatannya memang hanya nongkrong-nongkrong saja, tapi bisa memberi manfaat,’’ katanya.
Saat itulah ia mulai mencoba untuk melukis foto. Sesekali, lukisannya dijual di tepi jalan. Kerasnya kehidupan Kota Jakarta tidak pernah membuatnya lantas pasrah dan tidak berjuang untuk apa pun. Ia bisa berkata seperti itu karena membandingkan dirinya dengan temannya sesama pelukis yang malah hidup berkesusahan.
Suwarno mulai menapaki kariernya secara serius pada tahun 2000 saat ia memutuskan pindah ke Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo. Disini, ia mulai berani menjajakan hasil melukisnya di tepi jalan.’’ Saat itu melukis masih sebagai sambilan, karena saya masih bekerja,’’ katanya.
Hingga pada tahun 2004, barulah ia memutuskan menggantungkan hidupnya dari seni melukis foto dengan menawarkan jasanya di Jl.Mojopahit. Ia pun mengaku banyak tantangan yang harus dihadapi menjadi pelukis jalanan. Salah satu diantaranya adalah penghasilan yang tidak menentu.
Pelukis jalanan bukan pegawai, karyawan, ataupun buruh pabrik yang setiap bulan bisa dipastikan pendapatannya.’’ Pelukis jalanan itu adalah orang-orang mandiri yang hanya bergantung pada kemampuan melukis dan mengalirnya pesanan dari orang-orang yang membutuhkan jasa mereka,’’ katanya.
Dalam sebulan, rata-rata ia bisa mendapatkan penghasilan senilai Rp. 1 juta hingga Rp.2 Juta. Untuk menutupi kebutuhannya, ia juga menjual bingkai yang dapat digunakan sebagai tempat lukisan.
‘’Bisnis seperti ini kan sifatnya tambal sulam, kadang tiga hari tidak dapat penghasilan, besoknya dapat untuk menggantikan uang makan selama tiga hari sebelumnya,’’ ujarnya.
‘’Kalau sedang ramai, dalam sehari saya bisa melukis dua sampai empat buah lukisan, tergantung besar kecilnya,’’ katanya.para pembelinya tidak hanya dari Dalam kota saja, melainkan juga dari luar kota. ‘’Ada yang dari Nusa Tenggara Timur, Riau, Jakarta, ataupun dari Jombang,’’ kata pelukis yang mengontrak rumah di Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto ini.
Ia juga menceritakan, pernah suatu waktu lukisannya diborong oleh satu keluarga. ‘’Saya dapat untung hingga Rp. 8 Juta,’’ katanya bangga.
Untuk menyelesaikan satu lukisan, tidak banyak waktu yang digunakannya. ‘’Satu lukisan bisa selesai dalam waktu tiga jam, tapi kalau nyantai ya dua hari paling lama,’’ katanya.
Saat melukis, ia hanya menggunakan beberapa peralatan. Yakni sebuah pensil 2B, kanvas,kuas, dan konte. ‘’Konte itu serbuk berwarna hitam untuk mewarnai bagian hitam,’’ katanya.
Beberapa pengalaman menarik pun sempat ia alami saat menjadi seorang pelukis. Ia mengaku pernah suatu ketika ia mendatangi Ariel Peterpan saat konser di Madiun tanggal 18 April 2006 lalu untuk memberikan lukisan foto Ariel yang dibuatnya. ‘’Perjuangan untuk bertemu dengan dia sangat berat, saya harus melewati beberapa pengamanan, dari Hotel ataupun dari Peterpan sendiri,’’ katanya. Selama 9 jam ia terpaksa menunggu di depan Hotel Merdeka, tempat Peterpan menginap untuk memberikan dua buah lukisan.
‘’Hingga sore, saya tetap menunggu, sewaktu Ariel keluar untuk konser, saya sempat diusir,’’ katanya.
Namun rupanya keberuntungan berada dipihaknya. Disaat itu pula Ariel mendatanginya karena merasa penasaran dengan dua lukisan besar bergambar Ariel. Salah satu lukisan tersebut akhirnya diberikan secara cuma-cuma kepada Ariel. Ia pun mendapat tanda tangan Ariel di lukisan satunya.
Tidak hanya Ariel, Drumer Slank, Bimbim pun pernah diberikan lukisannya. ‘’Saya sengaja datang ke Potlot Jakarta untuk memberikan lukisan bergambar Bimbim. Akhirnya saya bisa bertemu langsung dan memberikan dua lukisan saya kepadanya,’’ katanya sambil menunjukkan foto-foto dirinya bersama personel Slank dan Peterpan.

Tidak ada komentar: