1.12.2009

Pak Dur yang Menjadi Bok Ponten Selama 30 Tahun





Menjadi Penjaga Ponten Selama Tiga Puluh Tahun Sejak Di Tinggal Sang Istri


Hampir 30 tahun lamanya, Pak Dur “mengabdikan” dirinya sebagai penjaga ponten atau toilet umum. Namun dirinya tidak pernah putus asa. Ia tidak pernah mengemis atau ingin di kasihani oleh siapa pun. Banyak harapan yang masih ingin dia capai di usia nya yang sudah renta.


AIRLANGGA, Mojokerto


Seorang perempuan baru saja keluar dari salah satu bilik toilet umu berukuran 4 x 4 meter2. Perempuan setengah baya tersebut lalu menyodorkan selembar uang seribu rupiah kepada Abdurhakim,74, nama lengkap Pak Dur. “ini pak uangnya,” ujar seorang perempuan tersebut. “wis nggak ono susuk’e, engko ae,(sudah, tidak ada kembaliannya, nanti saja,Red.)” ujar Pak Dur dengan ucapan yang lirih.
Setelah dengan ikhlas “menolak” pemberian salah satu warga yang menggunakan ponten yang dijaganya, Pak Dur kembali melanjutkan menimba air yang hampir kosong dengan tangan kanannya yang terlihat sudah tidak kuat menahan beban.
Air di bak kamar mandi pun penuh. Pak Dur kembali ke kursinya yang terletak diantara dua kamar mandi. Di tempat itulah,PakDur menghibur diri dengan sebuah radio lama. Sebuah lagu campusari pun terdengar meski suaranya tidak jelas karena radio yang sudah tua.
Sesekali dengan sorot matanya yang sayu, bapak dua anak ini menghela nafas kelelahan.
Pak, Dur, begitu orang-orang sekitarnya menyapa, tampak kaget melihat wartawan Radar Mojokerto yang datang. Wajahnya terlihat curiga melihat orang yang tiadk pernah dia kenal sebelumnya datang ke tempat dia. Maklum, setiap harinya, Pak Dur tidak pernah kedatangan orang asing. Setiap orang yang datang hanya untuk buang air kecil atau buang air besar. Ia tidak pernah berbincang-bincang dengan siapapun.
Meski begitu, setiap orang di kampungnya mengenal sosol Pak Dur.
Berkat teman Pak Dur yang biasa dipanggil Cak No, ia akhirnya menyambut ramah, meski tatapannya kosong. “saya ndak punya apa-apa untuk diceritakan,” ujarnya.
Awalnya, Pak Dur enggan bercerita dengan kisah hidupnya sebagai penjaga ponten, namun setelah diyakinkan, pria tua ini akhirnya mau berbagi cerita.
Pak Dur memang sudah lama menjaga sebuah toilet umum yang berada di depan Gang II Kelurahan Magersari Kelurahan Magersari Kota Mojokerto. Disinilah ia selalu menghabiskan waktunya dengan hanya mengandalkan uang menjaga toilet.
“saya menjaga toilet ini sudah 30 tahun lebih, sehari-hari saya ya disini ini, mau usaha lain juga sudah tidak kuat,” ujarnya.
Memang,karena faktor usia, tubuhnya terlihat lemah. Badannya sangat kurus dan nada bicaranya pelan.
Ia menceritakan, sebelum menjadi penjaga toilet umum, dirinya pernah bekerja sebagai buruh pabrik rokok sekitar tahun 1970-an. Saat menjadi buruh, Pak Dur tinggal bahagia bersama istri dan dua anak laki-lakinya meski hanya tinggal pas-pasan.
Namun, kebahagiaan bersama keluarganya hanya bertahan selama sepuluh tahun. Istri yang sangan dia cintai pergi tanpa alasan yang jelas. Beberapa bulan kemudian, barulah Pak Dur tahu bahwa istrinya sudah menikah dengan seorang pengusaha keturunan. Tidak hanya itu, kedua anaknya juga pergi meninggalkan dia.
‘’istri saya nikah sama wong sugih (orang kaya,Red.),saya sakit hati sekali,’’ katanya.
Tidak hanya itu, kedua anak laki-lakinya pun pergi merantau setelah ditinggal oleh ibunya.
Mengetahui istri nya telah menikah dan ditinggal kedua anaknya, Pak Dur sempat depresi. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik rokok dia tinggalkan. Pak Dur kini hidup sebatang kara. Selama beberapa saat, hidupnya hanya bergantung pada belas kasihan orang lain.
Setelah beberapa lama hanya tergantung dari belas kasihan orang lain, hati Pak Dur pun bergejolak. “beruntung waktu itu ketua RT sini, saya lupa namanya, menawarkan untuk menjaga toilet yang baru dibangun. Pak RT dan beberapa warga juga menyemangati saya,” katanya dalam bahasa jawa yang kental.
“Pak RT menyuruh saya mengelola toilet ini, katanya penghasilannya saya ambil saja,’’ tambahnya.
Kini, hampir 30 tahun sudah Pak Dur menjalankan ‘’amanat’’ untuk menjaga toilet umum yang memiliki dua kamar mandi serta satu pompa air. Meski tidak mendapat bayaran tetap, Pak Dur selalu rajin merawat toliet umum yang memiliki luas 10 x 4 meter ini.
“saya juga yang membelikan pompa dengan uang saya sendiri,’’ ujarnya. Pak Dur memang bertekad untuk merawat toilet tersebut dengan hasilnya sendiri.
“Rencanya saya ingin mengecat bagian bawah bak, karena sudah lumuten (berlumut,Red.),’’ujarnya.
Saat disinggung tentang pendapatan yang diperoleh, dengan lugu ia menjawab perhari mendapat uang antara Rp 5 ribu hingga Rp. 10 Ribu. ‘’tergantung banyaknya yang memakai toilet,” ujarnya.
‘’Bisanya saya datang pukul 07.00 wib sampai pukul 01.00 wib,’’ ujarnya. Setelah pulang, Pak Dur tidur di sebuah teras rumah milik warga yang memberikan ijin kepada nya untuk tinggal. Memang, selama ini Pak Dur tidak memiliki tempat tinggal tetap. “saya setiap hari ya tidur di emperan di rumah bu Amanah (pemilik rumah,Red),” ujarnya dengan tangan menunjuk ke arah timur.
Meski hanya seorang penjaga toilet yang sudah uzur, namun Pak Dur menyimpan harapan yang masih ingin dia raih. ‘’sudah tiga puluh tahun saya tidak pernah bertemu dengan anak saya. Meski dia sekarang sudah sukses dan saya kere ( miskin,Red.) tapi saya ingin bertemu anak saya dan tahu kabarnya, itu saja,’’ katanya. Saat menceritakan tentang kedua anaknya, terlihat kedua matanya yang sudah rabun mulai berkaca-kaca.
Selama ini, pak Dur merasa kalau anaknya malu bertemu dengannya. “anak saya sudah sukses, mungkin malu punya bapaknya seperti ini.Setahu saya dia sudah di luar kota,’’ tambahnya.
Adzan dari sebuah masjid pun berkumandang. Saat itulah Pak Dur mengakhiri cerita kisah hidupnya. ‘’saya ingin sembahyang jumat dulu di masjid,’’ ujarnya.
Pak Dur adalah sosok masyarakat miskin yang ada disekitar kita, namun keberadaannya justru luput dari perhatian kita.

Tidak ada komentar: