1.30.2009

Saat Warga Kademangan Atasi Beban Sampah dengan Alat Rakitan Sendiri








Tiga Tahun Api Tak Padam Musnahkan Sampah, Abunya untuk Pupuk

Masalah sampah mungkin merupakan masalah yang sangat kompleks bagi sebagian warga khususnya warga kota. Namun bagi warga Dusun Kademangan, Desa/Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto, sampah tidak lagi menjadi beban. Dua warganya ciptakan alat pembakar sampah tanpa bahan bakar yang berhasil atasi problem sampah.

AIRLANGGA, Mojokerto


BAU sampah sangat terasa di pinggir lapangan Dusun Kademangan, Desa/Kecamatan Dlanggu pagi kemarin. Maklim saja, di pinggir lapangan yang selalu dijadikan tempat berolahraga warga setempat ini dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah milik warga.
Namun tidak seperti kebanyakan TPA yang terdapat penumpukan sampah, di TPA dusun ini hanya sedikit sampah yang menumpuk. Padahal, jika dilihat dari sumber sampah yang masuk ke TPA ini, sampah tidak hanya berasal dari warga sekitar, melainkan dari pasar yang berjarak satu kilometer.
Lalu kemana sampah-sampah yang menumpuk itu? Jawabannya ternyata berada di sebuah alat sederhana yang diciptakan dua warga sekitar. Alat ini memiliki fungsi membakar segala macam sampah, baik sampah basah ataupun sampah yang berukuran besar. Hebatnya lagi, saat membakar, alat ini tidak memerlukan bahan bakar apa pun.
Adalah Kurdi, 50, dan Saliku, 52, pembuat alat pembakar sampah yang didesainnya secara sederhana namun memiliki manfaat luar biasa.
Dikatakan keduanya, alat yang diciptakan mereka hanyalah menggunakan sistem udara, sehingga api tidak mati dan dapat membakar tumpukan sampah. Alat tersebut hanya terbuat dari besi cor setinggi 120 cm. Bagian bawah di-las sedemikian rupa hingga membentuk segitiga dengan lima garis besi di tengahnya.
’’Dari sini udara nantinya keluar dan memompa api sehingga terus menyala,’’ terang Saliku sambil menunjuk jarinya ke arah bawah.
Sekitar lima sentimeter dari bagian dasar, terdapat delapan besi memanjang secara horizontal sepanjang lima sentimeter. Diatasnya lagi, delapan besi dengan ukuran lebih panjang yakni tujuh sentimeter. Alat ini diletakkan dalam sebuah bangunan seluas 100 cm persegi yang juga digunakan untuk menempatkan sampah-sampah yang nantinya akan dibakar.
’’Alat ini sudah digunakan sejak bulan Januari 2006 lalu, jadi sudah tiga tahun alat ini membakar tanpa henti,’’ ungkap Saliku. Dijelaskan pria yang juga bekerja di bagian telematika Polres Mojokerto ini, saat tahun 2006 lalu, awalnya ia memasukkan alat yang diciptakannya ke dalam bangunan pembakar sampah dan meletakkan sampah-sampah yang akan dibakar.
’’Sampah-sampah yang dibakar awalnya sedikit, lalu di bagian bawah alat ini saya bakar tanpa menggunakan bahan bakar, setelah api membara, sampah lainnya saya masukkan,’’ katanya.
’’Begitu sampah mulai habis, sampah-sampah kembali dimasukkan sehingga api terus menyala hingga tiga tahun lamanya,’’ sambut Kurdi. Sampah-sampah yang dibakar tadi akhirnya menjadi abu yang dapat diambil melalui lubang berukuran 60 cm x 20 cm untuk dibuang.
Tidak jarang sebagian warga memanfaatkan abu hasil pembakaran sampah untuk pupuk tanamannya. ’’Mereka percaya abu ini bisa digunakan untuk pupuk, saya juga tidak melarang mereka mengambil,’’ terang Saliku.
Hasil penemuan yang dilakukan Kurdi dan Saliku akhirnya direspons positif oleh masyarakat sekitar. Tanggapan serupa juga muncul dari pengurus dinas pasar setempat. Kini, sampah-sampah yang ada di pasar hampir seluruhnya dibakar di TPS ini.
Keduanya mengaku tidak mematok harga kepada siapa pun yang ingin menggunakan alat ini. Namun mereka hanya memerlukan dana untuk pemeliharaan saja. Keduanya juga mengaku mendapat uang pemeliharaan dan perawatan dari pengelola pasar sebesar Rp 250 ribu.
’’Ya cukup untuk biaya minum dan rokok,’’ terang Saliku. ’’Saya tidak memiliki maksud dan niat apa-apa saat menciptakan alat ini, semuanya hanya keinginan untuk mengatasi masalah sampah,’’ ujar Kurdi.
Dalam sehari, alat ini bisa membakar 3 sampai lima ton sampah yang berasal dari warga dan pasar. Selain dikelola oleh mereka berdua, pengelolaan sampah juga dibantu oleh Bambang Suharto, yang tak lain adalah adik ipar Saliku. ’’Bambang bertugas membawa sampah-sampah dari pasar untuk dibakar di sini,’’ kata Saliku.
Baik Saliku maupun Kurdi menceritakan awal penemuan alat ini. ’’Tiga tahun lalu saya melihat tayangan televisi yang membahas persoalan sampah, dari situ saya tercetus ide membuat alat yang bisa membakar sampah, akhirnya saya dan Pak Kurdi langsung membuat desain alatnya,’’ terang Saliku.
Hanya berbekal keyakinan dan sedikit modal, keduanya membuat alat yang diyakininya bisa mengatasi persoalan sampah. ’’Setelah beberapa lama, alatnya jadi dan langsung di-ujicoba-kan, hasilnya tidak mengecewakan,’’ ungkap Kurdi yang mengaku pernah bekerja sebagai pemborong.
Kini, keduanya telah membuat satu lagi alat sebagai pengganti alat lama. ’’Yang lama memang perlu diganti, sudah tiga tahun terbakar,’’ ungkapnya.
Bangunan yang digunakan untuk membakar sampah rencananya juga akan diperbaharui dengan menambah alat cerobong asap sehingga asap yang keluar tidak mengganggu warga lainnya.

Selengkapnya...

1.22.2009

Berkah Penemuan Sumur Tiban Di Desa Nglele Kecamatan Peterongan






Dianggap Bisa Menyembuhkan Penyakit, Dimanfaatkan Warga Membangun Masjid

Penemuan Sumur Tua di Desa Nglele Kecamaatn Peterongan Kabupaten Jombang rupany membawa berkah tersendiri bagi para warga. Dengan mengandalkan uang sukarela dari pengunjung, para warga berharap bisa membangun masjid.

AIRLANGGA-Jombang.


Suasana disebuah jalan yang terletak di Dusun/Desa Nglele Kabupaten Jombang kini yang biasanya sepi kini mendadak menjadi ramai. Para warga yang biasanya beraktifitas menjalani kesehariannya ke tengah sawah atau membuat bata, kini sebagian memiliki kegiatan lain, yaitu menjaga sumur tiban yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit.
Warga sendiri menamakan sumur tersebut bernama Tiban dengan alasan,sumur tersebut dianggap membawa rejeki bagi masyarakat sekitar. Sehingga seolah-olah, warga ketiban rejeki dengan ditemukannya sumur berdiameter 120 cm yang terbuat dari tanah liat
Saat memasuki gerbang desa, para warga sudah bisa menebak orang-orang yang datang ke desanya. ‘’Pasti ingin ke sumur tiban ya mas,langsung terus lurus lalu belok kiri,’’ ujar salah seorang warga yang berjualan bensin di pinggir jalan.
Siang itu, sekitar lima pemuda warga setempat tampak sibuk mengatur lalu lintas jalan yang selalu kedatangan motor pengunjung. Beberapa diantara mereka memberikan karcis parkir yang diberi tarif Rp.2000 setiap motornya.
Untuk menuju tempat sumur tiban yang dianggap keramat, para pengunjung memang diharuskan berjalan sepanjang 200 meter melewati jalan setapak slebar 2 meter di tengah sawah. Jalan tersebut baru saja dibuat sejak ditemukannya sumur lima hari lalu.
Di lokasi sumur, sejumlah warga yang menamakan mereka panitia sumur tiban menyiapkan sebuah tenda yang terbuat dari besi. Tenda tersebut bekas penutup kereta kelinci milik salah seorang warga.
Dibawah tenda, disiapkan tiga ember yang berisi air ari sumur tiban. Panitia memang sudah menyediakan ember agarpara pengunjung tidak saling berebut mengambil air.
Selain tenda yang berisi lima ember, di sekitar sumur juga diberi tenda. Disekitar tenda terapat satu orang yang brtugas mengambil air sumur.
Dia adalah Hanik,38,warga sekitar. Hanik mengaku, sejak ditemukan sumur tersebut, ia bertugas mengambil air didalam sumur untuk diberikan kepada para pengunjung.
‘’Saya jaga dari pagi sampai malam, kalau capek gantian dengan teman saya,’’katanya.
Selama ini, menurutnya, warga yang datang ke sumur untuk meminta air memang sangat banyak. Terutama kalau menjelang sore ataupun maghrib.
Menurut Hanik, saat ini warga Desa Nglele yang menjadi paniti sumur tiban sebanyak 20 orang yang berjaga dari tmpat parkir hingga tempat sumur.
Empat diantaranya brtugas jaga malam agar tidak ada orang-orang yang iseng memasukkan sesuatu kdalam sumur.
Seiap harinya, lokasi sumur tiban slalu buka mulai pukul 06.00 hingga pukul 22.00.
‘’kalau ada pengunjung dari luar kota yang datang malam hari, tetap dilayani,’’ kata Hanik.
Menurut ketua panitia sumur tiban, Zainuri,46, ia dan para warga memang tidak mengumumkan kalau air yang ada di sumur tersebut bisa menyembuhkan penyakit. ‘’Justru yang percaya itu warga,’’ kata adik pemilik tanah tempat ditemukannya sumur tersebut.
Sepanjang jalan menuju lokasi sumur, banyak pengunjung membawa jerigen dan beberapa botol sebagai tempat air. Mereka memang percaya kalau air jernih dari sumur tersbeut bisa menyembuhkan penyakit.
‘’Saya memang agak tidak percaya, tapi namanya mencoba ya saya datang,’’ kata Nurochmah,31, warga Magersari Kota Mojokerto.
Sejak merebaknya kabar penemuan sumur tiban yang dianggap keramat didesa Nglele, setiap harinya banyak pengunjung yang mendatangi lokasi tersebut. Tidak jarang diantara pengunjung ada yang membasahi seluruh badannya menggunakan air. Salah satunya adalah Ainur,53 yang memiliki penyakit rematik.
‘’Saya sengaja menyiram badan saya pakai air sumur biar rematik saya cepat sembuh,’’ katanya.
Meski belum terbukti secara pasti kalau air didalam sumur bisa menyembuhkan penyakit, nmaun faktanya, masyarakat sudah terlanjur percaya. Bahkan, kabar tentang sumur ini beredar luas hingga ke luar kota.
Selain dari Jombang,para pengunjung yang datang juga berasal dari luar kota seperti Mojokerto,Pasuruan,Sidoarjo dan Surabaya.
Akibat seringnya kedatangan pengunjung, tentu saja dapat memberikan berkah tersendiri bagi warga Dusun/Desa Nglele Kecamatan Peterongan.
Dalam tiap harinya, menurut Zainuri, uang sukarela yang dibrikan pngunjung bisa mencapai Rp.350 ribu hingga Rp.50 ribu.
‘’ kami tidak memasang tarif karna tidak menjual air dari sumur, uang yang diberikan dari pengunjung semuanya sukarela,’’ katanya.
Uang hasil pemberian pengunjung tersbeut,menurut Zainuri, renvcananya akan digunakan mebangun masjid di Desa Nglele.
‘’Sebagian akan diberikan kepada warga yang membantu menjadi panitia sumur tiban,’’ katanya.
Zainuri dan para warga berharap, pemerintah mau mmberikan perhatian atas itemukannya sumur tua di desanya.
‘’Ya mungkin bisa dilakukan pnelitian atau pmrintah juga bisa memberikan bantuan, kalau bisa dijadikan obyek wisata agar warga sini bisa terjamin,’’ katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, hari Minggu (24/8) lalu, seorang warga Desa Nglele bernama Imam tanpa sengaja menemukan sebuah sumur tua yang terbuat dari tanah liat sat ia akan memacul tanah mencari bahan baku membuat batu bata. Saat ditemukan, sumur berdiameter 120 cm tersebut dalam keadaan tertutup seperti sebuah gentong besar.
Begitu dibuka, ia kaget dari dari lubang mengeluarkan air. Setelah air berhenti, barulah ia sadar jika yang ditemukannya adalah sebuah sumur.
Hingga kini, asal usul serta umur sumur yang diberi nnama warga sekitar sumur tiban ini masih belum diketahui dengan jelas. (ang)
Selengkapnya...

1.19.2009

Melihat Kesenian Ujung Yang Mulai Terlupakan








Tiap Pemain Hanya di Bayar Rp 10 Ribu, Saling Memukul Tanpa Dendam

Kabupaten Mojokerto banyak menyimpan sejarah dan kesenian. Kesenian tersebut kebanyakan peninggalan masa Kerajaan Majapahit. Salah satunya adalah kesenian tarung yang bernama Seni Ujung. Di masa sekarang, Seni Ujung sudah mulai terlupakan.

AIRLANGGA-Mojokerto


Suasana ramai dan meriah sangan terasa di sepanjang jalan desa yang terletak di Desa Salen Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto. Di sisi kanan dan kiri jalan desa yang selebar 5 meter di penuhi berbagai penjual makanan. Di ujung jalan, terlihat banyak orang berkerumun sambil berteriak.
Suara gendhing karawitan terdengar kencang saat mendekati sebuah rumah yang saat itu sedang melakukan hajatan sunat.
Ratusan warga berkumpul mengelilingi sebuah panggung berukuran 5x5 meter. ’’Ayo gepuk, ojo loyo (ayo pukul, jangan lemas,Red.),’’ teriak seorang bapak yang mengenakan peci hitam dari bawah panggung berteriak menyemangati dua orang yang bertarung di atas panggung.
Dari atas panggung tampak dua lelaki bertubuh kekar saling berhadapan.dengan tatapan tajam, keduanya seakan siap bertarung.
Setelah seorang berpakaian hitam mengangkat tangan, keduanya saling melangkahkan kaki kedepan sambil mengangkat tangan yang memegang kayu rotan. Saat melangkah kedepan, keduanya berjoget mengikuti irama musik karawitan yang mengalun.
Salah seorang pemain pun memukul tepat mengenai punggung hingga mengeluarkan darah. Namun tidak terllihat rasa sakit. Kedau pemain saling tersenyum, bahkan sesekali tertawa sembari berjoget.
Setelah memukul, kini pemain tadi harus bersiap menangkis pukulan lawannya. Atraksi pukul memukul dilakukan secara bergantian.
Kedua orang tersebut bukanlah akan bertinju, apalagi sedang melakukan atraksi pencak silat. Namun, keduanya sedang melakukan pertunjukkan seni Ujung.
Dengan menggunakan kayu rotan, kedua lelaki tersebut saling memukul secara bergantian. Setelah terpukul ataupun memukul, kedua lelaki tersebut berjoget mengikuti irama lagu karawitan.
Selain kedua ’’petarung’’, diatas panggung juga terdpat tiga lelaki berpakaian serba hitam. Ketiga lelaki ini biasa disebut sebagai kemlandang atau juri. Salah satu dari kemlandang membawa bakul (tempat nasi,Red) yang didalamnya berisi beras kuning.
Sedangka dua lainnya melihat apakah terjadi pelanggaran atau tidak.
’’Ayo beri semangat, tepuk tangannya,’’ ujar kemlandang kepada para penonton agar terus menyemangati para pemain sementara keduanya berjoget setelah saling memukul.
Kedau pria yang bertarung salung memukul lawannya secara bergantian. Tak jarang, dari mereka mengeluarkan darah. Namun hal tersbeut tidak mengurangi rasa bahagia ataupun menimbulkan rasa takut bagi pemainnya.
Setelah hampir tiga menit saling memukul, keduanya dipisahkan dan saling bersalaman tanpa adanya dendam. Saat dibawah panggung, tampak beberapa orang memberikan kulit pisang yang ditempelkan ke luka akibat terkena sabetan rotan. ’’Ini gunanya untuk mempercepat sembuh luka,’’ ujar Akhmad,34, salah seorang pemain.
’’Pertama kena ya rasanya panas dan perih, tapi namanya juga kesenian, ya begini ini,’’tambah Akhmad.
Setelah kedua pemain turun dari panggung, kedua pria lainnya kembali naik panggung. Kebanyakan para pemain adalah penonton pria. Bahkan diantara mereka ada pria yang sudah lanjut usia ataupun anak-anak. Tentu saja lawan mereka disesuaikan dengan umur.
’’Kesenian ini bukanlah pertandingan, jadi tidak ada yang menang ataupun yang kalah,’’ ujar Sri Waluyo Widodo,55, pemimpin Paguyuban Seni Ujung Moyang Mulia.
Menurutnya, kesenian adalah peninggalan jaman dahulu kala. Awalnya, kesenian peninggalan Majapahit ini merupakan suatu ritual yang bertujuan untuk meminta hujan pada Tuhan ayng Maha Esa. ’’Tetapi karena perkembangan jaman, maka seni ujung dijadikan suatu kesenian yang perlu dilestarikan,’’ ujarnya sambil tersenyum.
Lebih lanjut, menurut Sri Waluyo Widodo, di dalam Seni Ujung tidak ada unsur permusuhan ataupun unsur balas dendam. ’’ Seni Ujung juga tidak ada yang kalah atau menang, ini hanya seni,’’ tambahnya.
Meski saling memukul, kesenian ini juga memiliki peraturan. ’’Daerah badan yang boleh di bonggol (dipukul,Red) hanyalah bagian badan saja, sedangkan bagian kepala,leher dan bagian di bawah badan tidak boleh dipukul,’’ ujarnya.
Kedau pemain juga mendapatkan upah yang diberikan setelah permainan. Satu kali permainan biasanya tiap pemain akan diberikan honor sebesar Rp.10.000. ’’ honor tersebut akan ditambah hingga Rp.25 ribu hingga Rp.50. ribu jika keduanya sama baiknya,’’ jelasnya.
Sebelum melakukan kesenian ini, biasanya dilakukan ritual yang bertujuan untuk keselamatan. ’’sebelum dilakukan acara Ujung, selalu diadakan bancaan (sukuran,Red.). proses ini biasanya seperti semacam tumpengan tapi ada sandingannya yaitu makanan yang diletakkan di sisi tumpeng seperti pisng, kelapa dan beras’’ jelasnya.
Sandingan yang dimaksud memiliki arti di setiap makanan yang disajikan. ’’Gedhang (pisang,Red) berarti Ndhang-ndhang, maksudnya agar keinginan yang diharapkan segera tercapai. Beras berarti Wos , maksudnya adalah menghilangkan rasa was-was atau rasa takut. Sedangkan kelapa atau klopo artinya tidak terjadi apa-apa atau agar tidak ada sesuatu yang tidak diinginkan,’’ jelasnya.
Menurutnya, kesenian ujung saat ini memang terlupakan oleh generasi muda saat ini. ’’Saat ini memang terlupakan, setahu saya hanya di Desa Salen yang ada paguyuban kesenian Ujung,’’ katanya.
Paguyuban kesenian Ujung yang dipimpinnya memang jarang melakukan pertunjukkan. ’’Dalam setahun paling hanya lima kali, itu juga kalau ada yang nanggap, (menyewa,Red.)’’ katanya.
Paguyuban yang dipimpin oleh sri Waluyo Widodo memang paguyuban yang bertujuan untuk melestarikan kesenian Ujung. Paguyuban bernama Moyang Wijaya ini sudah lama berdiri. ’’Saya meneruskan tradisi ayah saya, sebelumnya yang mengurus paguyuban memang ayah saya,’’ katanya.
Kini, meski tanggapan sepi, tetapi paguyubannya memiliki anggota berjumlah 60 orang. ’’Mereka selalu latihan di paguyuban secara rutin, latihannya seperti cara menangkis, membonggol (memukul,Red,) yang benar,’’ katanya.
Selengkapnya...

Derita Sripah Yang Menderita Penyakit Aneh





Terbaring Di Ranjang Selama Delapan Tahun, Hanya Bisa Pasrah.


Tidak ada seorang pun menginginkan menderita penyakit . Apalagi jika sakit yang diderita dalam waktu lama. Termasuk juga Sripah,48,yang harus terbaring lemas di ranjang kamarnya hampir selama delapan tahun. Meski sudah diperiksa oleh tim medis, jenis penyakitnya masih belum diketahui.

AIRLANGGA-Pacet


Pagi itu sekitar pukul 10.00 kemarin (2/11), awan mendung menyelimuti sebuah Dusun bernama Mojoroto yang terletak di Desa Petak Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. suasana sepi pun terasa di sekeliling desa yang berada di dataran tinggi
Sebuah rumah kecil yang berdindingkan batu bata tanpa dilapisi dengan cat serta beralaskan tanah berdiri di antara rumah-rumah dusun tersebut. Di rumah dengan kesan belum jadi,terbaring seorang perempuan setengah baya yang tergolek lemas tidak berdaya.
Sripah, begitu seluruh tetangganya memanggil sebutan namanya. Sudah delapan tahun ini, Sripah tidak pernah bercengkrama dengan para ibu-ibu disekitar rumahnya. Aktifitas yang selalu dilakukan oleh para kaum ibu kebanyakan.
Sripah bukanlah seorang perempuan yang angkuh, dan bukan pula seorang perempuan yang tidak ingin bersosialisasi. Namun, penderitaan yang dialaminya lah yang memaksa ia untuk tidak bisa keluar rumah. Sripah menderita suatu penyakit yang aneh. Akibat penyakitnya tersebut,perempuan berusia 48 tahun ini tidak dapat keluar rumah. Jangankan keluar rumah, untuk beranjak dari ranjangnya saja ia tidak mampu.
Di kamar berukuran sempit dan pengap, Sripah tampak sendirian ditemani beberapa bantal dan selimut yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabat sejatinya. Di tempat itu pulalah, Sripah makan, mandi dan buang air kecil layaknya seorang bayi. Tak jarang, Sripah harus memanggil salah satu anggota keluarganya untuk sekedar mendongakkan kepala karena terlalu capek.
‘’Sudah delapan tahun ia seperti ini, saya sudah pasrah begitu pula istri saya,’’ kata Subihan,suami Sripah. Dengan mata berkaca-kaca, lelaki berusia 52 tahun ini mulai bercerita awal mula istrinya terkena penyakit yang dipikirnya aneh tersebut.
Lelaki kurus dengan muka pucat tersebut menceritakan, istrinya mulai terkena penyakit sejak tahun 2001 lalu.
‘’ia mengaku merasa sakit di kepalanya, karena dipikir sakit biasa, ia hanya minum obat biasa saja,’’ katanya.
Sakit kepala yang diderita istrinya pun tidak kunjung sembuh selama tiga bulan. Karena khawatir, dengan biaya pas-pasan, Subhan mengantarkan istrinya ke Rumah Sakit Sumber Glagah Kecamatan Pacet. ‘’Hasil pemeriksaan di sana katanya sakit vertigo saja,’’ kata Subhan sembari tidak mengijinkan wartawan mengambil gambar istrinya.
Namun dua tahun kemudian, sakit yang diderita istrinya tidak juga kunjung sembuh. Ia pun memeriksakan ke Rumah Sakit Prof Dr.Soekandar Mojosari. Lagi-lagi usahanya tidak membuahkan hasil. Ia pun kembali ke rumah sakit tersebut pada tahun 2005. saat itu, istrinya sempat diopname selama satu minggu. Terhitung, sudah empat rumah sakit yang pernah dikunjungi untuk mengobati istrinya. ‘’Bahkan ada satu rumah sakit yang mendiagnosa hanya sakit migrain saja,’’ katanya. Namun tetap saja istrinya mengalami sakit kepala yang luar biasa.
Semakin hari, sakit yang diderita Sripah pun semakin parah. Tidak kenal putus asa, Subhan pun mencoba cara lain. Kali ini, ia berharap mendapat kesembuhan bagi istrinya di tangan pengobatan alternatif. Sudah beberapa ahli pengobatan didatanginya, akan tetapi, hasilnya sama saja. ‘’istri saya tidak ada perubahan, justru semakin parah,’’ katanya.
Kini, secercah harapan pun seakan-akan telah sirna bagi kedua pasangan suami istri yang telah dikaruniai dua cucu ini. Bukan hanya sakit yang diderita istrinya saja yang saat ini ia bingungkan. Lebih dari itu, saat ini Sripah sepertinya telah kehilangan tekat untuk bisa lepas dari penyakitnya. Hal ini dipicu puluhan kali usahanya berobat yang selalu menemui kegagalan. ”Istri saya sudah kapok dan putus asa, baik dengan medis maupun pengobatan alternatif. Dia sudah pasrah dan tak mau berobat,” tukasnya. Keluarga Sripah pun secara bergantian mengunjungi dirinya yang hanya bisa menyaksikan keceriaan cucunya dari atas ranjang. Kedua cucunya berharap, neneknya dapat bercanda dengan dirinya.
Kondisi demikian itu, tak pelak membuat Subihan tak bisa menjalani aktivitas lain selain menunggu istrinya itu. Bahkan untuk mencari nafkah saja, ia sudah tak punya waktu, selain alasan sulitnya mencari pekerjaan.
‘’Istri saya tidak bisa ditinggal meski semenitpun, saya harus berada disampingnya setiap saat, bahkan untuk salat Jumat saja, saya selalu memilih waktu terakhir. Karena dia sama sekali tak mau ditinggal,” ungkapnya.
Praktis dalam kondisi demikian, ia juga dirundung masalah ekonomi yang serius. ”Tak ada penghasilan untuk menghidupi istri. Untuk makan, harus seadanya, dan selama ini, kami dibantu anggota keluarga lain,” keluhnya.
Sejauh ini, Subihan mengaku belum mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Salah seorang tetangganya berharap, pihak terkait mau memberikan bantuan. Ia kini mengaku hanya bisa pasrah tentang cobaan yang dialaminya. ‘’Saya hanya ingin istri saya bisa sembuh dan kembali seperti semula,’’ katanya.

Selengkapnya...

1.17.2009

Makanan dalam Tradisi Tionghoa Bernuansa Imlek






Kue Mangkok dan Kue Keranjang Jadi Sajian Wajib

Banyak cara yang dilakukan warga Tionghoa ketika menyambut Tahun Baru Imlek. Yang paling khas adalah hidangan serba merah dan manis.


AIRLANGGA, Mojokerto

Makanan-makanan tersebut meliputi kue lapis legit, kue mangkok dan kue keranjang. Makanan khas ini memang sangat berarti buat mereka yang merayakan Tahun Baru Imlek. Tidak hanya untuk menjamu leluhur dan sebagai wujud syukur agar di tahun depan mendapat rezeki yang melimpah. Tetapi, aneka panganan tersebut adalah sarana berinteraksi dengan kerabat dan tetangga
Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan. Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di China, hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan arak.
Di Indonesia, sajian yang dipilih biasanya hidangan yang mempunyai arti kemakmuran, panjang umur, keselamatan, atau kebahagiaan dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur. Kue-kue yang dihidangkan biasanya lebih manis daripada biasanya. Ini merupakan pertanda filosofi pengharapan. Agar kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih ’’manis’’. Selain itu, dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.
’’Setiap kue memiliki arti dan filosofi tertentu, jadi tidak sembarang kue,’’ ujar Amelia, 50, salah pengurus TITD Hok Sian Kiong Kota Mojokerto.
Amel menceritakan, kue yang dihidangkan biasanya kue keranjang dan kue mangkok. ’’Kue mangkok dan kue keranjang juga merupakan makanan yang wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru Imlek,’’ tambahnya.
Biasanya, lanjut Amelia, kue keranjang disusun secara vertikal dengan kue mangkok berwarna merah di bagian puncaknya. ’’Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok,’’ katanya.
Pada waktu Imlek, makanan yang tidak boleh dilupakan adalah lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan kolang-kaling. Ini agar pikiran menjadi jernih, disediakan agar-agar yang dicetak seperti bintang sebagai simbol kehidupan yang terang.
Salah seorang warga yang merayakan Imlek, Gede Sidharta,45,warga Jl. Majapahit Kota Mojokerto mengatakan, perayaan Imlek berasal dari kebudayaan para petani, segala sesuatu bentuk persembahan berupa berbagai jenis makanan. ’’Imlek memang tidak lengkap jika tidak ada makanan yang manis-manis,’’ ujarnya.
Ia menambahkan Imlek bukan sekadar ritual tahunan biasa dan budaya melulu. Melainkan perpaduan antara budaya dengan kepercayaan. ’’Lumrahnya, hari raya apa pun biasanya dilengkapi dengan suatu hidangan khusus, seperti kue keranjang,’’ tambahnya.
Aneka panganan ini banyak dijumpai di beberapa toko di Kota Mojokerto. salah satu pertokoan yang menjual makanan khas Imlek adalah Toko Sanrio yang di Jl. Bhayangkara.
’’Kami menyediakan beragam panganan yang selalu dibutuhkan oleh mereka yang merayakan Imlek," kata Utami, Manajer Operasional Toko Sanrio.
Utami juga menambahkan, di stannya juga menyediakan kue lapis, yang kira-kira artinya sebagai perlambang rezeki yang berlapis-lapis. ’’Sudah tiga hari ini di Toko Sanrio menyediakan makanan khas Imlek, penjualannya lumayan laris,’’ ujarnya.
Utami menjelaskan, makanan yang dijual di tokonya, didatangkan langsung dari Malaysia. Namun, harga dijualnya cukup terjangkau. Kue keranjang dijual dengan harga Rp 21 ribu/tiap bungkus. Tiap bungkus berisi empat kue.
Utami memperkirakan, penjualan kue khas Imlek akan terus meningkat mendekati hari raya Imlek. Tahun ini Imlek tanggal 26 Januari 2009. ’’Usai Imlek sepertinya juga akan tetap laris, karena masih ada perayaan lagi yakni perayaan Cap Go Meh,’’ katanya. Perayaan Cap Go Meh adalah perayaan hari ke 15 dan perayaan terakhir etnis Tionghoa.
Selengkapnya...

1.15.2009

Bila Hubungan ’’Gelap’’ Korbankan Janin Tak Berdosa









Bayi pun Dibungkus Plastik dan Dibuang di Pinggir Sungai

Kasus pembuangan bayi tak berdosa masih saja terjadi. Umumnya pasangan muda-mudi atau mereka yang melakukan hubungan ’’gelap’’ enggan dinodai dengan kehadiran sang bayi. Lalu pantaskan janin tak berdosa menjadi korbannya?

AIRLANGGA, Jetis

WARGA Desa Parengan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Rabu (14/1) sore dibuat geger. Sesosok janin bayi berusia tujuh bulan ditemukan warga di pinggir waduk desa setempat. Saat ditemukan, bayi berjenis kelamin laki-laki dengan panjang 60 cm ini terbungkus kain kafan putih berukuran 80 cm x 100 cm di dalam kantong plastik warna hitam.
Janin bayi yang diduga hasil hubungan gelap ini kali pertama ditemukan oleh warga sekitar bernama Arif, 25, warga Dusun Sidolegi, Desa Parengan, Kecamatan Jetis sekitar pukul 17.00. Saat itu, ia bersama keenam temanya masing-masing bernama Herianto, 25; Usman, 25; Mahfud, 22; Udin,18; Anton, 20 dan Haryono,18 mencari ikan di waduk Gondang.
’’Sebelum mencari ikan, saya dan Herianto bermaksud mencari plastik tempat ikan yang nanti didapat,’’ ujarnya. Sekitar 100 meter dari tepi waduk, Arif dan Herianto menemukan kantong plastik besar.
Namun Arif kaget begitu plastik yang dipegangnya ternyata berisi benda aneh. ’’Saya tidak tahu isinya apa, yang jelas mengeluarkan bau tidak sedap, awalnya saya pikir itu bnagkai kucing atau anjing,’’ sambung Herianto.
Setelah dibuka oleh Arif, ketujuh pemuda tersbeut semakin terperanjat saat mengetahui yang ditemukannya adalah sesosok bayi. Saat itu pula mereka membawa plastik yang berisi janin bayi ke kepala dusun setempat. ’’Setelah ke rumah kepala dusun ternyata orangnya tidak ada,’’ ujar Arif. Ketujuh pemuda ini segera berinisiatif membawa janin bayi ke kantor kelurahan. Oleh pihak kelurahan, janin tersebut dibawa ke puskesmas setempat dan segera dilaporkan ke Mapolsek Jetis.
Kabar ditemukanya bayi di desa ini mengundang warga sekitar mendatangi puskesmas untuk melihat janin yang tidak berdosa tersebut. ’’Kasihan bayinya, mungkin ini hasil hubungan gelap, yang jelas warga sekitar sini tidak ada yang hamil,’’ ujar Sri Utami, 45, warga sekitar.
Oleh pihak kepolisian, janin bayi tersebut segera dibawa ke ruang jenazah RSUD dr Wahidin Soediro Husodo guna dilakukan visum. Dari hasil pemeriksaan sementara, janin bayi ini dipastikan dikeluarkan dengan cara paksa atau abortus. ’’Kalau melihat ari-ari yang masih menempel, bayi ini dikeluarkan dengan paksa dengan cara abortus, namun caranya belum diketahui,’’ ujar dokter jaga UGD, dr M. Saian Mukti.
Dokter yang akrab disapa dokter Ian ini juga menganalisa setelah keluar dari rahimnya, bayi sempat hidup dan menangis. ’’Jika dilihat dari retraksi tulang dada dan mulut yang terbuka, bayi ini sempat bernafas dan menangis, kemungkinan ia tewas karena sengaja dimatikan (dibunuh, Red),’’ ujarnya.
Ia juga memastikan umur janin bayi ini sekitar tujuh hingga delapan bulan. ’’Bentuk alat kelaminnya sudah terlihat, tulang-tulangnya juga sudah jelas,’’ katanya.
Sementara itu, Kapolsek Jetis AKP Trisno Yuwono mengatakan, pihaknya akan melakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa pelaku pembuangan bayi. ’’Saat ini masih dilakukan pemeriksaan saksi-saksi,’’ ujarnya.
Selengkapnya...

1.14.2009

Nilai Sosial Yang Mulai Punah



SOMWHERE-Entah karena salah asuhan atau keseringan melihat film dewasa, anak-anak mulai kehilangan jiwa sosialnya. Hal ini terlihat dari foto berikut yang memperlihatkan seorang siswi SD menunjukkan jari tengahnya kepada seorang pengemis. Hal ini merupakan sikap yang tidak pantas dilakukan seorang anak kecil terutama kepada pengemis yang sudah uzur. (ang) Selengkapnya...

1.12.2009

Pak Dur yang Menjadi Bok Ponten Selama 30 Tahun





Menjadi Penjaga Ponten Selama Tiga Puluh Tahun Sejak Di Tinggal Sang Istri


Hampir 30 tahun lamanya, Pak Dur “mengabdikan” dirinya sebagai penjaga ponten atau toilet umum. Namun dirinya tidak pernah putus asa. Ia tidak pernah mengemis atau ingin di kasihani oleh siapa pun. Banyak harapan yang masih ingin dia capai di usia nya yang sudah renta.


AIRLANGGA, Mojokerto


Seorang perempuan baru saja keluar dari salah satu bilik toilet umu berukuran 4 x 4 meter2. Perempuan setengah baya tersebut lalu menyodorkan selembar uang seribu rupiah kepada Abdurhakim,74, nama lengkap Pak Dur. “ini pak uangnya,” ujar seorang perempuan tersebut. “wis nggak ono susuk’e, engko ae,(sudah, tidak ada kembaliannya, nanti saja,Red.)” ujar Pak Dur dengan ucapan yang lirih.
Setelah dengan ikhlas “menolak” pemberian salah satu warga yang menggunakan ponten yang dijaganya, Pak Dur kembali melanjutkan menimba air yang hampir kosong dengan tangan kanannya yang terlihat sudah tidak kuat menahan beban.
Air di bak kamar mandi pun penuh. Pak Dur kembali ke kursinya yang terletak diantara dua kamar mandi. Di tempat itulah,PakDur menghibur diri dengan sebuah radio lama. Sebuah lagu campusari pun terdengar meski suaranya tidak jelas karena radio yang sudah tua.
Sesekali dengan sorot matanya yang sayu, bapak dua anak ini menghela nafas kelelahan.
Pak, Dur, begitu orang-orang sekitarnya menyapa, tampak kaget melihat wartawan Radar Mojokerto yang datang. Wajahnya terlihat curiga melihat orang yang tiadk pernah dia kenal sebelumnya datang ke tempat dia. Maklum, setiap harinya, Pak Dur tidak pernah kedatangan orang asing. Setiap orang yang datang hanya untuk buang air kecil atau buang air besar. Ia tidak pernah berbincang-bincang dengan siapapun.
Meski begitu, setiap orang di kampungnya mengenal sosol Pak Dur.
Berkat teman Pak Dur yang biasa dipanggil Cak No, ia akhirnya menyambut ramah, meski tatapannya kosong. “saya ndak punya apa-apa untuk diceritakan,” ujarnya.
Awalnya, Pak Dur enggan bercerita dengan kisah hidupnya sebagai penjaga ponten, namun setelah diyakinkan, pria tua ini akhirnya mau berbagi cerita.
Pak Dur memang sudah lama menjaga sebuah toilet umum yang berada di depan Gang II Kelurahan Magersari Kelurahan Magersari Kota Mojokerto. Disinilah ia selalu menghabiskan waktunya dengan hanya mengandalkan uang menjaga toilet.
“saya menjaga toilet ini sudah 30 tahun lebih, sehari-hari saya ya disini ini, mau usaha lain juga sudah tidak kuat,” ujarnya.
Memang,karena faktor usia, tubuhnya terlihat lemah. Badannya sangat kurus dan nada bicaranya pelan.
Ia menceritakan, sebelum menjadi penjaga toilet umum, dirinya pernah bekerja sebagai buruh pabrik rokok sekitar tahun 1970-an. Saat menjadi buruh, Pak Dur tinggal bahagia bersama istri dan dua anak laki-lakinya meski hanya tinggal pas-pasan.
Namun, kebahagiaan bersama keluarganya hanya bertahan selama sepuluh tahun. Istri yang sangan dia cintai pergi tanpa alasan yang jelas. Beberapa bulan kemudian, barulah Pak Dur tahu bahwa istrinya sudah menikah dengan seorang pengusaha keturunan. Tidak hanya itu, kedua anaknya juga pergi meninggalkan dia.
‘’istri saya nikah sama wong sugih (orang kaya,Red.),saya sakit hati sekali,’’ katanya.
Tidak hanya itu, kedua anak laki-lakinya pun pergi merantau setelah ditinggal oleh ibunya.
Mengetahui istri nya telah menikah dan ditinggal kedua anaknya, Pak Dur sempat depresi. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik rokok dia tinggalkan. Pak Dur kini hidup sebatang kara. Selama beberapa saat, hidupnya hanya bergantung pada belas kasihan orang lain.
Setelah beberapa lama hanya tergantung dari belas kasihan orang lain, hati Pak Dur pun bergejolak. “beruntung waktu itu ketua RT sini, saya lupa namanya, menawarkan untuk menjaga toilet yang baru dibangun. Pak RT dan beberapa warga juga menyemangati saya,” katanya dalam bahasa jawa yang kental.
“Pak RT menyuruh saya mengelola toilet ini, katanya penghasilannya saya ambil saja,’’ tambahnya.
Kini, hampir 30 tahun sudah Pak Dur menjalankan ‘’amanat’’ untuk menjaga toilet umum yang memiliki dua kamar mandi serta satu pompa air. Meski tidak mendapat bayaran tetap, Pak Dur selalu rajin merawat toliet umum yang memiliki luas 10 x 4 meter ini.
“saya juga yang membelikan pompa dengan uang saya sendiri,’’ ujarnya. Pak Dur memang bertekad untuk merawat toilet tersebut dengan hasilnya sendiri.
“Rencanya saya ingin mengecat bagian bawah bak, karena sudah lumuten (berlumut,Red.),’’ujarnya.
Saat disinggung tentang pendapatan yang diperoleh, dengan lugu ia menjawab perhari mendapat uang antara Rp 5 ribu hingga Rp. 10 Ribu. ‘’tergantung banyaknya yang memakai toilet,” ujarnya.
‘’Bisanya saya datang pukul 07.00 wib sampai pukul 01.00 wib,’’ ujarnya. Setelah pulang, Pak Dur tidur di sebuah teras rumah milik warga yang memberikan ijin kepada nya untuk tinggal. Memang, selama ini Pak Dur tidak memiliki tempat tinggal tetap. “saya setiap hari ya tidur di emperan di rumah bu Amanah (pemilik rumah,Red),” ujarnya dengan tangan menunjuk ke arah timur.
Meski hanya seorang penjaga toilet yang sudah uzur, namun Pak Dur menyimpan harapan yang masih ingin dia raih. ‘’sudah tiga puluh tahun saya tidak pernah bertemu dengan anak saya. Meski dia sekarang sudah sukses dan saya kere ( miskin,Red.) tapi saya ingin bertemu anak saya dan tahu kabarnya, itu saja,’’ katanya. Saat menceritakan tentang kedua anaknya, terlihat kedua matanya yang sudah rabun mulai berkaca-kaca.
Selama ini, pak Dur merasa kalau anaknya malu bertemu dengannya. “anak saya sudah sukses, mungkin malu punya bapaknya seperti ini.Setahu saya dia sudah di luar kota,’’ tambahnya.
Adzan dari sebuah masjid pun berkumandang. Saat itulah Pak Dur mengakhiri cerita kisah hidupnya. ‘’saya ingin sembahyang jumat dulu di masjid,’’ ujarnya.
Pak Dur adalah sosok masyarakat miskin yang ada disekitar kita, namun keberadaannya justru luput dari perhatian kita.

Selengkapnya...

Rebut Berkah Troloyo





TROWULAN - Suasana Makam Troloyo di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto kemarin terasa lain. Ribuan warga dari berbagai daerah menghabiskan waktu sepanjang sore untuk mengikuti Kirab Budaya Grebeg Haul ke-633 Syech Jumadil Kubro. Satu ritual yang ditunggu warga adalah “rebut berkah” berupa makanan yang telah didoakan.



Acara Kirab dimulai pukul 15.30 dari Pendapa Agung Trowulan menuju Makam Troloyo. Sepanjang tiga kilometer jalanan penuh lautan manusia. Warga tak sekadar menonton iring-iringan peserta kirab. Melainkan juga ingin melihat langsung ritual yang diakhiri dengan rebutan makanan itu.

Kirab tersebut di antaranya mengusung pusaka, bendera gulo klopo, makanan, hasil bumi, serta sejumlah barang lainnya. Setiba di Makam Troloyo, rombongan disambut oleh Bupati Mojokerto Suwandi

Orang nomor satu di Kabupaten Mojokerto ini yang menerima langsung bendera gulo klopo dari salah satu peserta kirab. Prosesi dilanjutkan dengah ziarah ke Makam Syech Jumadil Kubro, salah satu ulama penyebar agama Islam. “Kegiatan ini selain meningkatkan keimanan dan ketakwaan, juga untuk mengangkat budaya,” kata Bupati Suwandi

Usai ziarah, giliran acara yang ditunggu warga, yaitu rebut berkah. Usai didoakan seorang ulama, makanan dan hasil bumi yang tersaji langsung diperebutkan pengunjung. Ada yang ingin mendapatkan buah-buahan, sayur-mayur, bahkan ada yang ingin mendapatkan keranjang makanan.

“Kalau dapat keranjang, berkahnya lebih besar,” kata Sainah, salah seorang pengunjung asal Perak Jombang yang datang ke lokasi sejak siang hari.
Sementara warga lainnya asyik menikmati makanan yang tersaji di berbagai sudut halaman Makam Troloyo itu. (ang)
Selengkapnya...

1.09.2009

Setelah Limbah Kayu di Tangan Imron, Perajin Pigura asal Pacet






Seminggu, Bisa Hasilkan Omzet Sebesar Rp 77 Juta

Memiliki keahlian mengolah sesuatu yang tak berguna menjadi berguna, niscaya bakal mendatangkan banyak uang. Setidaknya itu dicontohkan Imron, perajin pigura yang menyulap limbah kayu menjadi usaha beromzet puluhan juta



BAU tak sedap dari gosokan kayu limbah yang memenuhi ruangan itu tak mengusik ketenangan para pekerja. Mereka tetap asyik menggosok, memotong atau malah memilah-milah tumpukan kayu limbah di ruangan khusus milik Imron, 40, warga Dusun Mojoroto, Desa Petak, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.
Rumah yang oleh Imron, sejak 16 tahun lalu sudah diubah menjadi tempat khusus untuk bekerja. ’’Memang bahan untuk membuat pigura ini lebih banyak dari limbah pabrik kayu,’’ katanya memulai cerita usahanya sebagai perajin pigura.
Di mata sebagian orang, benda yang sebelumnya berupa potongan-potongan kayu itu lebih banyak berguna untuk kayu atau sejenisnya. Hanya beberapa orang, seperti dirinya yang bergelut di bidang kerajinan pigura yang bersedia menampungnya.
Jika sudah di tangan para perajin pigura, kayu-kayu bekas itu dipilah-pilah dan dipotong seperlunya. Lalu, limbah kayu bekas itu dibentuk sesuai keinginan, ukuran dan macam-macam bentuk pigura.
Limbah sampah kayu inilah yang sejak tahun 1992 lebih digeluti Imron. Dari sebuah benda yang minim nilai ekonomi, Imron menyulapnya menjadi barang-barang kerajinan. Rumah berukuran 25x10 meter yang dijadikan sanggarnya untuk menghasilkan karya-karya kreatif. Ada banyak pigura yang sudah jadi beragam bentuk berjubel memenuhi ruangan. ’’Sebagian besar terbuat dari limbah dan sebagian lagi dari kayu utuh,’’ ujar Imron kalem. Sebagian besar adalah kayu meranti dan pinus.
Persahabatan Imron dengan limbah dan pigura ini dimulai ketika lulusan Universitas Islam Malang (Unisma) ini tak puas dengan pekerjaannya di pabrik kayu. ’’Dulu saya kerja di pabrik pigura, tapi ketika dipikir-pikir kok nggak berkembang kalau hanya bekerja di pabrik,’’ ucap pria berusia 40 tahun ini.
Secara tak sadar, Imron sudah menyerap banyak pengetahuan tentang cara membuat pigura, mulai dari proses awal hingga finishing. ’’Saya sebenarnya hanya bekerja tiga bulan di pabrik pigura, istilahnya saya nyolong ilmunya saja,’’ katanya tertawa.
Setelah merasa sanggup membuat pigura sendiri, Imron, pada 1992 memutuskan keluar pabrik. Dia lalu menjajal untuk mendirikan usaha kecil-kecilan. ’’Dengan modal Rp 3 juta, saya memberanikan diri mendirikan usaha kerajinan pigura,’’ tambah Imron lagi.
Tak cukup memproduksi, Imron dengan dibantu beberapa karyawannya, Imron juga menembus sendiri pemasarannya. ’’Tak hanya memproduksi, kita juga harus menembus pasar, khususnya agen-agen luar kota,’’ katanya. Saat ini, barang-barangnya sudah mengalir berdasarkan pesanan dari agen di Semarang dan Bali serta beberapa kota lainnya di luar Jawa.
Dari sisi estetika, kerajinan pigura yang dihasilkan Imron sebenarnya terkesan ’’sederhana’’. Karena tak banyak macamnya, kecuali satu atau dua motif. Namun dia mengaku minimnya motif itu bukan karena bahan bakunya yang berasal dari berbagai jenis limbah. Akan tetapi bentuk, warna dan hiasan serta asesorisnya, hampir bisa dikatakan tidak memiliki nilai estetis dan tidak mengenal desain karena berdasarkan pesanan. ’’Sudah berdasarkan pesanan, tapi jika ada pesanan dengan model lain, kita akan mengembangkannya,’’ kilahnya.
Saat ini, usahanya sudah bisa mencapai omzet jutaan rupiah. Setiap minggu Imron yang memiliki 80 karyawan ini sudah meraup omzet Rp 77 juta. ’’Hampir 1.000 pigura setiap minggunya,’’ katanya. Baik mulai ukuran 18x18 cm seharga Rp 20 ribu hingga ukuran maksimal 72x120 cm seharga Rp 170 ribu. (*)
Selengkapnya...

1.08.2009

Kisah Pelukis Jalanan Kota Mojokerto.




Bangga Melukis Ariel Peterpan Secara Langsung, Penghasilan Tidak Menentu.


Menjadi Pelukis Jalanan memang bukanlah suatu pekerjaan yang bisa menjanjikan. Namun bagi Suwarno, hal tersebut bukanlah hambatan baginya untuk berkecimpung dalam dunia seni dan terus berkarya.


AIRLANGGA,Mojokerto




Rabu (7/1) malam, jam menunjukkan pukul 20.00. Suasana ramai terasa di sepanjang jalan Mojopahit Kota Mojokerto. Ratusan orang terlihat berlalu lalang diantara puluhan bangunan ruko yang berdiri di sepanjang jalan menghiasi sudut Kota.
Di salah satu ruko di jalan ini, seorang pria tampak serius mengamati sebingkai kanvas yang diletakkan berdiri dengan papan selebar 70cm X 80 cm. Suwarno, begitu rekan-rekannya memanggil, terlihat tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk sekelilingnya. Ia tetap melukis sebuah foto anak kecil yang diletakkan di sebelah kain kanvasnya.
Setiap orang yang melewatinya selalu merasa penasaran untuk memerhatikan apa yang dikerjakannya. Delapan lukisan foto berbagai ukuran terpajang diatas trotoar. Mulai dari gadis cantik, gambar penyanyi yang sedang naik daun hingga gambar pembalap motor. Inilah yang menarik perhatian pejalan kaki.
Tidak jarang ada pula yang memberanikan bertanya meskipun melihat Suwarno tampak serius melakukan pekerjaannya.
‘’Kalau foto saya minta dilukis berapa harganya mas?,’’ tanya seorang pria yang kebetulan melintas di depan ‘’galeri’’ mininya.
Meski terlihat sibuk, tidak ada sedikitpun perasaan terganggu dari benaknya. Dengan sabar ia selalu menjawab pertanyaan setiap orang yang melintas di depannya.
Pelukis jalanan yang biasa mangkal didepan sebuah toko persewaan VCD Jl.Mojopahit Kota Mojokerto ini tak menyiratkan kesan duka saat menceritakan perjalanan hidupnya. ‘’Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling bisa saya kerjakan dengan tidak terbebani,’’ katanya. ‘’Bagaimana terbeban jika bekerja mencari uang sekaligus menyalurkan hobi?’’ sambungnya sambil terus melukis.
Menjadi pelukis jalanan bukanlah cita-cita Suwarno. Tapi, karena tidak memiliki dasar pendidikan yang tinggi, jalan inilah yang harus ia tempuh demi bertahan hidup. Rupanya nasib baik berpihak pada pria berusia 29 tahun ini. “Saya bersyukur bisa seperti ini sekarang. Yang penting adalah mau belajar, mau berpikiran positif, dan ikut perkembangan zaman,” katanya.
Sambil merapikan kursinya, ia menceritakan perjalanan hidupnya hingga memutuskan menjadi pelukis jalanan. ‘’ Awalnya saya memang senang menggambar sejak kecil, sewaktu masih SD, saya jarang mengikuti pelajaran karena setiap guru menjelaskan saya selalu menggambar di buku, entah itu kartun atau tokoh superhero,’’ katanya sambil tersenyum.
Bakat yang dimiliknya sejak masih kecil inipun terus diasah dengan mengikuti berbagai perlombaan. Meski tidak pernah meraih predikat juara pertama, namun lelaki yang dibesarkan di Kabupaten Blora Jawa Tengah ini merasa bangga dengan apa dianugerahkan Tuhan kepadanya. ‘’Saya sangat senang sewaktu menjadi juara harapan, memang bukan juara pertama, tapi sepertinya ada kebanggan dalam hati saya,’’ katanya. Setamat dari SMA, ia pun memiliki rencana untuk melanjutkan kuliah di ISI (Institus Seni Rupa Indonesia,Red) Yogyakarta. Namun karena keterbatasan biaya, ia hanya bisa memendam keinginannya itu. ‘’Adik-adik saya juga banyak, ada yang harus mendaftar sekolah jadinya saya harus mengalah,’’ katanya.
Karena keinginan yang tidak tercapai itulah ia memutuskan merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh pabrik pada tahun 1997. Ditempat yang baru dikunjunginya untuk kali pertama ini, tanpa sengaja ia menjumpai komunitas seni rupa anak muda. Di perkumpulan inilah pengetahuannya semakin berkembang.
‘’Banyak teman yang bisa diajak berbagi pengetahuannya, kegiatannya memang hanya nongkrong-nongkrong saja, tapi bisa memberi manfaat,’’ katanya.
Saat itulah ia mulai mencoba untuk melukis foto. Sesekali, lukisannya dijual di tepi jalan. Kerasnya kehidupan Kota Jakarta tidak pernah membuatnya lantas pasrah dan tidak berjuang untuk apa pun. Ia bisa berkata seperti itu karena membandingkan dirinya dengan temannya sesama pelukis yang malah hidup berkesusahan.
Suwarno mulai menapaki kariernya secara serius pada tahun 2000 saat ia memutuskan pindah ke Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo. Disini, ia mulai berani menjajakan hasil melukisnya di tepi jalan.’’ Saat itu melukis masih sebagai sambilan, karena saya masih bekerja,’’ katanya.
Hingga pada tahun 2004, barulah ia memutuskan menggantungkan hidupnya dari seni melukis foto dengan menawarkan jasanya di Jl.Mojopahit. Ia pun mengaku banyak tantangan yang harus dihadapi menjadi pelukis jalanan. Salah satu diantaranya adalah penghasilan yang tidak menentu.
Pelukis jalanan bukan pegawai, karyawan, ataupun buruh pabrik yang setiap bulan bisa dipastikan pendapatannya.’’ Pelukis jalanan itu adalah orang-orang mandiri yang hanya bergantung pada kemampuan melukis dan mengalirnya pesanan dari orang-orang yang membutuhkan jasa mereka,’’ katanya.
Dalam sebulan, rata-rata ia bisa mendapatkan penghasilan senilai Rp. 1 juta hingga Rp.2 Juta. Untuk menutupi kebutuhannya, ia juga menjual bingkai yang dapat digunakan sebagai tempat lukisan.
‘’Bisnis seperti ini kan sifatnya tambal sulam, kadang tiga hari tidak dapat penghasilan, besoknya dapat untuk menggantikan uang makan selama tiga hari sebelumnya,’’ ujarnya.
‘’Kalau sedang ramai, dalam sehari saya bisa melukis dua sampai empat buah lukisan, tergantung besar kecilnya,’’ katanya.para pembelinya tidak hanya dari Dalam kota saja, melainkan juga dari luar kota. ‘’Ada yang dari Nusa Tenggara Timur, Riau, Jakarta, ataupun dari Jombang,’’ kata pelukis yang mengontrak rumah di Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto ini.
Ia juga menceritakan, pernah suatu waktu lukisannya diborong oleh satu keluarga. ‘’Saya dapat untung hingga Rp. 8 Juta,’’ katanya bangga.
Untuk menyelesaikan satu lukisan, tidak banyak waktu yang digunakannya. ‘’Satu lukisan bisa selesai dalam waktu tiga jam, tapi kalau nyantai ya dua hari paling lama,’’ katanya.
Saat melukis, ia hanya menggunakan beberapa peralatan. Yakni sebuah pensil 2B, kanvas,kuas, dan konte. ‘’Konte itu serbuk berwarna hitam untuk mewarnai bagian hitam,’’ katanya.
Beberapa pengalaman menarik pun sempat ia alami saat menjadi seorang pelukis. Ia mengaku pernah suatu ketika ia mendatangi Ariel Peterpan saat konser di Madiun tanggal 18 April 2006 lalu untuk memberikan lukisan foto Ariel yang dibuatnya. ‘’Perjuangan untuk bertemu dengan dia sangat berat, saya harus melewati beberapa pengamanan, dari Hotel ataupun dari Peterpan sendiri,’’ katanya. Selama 9 jam ia terpaksa menunggu di depan Hotel Merdeka, tempat Peterpan menginap untuk memberikan dua buah lukisan.
‘’Hingga sore, saya tetap menunggu, sewaktu Ariel keluar untuk konser, saya sempat diusir,’’ katanya.
Namun rupanya keberuntungan berada dipihaknya. Disaat itu pula Ariel mendatanginya karena merasa penasaran dengan dua lukisan besar bergambar Ariel. Salah satu lukisan tersebut akhirnya diberikan secara cuma-cuma kepada Ariel. Ia pun mendapat tanda tangan Ariel di lukisan satunya.
Tidak hanya Ariel, Drumer Slank, Bimbim pun pernah diberikan lukisannya. ‘’Saya sengaja datang ke Potlot Jakarta untuk memberikan lukisan bergambar Bimbim. Akhirnya saya bisa bertemu langsung dan memberikan dua lukisan saya kepadanya,’’ katanya sambil menunjukkan foto-foto dirinya bersama personel Slank dan Peterpan.

Selengkapnya...

1.07.2009

Melongok Perempuan Penghuni Warung Remang-Remang di Pinggiran Mojokerto


Ada yang Dipaksa, Ada Pula karena Suami Terkena Penyakit






Berbagai macam faktor menjadi alasan sejumlah perempuan terjerumus ke lembah hitam. Sejuta pengalaman pahit pun mereka lalui hingga memutuskan untuk bekerja sebagai pelayan nafsu para hidung belang. Hanya terdesak kebutuhan ekonomi atau ada alasan lain?

AIRLANGGA, Mojokerto



PAGI itu, sekitar pukul 09.00, cuaca cerah membuat sejumlah petugas Kankessos Kabupaten Mojokerto serta petugas satpol PP bersemangat melakukan tugas yang diberikan atasannya. Mereka akan melakukan tugas men-sweeping para perempuan nakal yang selalu menjajakan diri di jalanan.
Tiga mobil serta dua motor bergerak menyusuri jalan menanjak menyisir warung-warung yang berada di pinggir jalan Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto.
Di salah satu warung, suasana sepi sangat terasa. Warung yang diduga merupakan warung remang-remang masih terlihat tutup. Namun, di dalam warung, tampak seorang perempuan dan seorang laki-laki di sana.
Tanpa membuang waktu, petugas pun mendatangi keduanya dan menanyakan identitas mereka. Laki-laki tersebut akhirnya dilepaskan setelah petugas mencatat identitasnya.
ST, nama perempuan itu tidak dapat menunjukkan identitasnya. Perempuan berusia 31 tahun ini adalah salah satu PSK liar yang terjaring oleh petugas Kankessos. Saat ditangkap petugas, ST tak bisa berkutik. Tanpa perlawanan, ST diangkut dengan mobil petugas menuju Kankessos.
Salah satu penjaga warung mengungkapkan, ST memang memiliki suami, dan profesinya itu atas restu sang suami. Bahkan menurut sumber yang enggan disebut namanya itu, sang suami sengaja menjual istrinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. ’’Sudah saya peringatkan, tapi dia nekat mangkal lagi,” kata seorang ibu pemilik warung yang tak mau disebut namanya.
Di kantor Kessos, perempuan bertubuh subur ini memang mengakui kalau suaminya yang menyuruh pekerjaan tersebut. ’’Saya memang tidak mau, tapi karena dipaksa, saya menurut saja,’’ katanya dengan suara lirih.
Karena cintanya dengan sang suami dan demi menafkahi kedua anaknya, ST rela bekerja sebagai perempuan penghibur. Setiap malam ia harus berdandan menor demi memangsa para pria hidung belang.
Tidak hanya memaksa, sang suami yang tidak bekerja ini bahkan mengantarkan sang istri ke warung remang-remang untuk bekerja. Setelah sampai tempat tujuan, suami yang tidak ingin disebutkan namanya itu pulang ke rumah. ’’Suami saya kembali lagi untuk menjemput saya,’’ katanya.
Seluruh penghasilannya yang didapat ST seluruhnya diberikan kepada suaminya. Tidak jelas uang tersebut dikemanakan. ’’Kadang saya diberi kadang juga tidak,’’ ujarnya.
Hidup menjadi kupu-kupu malam juga dialami oleh MM, 31. Perempuan dengan berat badan 100 kilogram ini juga terpaksa menekuni dunia malam menjadi perempuan penghibur kaum hidung belang.
Menurutnya, ia terpaksa menjadi PSK sejak tahun 2001 lalu lantaran sang suami terkena penyakit ginjal sehingga tidak dapat memberi nafkah kedua anaknya. ’’Anak saya juga kan butuh makan dan butuh sekolah,’’ katanya dengan nada berkelakar.
Sebelum menjadi PSK, MM mengaku menjalani profesi sebagai seorang satpam di sebuah pabrik sejak tahun 1996 lalu.
Pada tahun 1999, MM harus dijodohkan oleh kedua orang tuanya. ’’Karena disuruh menikah, saya ya menikah dengan suami saya sekarang,’’ katanya.
Saat akan melamar, sang suami berjanji akan memenuhi kebutuhan hidupnya. Atas dasar itulah ia berani memutuskan keluar menjadi satpam pada tahun 2001, tepat dua tahun pernikahannya.
Namun impiannya memiliki penghidupan yang mapan hanyalah impian saja. Berbagai cobaan menimpa hidupnya. Kesulitan ekonomi semakin menerpa bahtera rumah tangganya. Tidak hanya itu, sang suami mengidap penyakit ginjal yang memaksanya hanya bisa terbaring di ranjang. Biaya pengobatan pun tidak dimiliki oleh MM.
Keputusan besar akhirnya diambil olehnya. Atas dasar tawaran dari seorang teman, MM nekat memutuskan menjadi PSK di sebuah warung tepi jalan. Di sana, ia rela menjajakan tubuhnya dijamah para pria hidung belang dengan bayaran Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu. ’’Sebenarnya saya tidak punya pilihan, tapi namanya terpaksa,’’ katanya.
Sementara itu, Kepala Kankessos, Yudha Hadi memberikan pembinaan dan bantuan kepada MM dan para PSK lainnya yang terkena razia. Yudha pun menawari MM untuk berjualan gorengan dengan bantuan yang diberikannya. ’’Saya janji tidak akan menjual diri lagi,’’ katanya bersemangat.
Untuk PSK yang dijual oleh suaminya, menindaklanjuti temuannya itu, ia mengaku akan memanggil suami ST yang identitasnya masih disembunyikan. ’’Kalau memang benar si suami ini menjual istrinya, kita akan tindak. Besok, (hari ini, Red), kita akan memanggil suaminya untuk dimintai keterangan lebih lanjut,” kata Yudha.
Dia juga mengaku, dari hasil interogasi dengan ST, warga Kota Mojokerto ini memang sengaja dijual suaminya. Dia menilai, perbuatan yang dilakukan suami ST ini merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan. ’’Menurut pengakuan ST memang demikian. Tapi, kita akan tetap tindaklanjuti. Kita tak bisa memberikan sanksi, tapi akan kita lakukan pembinaan lebih lanjut,” tukasnya.
Selengkapnya...

Berjalan Jauh Untuk menjual Rongsokan




MOJOKERTO-Demi mencukupi kebutuhan dirinya serta keempat anaknya, Paiti,52,warga Desa/Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto rela berjalan dengan menenteng sepeda tuanya sejauh 20 km untuk menjual barang rongsokan ke Desa/Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto. sebelum dijual, ia juga berkeliling dari pagi hingga siang hari untuk mencari barang rongsokan yang bisa dijual.
‘’Sehari lumayan mas, bisa mendapat Rp20 ribu hingga Rp.30 ribu,’’ katanya sembari mengatur napasnya yang kelelahan akibat menenteng barang rongsokan yang mencapai berat 100 kg diatas sepeda tuanya. (ang) Selengkapnya...

Pedagang Durian Mulai Marak




MOJOKERTO-Musim Durian yang biasanya hanya berlangsung selama tiga bulan dimanfaatkan pedagang musiman untuk mencari keuntungan. Sudah dua pekan ini para pedagang baik dari dalam kota maupun luar kota menggelar dagangannya di pinggir jalan di Sepanjang wilayah Mojokerto.
Salah seorang pedagang,Jizan,52,mengatakan, durian yang dijualnya didatangkan dari berbagai wilayah penghasil durian. ‘’Seperti di Kecamatan Gedeg ataupun Kemlagi,’’ ujar lelaki yang biasa berjualan di Jl.R.A Basuni Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto ini.
Ia mengatakan, sudah dua minggu ini ia mulai berjualan durian. ‘’Kalau durian ini kan musiman, jadi tidak setiap saat bisa berjualan buah ini,’’ kata lelaki yang mulai berjualan sejak dua tahun ini.
Durian yang dijualnya dihargai antara Rp 20 ribu hingga Rp.50 ribu tergantung ukurannya. Biasanya, para pedagang durian berjualan dari pagi hingga larut malam. ‘’Sehari bisa menjual 20 sampai 50 buah, tergantung ramai atau tidak,’’ katanya.
Musim durian juga dimanfaatkan para pedagang dari luar kota yang mulai berjualan di Mojokerto. Irwan,26, mengatakan, ia mulai berjualan di Mojokerto untuk mengurangi saingan. ‘’Di daerah asal saya di Nganjuk, penjual durian mulai banyak, kalau disini masih sedikit,’’ katanya saat berjualan di Jl.Raya Mojosari.(ang) Selengkapnya...

1.06.2009

Gus Im, Kolektor 760 Buah Keris Pusaka


Ada Yang Seharga Rp 25 Juta, Pernah Nekat ke Malaysia Berburu Satu Keris

Banyak cara untuk menyalurkan hobi. Terutama hobi yang bersentuhan langsung dengan profesi yang digelutinya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Gus Im. Demi memuaskan hobi sebagai kolektor benda pusaka, dia rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah. Bahkan, mancanegara pernah dijangkaunya untuk mendapatkan satu keris.




AIRLANGGA, Mojokerto



SUASANA agak ’’mistis’’ sangat terasa ketika memasuki gerbang padepokan milik Imam Nabilah, 40, nama asli Gus Im. Di depan padepokan terdapat relief bergambar wali songo berkumpul di bagian kanan pintu gerbang. Bagian kiri gerbang terdapat relief tulisan ayat-ayat Alquran.
Sementara suasana religi juga menghiasi pintu gerbang yang terdapat tulisan Allah dan Muhammad. Bagian atas gerbang bertuliskan nama padepokan, yaitu Padepokan Sirri Aladunni.
Sepi masih membalut padepokan yang berada di Desa Kraton, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto pukul 10.00 kemarin. Dengan santai Gus Im atau yang biasa dipanggil Mbah Gimbal duduk di ruangan yang biasa digunakan menemui pasiennya.
’’Ayo silakan duduk, saya melanjutkan buat narasi dulu,’’ sambutnya. Saat ditemui, Gus Im sedang membuat sebuah video tentang aktivitasnya. Saat itu dia sedang berusaha mengarang narasi yang dituliskan di sebuah kertas menggunakan spidol berwarna biru.
Di sela-sela kesibukannya sebagai penasihat spritual, Gus Im memang pembuat video. Kebanyakan video yang dibuatnya berisi tentang kisah perjalanan karirnya di dunia paranormal.
’’Saya sudah lama mengumpulkan benda pusaka keris. Awalnya sekitar tahun 1989,’’ katanya sembari memastikan letak duduknya. Memang, keris yang dikoleksi oleh Gus Im bukanlah keris sembarangan. Hampir semua kerisnya, katanya, memiliki kekuatan ghaib. ’’Ada isinya,’’ lanjutnya tersenyum.
Gus Im lalu menceritakan bagaimana cara dia mendapatkan keris dari ritual hingga cara-cara modern. Pernah dia ritual di Gua Gembyang. ’’Setelah ritual, saya mendapat tiga buah pusaka keris,’’ ujarnya.
Keris yang didapat dengan ritual yang dilakukannya bernama Tumbik Brodonoyo dari Syailendra I, Luk 7 dan Carito Bungkem. ’’Carito Bungkem dulu pernah dibawa oleh Sunan Kali Jaga,’’ jelasnya.
Keris yang dimiliki Gus Im memang banyak. Keris-keris tersebut dipajang di sebuah galeri berukuran 7 meter x 5 meter. Selama hampir 20 tahun dia mengoleksi keris, kini dia telah memiliki keris berjumlah 760 buah berbagai ukuran. Keris tersebut dipajang di seluruh tembok padepokannya.
Keris terkecil yang dimiliki Gus Im berukuran 10 centimeter. ’’Biasanya keris ini untuk dibawa. Gunanya untk menjaga diri atau sebagai wibawa,’’ ungkapnya.
Sedangkan untuk keris terpanjang, menurut Gus Im, yaitu sepanjang 2,5 meter. ’’Keris panjang digunakan untuk menjaga rumah,’’ kata bapak dua anak ini.
Untuk mendapatkan keris pusaka, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebagian keris yang dikoleksi Gus Im didapatkan dengan cara ritual tertentu. ’’Saya bernegosiasi (ritual, Red) dahulu agar bisa mendapatkan keris. Kalau untuk tujuan yang baik, pasti langsung diberikan,’’ ujar pria berambut panjang ini.
Atau, Gus Im juga selalu berburu hingga pelosok-pelosok desa untuk mendapatkan keris yang diinginkannya. ’’Saya dibantu anak buah saya ke pelosok-pelosok desa,’’ ujarnya.
Setelah keris didapat, Gus Im memberikan mahar kepada pemilik keris. Tidak tanggung-tanggung, Gus Im bahkan rela mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah.
Paling murah keris miliknya dimahar senilai Rp 1 juta. Sedangkan ada pula seharga Rp 25 juta yang bernama Pusaka Kinata Emas. ’’Pusaka itu terdapat kandungan emas di dalamnya,’’ ujarnya.
Selain berburu keris di dalam negeri, Gus Im juga kerap berburu keris hingga mancanegara. ’’Saya pernah ke negara Malaysia untuk mendapatkan satu keris,” ungkapnya.
Gus Im mengaku memiliki keris milik Presiden Pertama RI Soekarno. ’’Nama kerisnya bernama Cacing Kanil. Diletakkan di ujung tongkat komando,’’ ujarnya. Menurutnya, banyak tokoh masyarakat yang datang kepadanya untuk sekadar meminta keris.
Para tokoh tersebut meminta keris kepadanya untuk menambah kewibawaan atau untuk karirnya. Bahkan, ada kerisnya yang pernah dipakai pejabat Pemkab Mojokerto saat ada acara Grebeg Suro beberapa waktu lalu.
Setiap keris memiliki bagian-bagian sendiri. Dari ujung bawah hingga atas, setiap bagian keris memiliki nama-nama. Seperti Ganja (Gonjo) di bagian bawah, Lambe Gajah atau Bungkem, Sugukan, Greneng dan Pamor (motif yang terdapat pada keris).
Untuk pemeliharaan, Gus Im selalu memandikan keris-keris miliknya setiap satu bulan sekali. Bahkan, beberapa keris ada yang harus dimandikan pada saat-saat tertentu, seperti hari Selasa kliwon. ’’Bergantung jenis dan karakter keris tersebut. Biasanya satu bulan sekali dilakukan jamus atau dimandikan’’ ujarnya.
Cara memandikannya, menurut Gus Im, memang tidak sembarangan. Dengan melalui ritual khusus, dia memandikan bagian-bagian keris dan mengoleskan dengan minyak khusus.
Saking seringnya bergelut di dunia keris, Gus Im mampu membedakan beberapa jenis keris berdasarkan asal mulanya. Keris Majapahit atau yang disebut Keris Tosan Aji, menurut Gus Im, memiliki perbedaaan di bagian ujungnya. Keris Majapahit memiliki bentuk melingkar atau melintir. Keris Mataram berbentuk lurus. Sedangkan Keris Pajajaran memiliki lubang di ujungnya.
Gus Im mengaku berburu keris tidak hanya sebagai pelengkap profesinya di dunia spiritual. Melainkan bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Majapahit yang menurutnya sudah terlupakan. ’’Ada juga yang membutukan keris untuk digunakan sebagai kewibawaan, menaikkan pangkat, derajat dan sebagainya,’’ ujarnya.

Selengkapnya...

Melihat Kerajinan Patung Trowulan Kabupaten Mojokerto






Dipasarkan Ke Bali dan Prancis, Penghasilan Bisa Mencapai Rp.5 Juta Perbulan

AIRLANGGA-Mojokerto



Sebagai salah satu daerah yang memiliki nilai historis tinggi yaitu salah satu daerah peninggalan kerajaan Majapahit, Kecamatan Trowulan memang memiliki potensi tersendiri. Tidak hanya potensi di bidang wisata, Trowulan juga memiliki potensi di bidang kerajinan tangan. Salah satunya kerajinan pembuat patung.
Patung-patung hasil kerajinan Kecamatan Trowulan sudah tidak diragukan lagi kualitasnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pesanan yang berasal dari luar kota. Bahkan, nama Trowulan terdengar hingga mancanegara
.

Siang itu disalah satu galeri kerajinan Jalan Trowulan, seorang pria nampak sedang serius memperhatikan sebuah patung kera yang sedang menutupi matanya dengan kedua tangan. Patung tersebut nampak baru setengah jadi.
’’Patung ini harus selesai malam ini, karena besok harus sudah dikirim ke Prancis,’’ujar Deni Indianto.
Dengan memegang pahat adn palu, ia tampak teliti memahat wajah kera yang dibuatnya. Pembuatan patung memang diperlukan ketelitian, maklum, satu kali kesalahan, alibatnya bisa fatal.
Di galerinya, terlihat banyak batu-batu jenis batu hitam dan batu batu paras berukuran besar yang digunakannya sebagai bahan baku membuat patung. ’’Batu-batu besar ini saya datangkan dari Kabupaten Malang, awalnya saya membeli di Ngoro tapi karena ditempat itu sudah tidak menjual, saya pesan ke Malang,’’ ujarnya sambil memegang pahat untuk membentuk wajah patung.
Sambil membuat patung keranya, ia menceritakan sejarah memulai usahanya. Menurut pria berumur 27 ini, sebelum memulai usaha secara mandiri, ia bekerja kepada pengrajin pembuat patung selama dua tahun. ’’Waktu itu umur saya baru 21, saya bekerja di salah seorang pengrajin patung. Nah,dari sanalah saya belajar membuat patung,’’ katanya.
Karena merasa cukup memiliki ’’ilmu’’ memahat, ia memberanikan diri membuat usaha secara mandiri dengan modal yang ia dapat dari bekerja di orang lain.
Namun, setelah usahanya berjalan setahun, ia mengalami nasib sial. Usahanya yang ia bangun pun mengalamai kebangkrutan. ’’setelah itu saya sadar mungkin karya saya belum cukup bagus,’’ ujarnya.
Merasa karyanya kurang memuaskan, ia lalu kembali ’’berguru’’ dengan bekerja kepada pengrajin patung lainnya.
Setelah satu tahun bekerja, ia kembali bangkit memulai usaha mendirikan galeri kerajinan patung.
Kini, setelah usahanya berjalan hampir lima tahun, pria kurus ini telah memiliki tujuh orang pegawai.
Dalam sebulan, ia bisa mengirim patung buatannya ke seorang pengusaha asal Bali sebanyak satu truk. Dengan pengiriman sebanyak itu, materi yang ia dapatkan pun lumayan banyak.
’’Dalam sebulan, saya bisa mendapatkan keuntungan bersih sebanyak Rp.5 Juta,’’katanya.
Setiap patung yang dibuatnya, ia mematok harga dengan kisaran antara Rp 100 ribu hingga Rp.500 ribu.
Patung hasil buatannya rupanya tidak hanya dipsarkan di Bali. Salah satu pengusaha asal Prancis secara khusus memesan patung darinya.
Deni memang lebih beruntung dari pada pengrajin patung lainnya. Ia sudah memiliki dua pelanggan tetap yang selalu membeli hasil karyanya.
Sedangkan, untuk pengrajin lainnya belum tentu memiliki pelanggan tetap. ’’ kalau pengrajin lain, mungkin selesai membuat lalu dipasarkan hingga laku di Bali. Uangnya belum tentu dapat,’’ ujarnya.
Usaha pembuatan patung asal Trowulan memang sudah dikenal di berbagai kota. Hal ini juga tidak terlepas dari peninggalan kerajaan Majapahit. Konon, Trowulan merupakan pusat pemerintahan kerajaan Majapahit maka, suasana Majapahit sangat terasa saat menginjakkan kaki di Trowulan.
Di Kecamatan yang menghubungkan antara Surabaya dan Solo ini banyak terdapat candi-candi dan arca peninggalan Majapahit.
Hal inilah yang menjadi inspirasi para pemahat termasuk Deni Indianto. Selain pesanan – dari pembelinya, biasanya ia juga membuat patung yang diilhami dari arca-arca serta candi yang ada di Trowulan.
Bagi masyarakat umum, pembuatan patung yang dilakukan Deni memang cukup rumit. Apalagi jika dibuat secara mendetail. Namun, bagi seorang bapak adri satu anak ini, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan. Bahkan, kerumitan pembuatan patung menjadi tantangan tersendiri bagi Deni.
Ia pun menjelaskan proses pembuatan patung karyanya.’’ Mula-mula, batu besar di buat pola dengan menggunakan kapur. Setelah itu saya memotong dengan gergaji khusus batu membentuk persegi panjang sesuai ukuran patung yang akan dibuat,’’ katanya.
Patung yang telah dipotong lalu oleh Deni langsung dipahat. ’’Setelah selesai dipahat, kemudian dihaluskan dengan kertas gosok,’’katanya.
Sebagai salah satu pemahat patung di Trowulan, ia pun berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib para pengrajin dengan cara pemberian modal dengan bunga yang ringan.
Selengkapnya...

Jelang Tanam Padi, Puluhan Petani Basmi Tikus




MOJOKERTO- Menjelang datangnya musim tanam padi di Dusun Telasih Desa Ngarjo Kecamatan Mojoanyar, puluhan warga bergotong royong mengusir hama tikus, Minggu (4/1) pagi. Upaya ini dilakukan karena hama tikus bisa menyebabkan gagal panen di wilayah tersebut.
Sejak pagi hari, puluhan warga Dusun Telasih berbondong-bondong ke sawah untuk membasmi hama tikus, yang sejak beberapa bulan terakhir menghabiskan tanaman pertanian di dusun tersebut. Dengan cara tradisional, warga mengejar-ngejar tikus yang diketahui berkeliaran dan bersarang di areal persawahan mereka. “Kami memakai sabit, kayu dan cangkul untuk membasmi hama tikus ini. Kalau tidak dibasmi, tikus ini semakin hari berkembang biak sangat pesat,” kata Suwaji, ketua kelompok tani dusun setempat.
Warga langsung berlari begitu melihat tikus ada di sekitar mereka. Setelah dekat, mereka langsung memukul tikus menggunakan kayu hingga tidak berdaya. . Setelah itu, tikus-tikus tersebut dikumpulkan dan dimusnahkan, tak jarang, saat mencoba menangkap tikus ini, warga terperosok dan jatuh di areal persawahan.
Dalam gropyokan yang dilakukan kali ini, warga berhasil memusnahkan sekitar 500 ekor tikus. Tikus-tikus yang tertangkap tersebut lalu dikumpulkan dan di bakar. “Kami tak ingin, saat musim tanam padi nanti, tanaman kami akan dihabiskan oleh tikus,” kata Suwaji menambahkan. Sementara itu, Kepala Dusun Telasih Desa Ngarjo Kecamatan Mojoanyar, Abdul Manan mengatakan, hama tikus yang menyerang dusunnya kali ini sangat hebat. Karena dari 35 hektar tanaman kedelai yang saat ini ditanam warga, hampir 20 hektar diantaranya gagal panen akibat dimakan tikus. Karena itu, warga langsung bersepakat untuk melakukan gotong-royong untuk membasmi tikus. “Banyak petani kami yang gagal panen, akhirnya mereka merugi,” kata Abdul Manan.
Rencananya, minggu depan warga Dusun Telasih akan kembali melakukan gropyokan tikus. Karena menurut mereka, banyak tikus yang belum berhasil dimusnahkan. Mereka akan terus melakukan pembasmian hingga populasi tikus ini benar-benar habis. Sebelum para petani melakukan tanam padi (ang) Selengkapnya...

kerajinan Trowulan diminati wisatawan





Prosesnya Tidak Cukup Satu Tahap


MOJOKERTO - Kerajinan Cor kuningan Trowulan mulai dikenal. Ironisnya, produk kerajinan ini justru dikenal di daerah-daerah wisata, seperti Bali dan Jogjakarta. Tidak banyak yang datang langsung ke Mojokerto, tepatnya di Desa Bejijong ini.
Adalah Isa Destiawan, salah satu juragan pembuat patung dari kuningan. Nada bicaranya tegas dan mantap. Ia menjelaskan proses produksi hingga menjadi produk jadi yang siap dijual ke pasaran. Agak bingung juga membayangkan bagaimana besi cair itu tiba-tiba menjadi benda padat berbentuk sesuatu.

Proses apa saja yang dilalui dan bagaimana jalannya proses tersebut? Menurutnya, proses pembuatan patung dan apapun bentuknya, yang memakai material logam, tidak bisa sekali proses. Ada tahapan yang harus dilewati.
Pertama, sambungnya, dibuat cetakan awal yang terbuat dari lilin. Lilin ini dibentuk seperti pola (cetakan) yang diiinginkan. Misalnya kepala orang, sendok dan sebagainya, lalu dibungkus tanah liat. Setelah bentuknya seperti yang diinginkan, tanah dikeluarkan. Proses selanjutnya, lilin yang sudah menjadi pola tadi dibungkus tanah dan dipanaskan agar lilin mencair sampai yang tersisa tanah. Lewat lubang kecil, logam panas yang cair dimasukkan dalam cetakan yang sudah jadi tersebut.
Setelah dingin, cetakan dibongkar dan tampaklah sebuah produk yang masih kasar. Menurut Isa, cetakan ini hanya sekali pakai. Jadi jika dia mendapat pesanan ribuan patung kecil maka harus pula membuat cetakan sebanyak itu. Pekerjaan ini memang menuntut tenaga kerja yang cukup banyak.
’’Ada bagian yang hanya membuat cetakan lilin, hanya membakar cetakan agar lilin meleleh, ada yang tugasnya mengecor ke dalam cetakan, menghaluskan, mengelas jika diperlukan untuk menyambung dan sebagainya,’’ kata pria yang memiliki 14 pegawai ini.
Menurutnya, ada dua jenis patung kuningan yang biasa dibuat para perajin. Yaitu patung jenis abstrak dan jenis kuno. ’’Kedua-duanya paling banyak diminati,’’ katanya.
Usaha yang dirintis secara turun-temurun ini memang sangat menguntungkan. Pasalnya, setiap bulannya, ia mengaku mendapatkan omset senilai Rp 60 juta sampai Rp 70 juta. ’’Namun sekarang karena krisis global menjadi turun sekitar Rp 40 juta,’’ katanya.
Ia mengaku bisa memproduksi 250 hingga 300 buah cetakan setiap bulannya. ’’Setiap produk seharga Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta,’’ katanya. Ia juga mengaku membuat produk sesuai pesanan pembelinya. ’’Bentuknya sudah ditentukan dari pembeli, kami hanya membuat saja,’’ katanya. (ang)
Selengkapnya...

Wayang Jogja Rambah Mojokerto




MOJOSARI-Wayang kulit yang biasa di Jogjakarta rupanya bisa juga didapat di Mojokerto. Di sepanjang Jl. Pemuda Kecamatan Mojosari Kota Mojokerto, Suhadi menggelar wayang buatannya untuk dijual. Satu-satunya penjual wayang di Kabupaten Mojokerto.
‘’Sudah lama saya berjualan disini, sekitar dua tahun,’’ kata pria warga Dusun Limogiri Desa Pucubg Kecamatan Bantul D.I.Y Jogjakarta.
Peminatnya tidak hanya dari dalam dan luar kota Mojokerto saja. ‘’Pernah ada bule dari Inggris memborong wayang saya sekaligus, katanya untuk oleh-oleh,’’katanya.
Harga yang ditawarkan pun terjangkau. Mulai Rp.20 ribu hingga Rp 150 ribu perbuahnya.
Suhadi mengaku, ia sendiri yang membuat wayang kulit miliknya. ‘’Setiap tiga bulan sekali saya pulang ke kapung halaman untuk membuat wayang, setelah itu saya bawa ke sini untuk dijual,’’ katanya. (ang) Selengkapnya...

Bunga Bangkai di Temukan di Mojokerto





MOJOKERTO-Warga lingkungan/Kecamatan Magersari Kota Mojokerto kemarin dihebohkan dengan ditemukannya Bunga Bangkai di wilayah mereka. Otomatis, bunga yang jarang tumbuh di daerah perkotaan ini menjadi pusat perhatian warga.
Bunga dengan diameter 20 cm ini kali pertama ditemukan oleh Budiono,45,warga sekitar. Awalnya, Budi yang membersihkan halaman rumahnya kaget melihat bunga aneh di sekitar tempat pembuangan sampah didepan rumahnya.
‘’Setelah saya amati ternyata itu adalah bunga bangkai,’’ ujarnya. Selang beberapa lama, warga yang mengetahui telah ditemukan bunga bangkai segera mendatangi lokasi untuk melihat secara langsung.
Meski bernama bunga bangkai, warga selama ini merasa tidak pernah mencium bau bangkai yang biasa dikeluarkan bunga ini. (ang) Selengkapnya...

Tradisi Memakan Ulat Jati di Desa Kemlagi Lor





Dijadikan Sarapan Pagi, Dipercaya Untuk Menambah Stamina

Di musim penghujan seperti sekarang ini banyak masyarakat Desa Kemlagi Lor Kecamatan Kemlagi Lor mendatangi kawasan Hutan Jati di daerah sekitar. Mereka mencari ulat jati yang nantinya akan dikonsumsi dan sebagian lagi di jual.


AIRLANGGA ,Mojokerto


Pagi itu sekitar pukul 5.30, embun pagi masih menyelimuti hutan jati yang terletak di pinggir jalan antara Mojokerto-Lamongan. Hawa dingin rupanya tidak menyurutkan Bejo,40,untuk pergi dengan menggunakan sepeda ontelnya. Denagn membawa sebuah botol air mineral di tangan kirinya, ia terus menyusuri melalui dahan-dahan kering menuju ke tengah hutan.
Di tengah perjalanan, sesekali matanya melihat ke bawah sambil menoleh ke kanan dan kekiri. Sesekali ia berhenti dan mengamati tanah yang masih basah akibat diguyur hujan semalam. Tidak berselang lama, ia kembali menyusuri jalan setapak yang menuju ke tengah hutan jati.
Sekitar sepuluh menit menyusuri jalan setapak, pria yang tinggal di Desa Kemlagi Lor Kecamatan Kemlagi ini berhenti di sebuah tempat. Tidak jauh dari tempatnya berhenti, sekitar tiga orang tampak disana terlihat sedang mengais-ngais tanah.
Setelah memarkir sepeda tuanya, lelaki tua ini langsung mencari tempat dan jongkok untuk mencari ulat jati atau yang biasa disebut dengan entung. ‘’Nah disini ada ulatnya, biasanya mereka bersembunyi didalam daun yang jatuh,’’ katanya sambil memegang daun jati yang tampak berwarna coklat.
Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan juga apa yang menjadi tujuannya ke tengah hutan jati. Sebuah binatang kecil berukuran tidak lebih dari 5 cm dipegangnya. Binatang berukuran korek api dan berwarna hitam ini tampak bergerak-gerak saat dipegang Bejo. Jika dipegang, kadang mengeluarkan cairan hitam.’’ Ketika masihdalam bentuk ulat, dia akan memakan habis daun jati hingga tersisa kerangkanya saja,’’ jelas Bejo. Begitu tiba waktunya untuk bermetamorfosa jadi kepompong, ulat ini akan turun dari atas pohon ke tanah. Caranya dengan terjun menggunakan air liurnya yang membentuk sulur. Mirip yang dilakukan oleh binatang laba-laba atau spiderman.
Sesampai di tanah, dia akan mencari tempat tersembunyi. Biasanya di balik daun atau batu. Di situ, dia membungkus dirinya dengan air liur dan butiran tanah, kemudian bertapa untuk berubah bentuk menjadi kepompong. Warnanya coklat tua dan permukaannya licin. ‘’Nah kepompong inilah yang enak dimakan dan rasanya gurih,’’ ujarnya.
Setiap pagi, para warga setempat terutama para wanita berbondong-bondong memburu ulat daun jati maupun kepompong. Mereka mengais tiap jengkal tanah di bawah pohon jati untuk mencari hewan sebesar dua kali ukuran lidi yang sarat protein ini.
Tidak hanya Bejo saja yang tampak serius mencari ulat ini. Suparti,45, warga setempat juga ikut mencari dianyata dedaunan. ‘’Kalau musim disini memang banyak entung, kalau hujannya sedikit, ukuran entungnya juga kecil tapi hujan kemarin deras sehingga entungnya lumayan besar,’’ ujar Suparti.
Tidaklah sulit untuk mencari entung. Hanya bermodalkan betah jongkok berlama-lama, maka entung yang katanya memiliki rasa gurih ini bisa didapat. ’’Entung biasanya bersembunyi di balik daun yang sudah tua, kalau ada daun yang terdapat bekas gigitan berarti kemungkinan besar ada entungnya,’’ ujar Suparti.
"Sejak semasa masih kecil, seluruh warga desa hingga kini makan ulat atau entung daun jati. Rasanya enak dan gurih," kata Suparti.
Menurutnya, menu makanan ulat dan kepompong ini memang telah diwarisi secara turun temurun ini. Maryati, seorang ibu rumah tangga yang terlihat ikut berkerumun di bawah pohon jati, mengatakan rata-rata dalam sehari mereka bisa mengumpulkan ribuan ulat dan kepompong. ’’Saat awal musim hujan kemarin saya bisa dapat tiga botol, tapi sekarang sudah mulai sedikit,’’ katanya. Banyaknya ulat maupun kepompong yang ditangkap, menjadikan produksi dari hutan tersebut melimpah
’’Kenapa harus jijik, ulat atau entung dari daun jati ini gurih dan lezat. Coba saja kalau Sampeyan tidak percaya," ujarnya sambil menunjukkan lima ekor entung yang ada ditelapak tangannya. "Kalau tidak biasa memang gilo (jijik,Red) tapi kalau sudah merasakan pasti akan ketagihan. Rasanya memang lezat dan gurih,’’ tambahnya.
Setelah ditangkap dan dimasukkan kedalam botol, biasanya entung yang didapat digunakan untuk lauk dengan cara dimasak terlebih dahulu. Cara memasaknya cukup sederhana. Entung ini dicuci bersih. Setelah itu ada yang mengukusnya lebih dulu, tapi ada yang lansung menggoreng dengan bumbu bawang putih dan garam. ’’Kalau dimakan saat hujan pasti lebih mak nyuusss,’’ ujar Maryati sambil berkelakar.
Ngatemi,45, warga sekitar juga setiap harinya selalu menyediakan entung untuk kedua anaknya setiap sarapan. ’’Anak saya yang terakhir paling suka kalau dimakan dengan kerupuk,’’ ujarnya. bahkan, ia menceritakan, menantunya yang berada di Lamingan selalu menyempatkan datang setiap awal musim hujan untuk dimasakkan entung ini. ’’Kalau menantu saya paling suka dimakan dengan nasi jagung dan segelas kopi, katanya enak dan selalu ketagihan,’’ katanya.
Selain untuk dikonsumsi sendiri, masyarakat sekitar juga terkadang menjual entung di tepi jalan Mojokerto-Lamongan di desa Kemlagi Lor Kecamatan Kemlagi. ’’ Tahun lalu banyak yang berjualan, tapis sekarang jarang, mungkin karena entungnya belum banyak,’’ kata Bejo. Biasanya, warga sekitar menjual entung seharga Rp.3 ribu sampai Rp. 5 ribu perbotolnya dimana tiap botol berisi ribuan entung.
’’ Yang beli kebanyakan para pengendara terutama supir truk yang lewat di jalan, mereka menganggap kalau entung bisa menambah stamina laki-laki,’’ kata Bejo. Selengkapnya...

Kisah Soim Yang Mengalami Pembengkakan di Kaki Selama 23 Tahun



Kaki Selalu Mengeluarkan Nanah, Di Tinggal Istri Karena Tidak Kuat Merawat

Nasib yang sudah digariskan Tuhan memang tidak ada yang bisa menebak. Begitu juga Soim. Selama hidupnya, ia tidak mengira harus mengalami sakit selama 23 tahun. Kaki sebelah kanannya mengalami pembengkakan.

AIRLANGGA,Mojokerto

Pagi kemarin sekitar pukul 08.00, suasana dusun Mejeruk Desa Karang Diyeng Kecamatan kutorejo terlihat ramai. Hampir sebagian warga mulai beraktfitas dengan pergi ke sawah untuk mulai menanam padi. Bahkan, sebagian warga sudah mulai pergi ke pasar untuk mulai berjualan sejak pukul 06.00.

Diantara deretan rumah berukuran sedang di desa tersebut, sebuah rumah dengan dinding dari bambu berdiri. Dua tiang bambu yang berada didepan rumah sebagai penyangga genteng terlihat tidak lurus. Dari kejauhan, rumah dengan alas dari tanah ini terlihat seakan-akan hampir rubuh. Jika dilihat dari luar, rumah yang memang tidak layak untuk dihuni ini terlihat gelap. Seakan-akan tidak ada seorang pun yan menghuni.

Namun di rumah inilah Soim menmghabiskan hari-harinya. Tanpa aktifitas dan tanpa kegiatan apapun, Soim hanya bisa menahan sakit di kaki kanannya selama puluhan tahun. Selama 23 tahun, lelaki berusia 46 ini tidak dapat lagi bekerja. Untuk bisa makan, ia hanya bisa mengandalkan ibunya, Miatun, seorang perempuan berusia 55 tahun yang tidak mengenal letih mengasuh anak keduanya itu.

Dengan mengandalkan dua tongkat yang digunakannya untuk membantu berjalan, Soim pun keluar dari kamarnya yang gelap menuju ruang tamu untuk menemui koran ini.

‘’Saya kalau jalan memang lama, maklum kalau jalan terasa perih,’’ katanya sambil mengatur tempat duduk yang terbuat dari plastik.

Saat ditemui, badan lelaki yang mulai berkeriput ini sangat kurus. Matanya sayu dan tatapannya kosong. Kaki kanannya mengalami pembengkakan hingga berdiameter kurang lebih 20 cm. Ia mengaku tidak dapat meluruskan kakinya.

Entah penyakit apa yang diderita lelaki yang telah memiliki satu anak ini. ia sendiri tidak mengetahui. Yang ia inginkan hanyalah bisa sembuh dan dapat bekerja untuk mengurangi ketergantungan dengan orang lain.

Dengan nada bicara yang pelan, Soim pun bercerita asal mula ia terkena penyakit yang menurutnya aneh tersebut. ‘’Awalnya sekitar 23 tahun lalu, saya mengendarai sepeda pancal untuk bekerja ke sawah, sepulangnya saya kepeleset dan terjatuh,’’ katanya.

Kecelakaan kecil itulah yang mengubah garis hidupnya secara drastis. akibat terjatuh dari sepeda, ia mengalami luka lecet di kaki kanannya. ‘’Luka lecet di kaki saya sudah diobati begitu jatuh, saya bersihkan dahulu lalu saya beri obat merah,’’ katanya.

Namun rupanya usaha mengobati lukanya tidak berhasil. Luka yang awalnya kecil lambat laun membesar. Setiap malam, Soim merasa nyeri di kaki kanannya. Namun karena dipikirnya tidak berbahaya, ia hanya mengobati dengan obat merah biasa yang didapatnya dari apotik.

Tanpa disadari, kaki kanannya terus membesar. Awalnya hanya sebesar kelereng. Namun setelah satu minggu, pembengkakan di kakinya mencapai bola sepak. Di bagian ujung lukanya terdapat seperti tonjolan kecil. Di toonjolan inilah setiap malam selalu mengeluarkan nanah yang beraroma tidak sedap. Ia pun mulai kebingungan dengan kondisinya.

Sadar penyakit yang hinggap dikakinya adalah penyakit serius, ia pun mulai mendangi puskesmas terdekat. Namun setelah berulang kali mendatangi Puskesmas, pembengkakan di kakinya tidak mengalami perubahan.

Merasa patah arang dengan pengobatan medis, ia pun beralih ke pengobatan altenatif. Berbagai macam ahli pengobatan alternartif, tabib bahkan dukun dicobanya. Namun lagi-lagi usahanya tidak ada hasilnya sama sekali. Ia pun semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan. ‘’Kalau dibawa ke rumah sakit, jujur saja kami tidak ada biayanya, karena kami orang miskin,’’ jelasnya.

Cobaan pun semakin datang mendera dirinya. Selain luka yang semakin parah, ia juga harus kehilangan istri karena pergi meninggalkan dirinya. Istri Soim yang diharapkannya mampu mengurangi beban penderitaannya akhirnya memutuskan menjauh dari Soim karena tidak sanggup melihat penderitaannya. ‘’Yang saya dengar, istri saya sekarang sudah menikah dengan orang lain, padahal saya tidak ingin cerai,’’ katanya dengan suara lirih.

Namun meski begitu, ia selalu berusaha tegar dengan apa yang dialaminya. Kini, keseharian Soim hanya dihabiskan di rumah kecil milik ibunya. ‘’Mau bekerja juga sudah tidak bisa, saya tidak bisa berjalan,’’ katanya.

Untuk menopang kebutuhan hidupnya, Soim harus mengandalkan jerih payah ibunya yang bekerja sebagai buruh tani. ‘’Kerja saya ya hanya serabutan, cuma buruh tani, kalau ada kerjaan ya saya kerjakan, pokoknya apa saja,’’ ujar perempuan yang sudah terlihat tua ini.

Selain mencukupi kebutuhan Soim, Miatun juga tidak lelah merawat Soim. Terkadang ia membersihkan luka di kakinya. Tidak jarang pula setiap malam ia membersihkan nanah yang selalu keluar dari kaki Soim.

Kini, Soim dan ibunya berharap pihak pemerintah mau memperhatikann nasib dirinya yang sudah 23 tahun menderita akibat penyakit aneh di kakinya. ‘’Kalau bisa pemerintah mau mengobati anak saya sampai sembuh,’’ kata Miatun dengan berharap.

Hal senada juga disampaikan oleh Soim. Namun ia juga berpesan, jika memang ada pihak yang menyembuhkan, ia berharap nantinya kaki kanannya tidak diamputasi. ‘’Saya takut nanti kaki saya dipotong, kalau bisa disembuhkan saja,’’ ujarnya dengan polos. (*)

Selengkapnya...